[1] Before The Time

5.9K 634 48
                                    

—cerita ini murni fiksi belaka. Kayaknya? :3

 Kayaknya? :3

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.











Ini tentangnya, yang Jaemin kasihi.

Pemuda itu teramat muda dengan birahi menggebu. Dan terjatuhi oleh malang lewat pemuda lainnya pada malam reuni akbar sekolah menengah.

Jaemin tahu, malang dan bakal hidup baru akan mengisi waktu padatnya sesudah ini. Ingin menyesali tapi sebagian dari peristiwa itu adalah kewarasannya yang terlampau penasaran. Semua tak pula terjadi begitu saja, baik ia maupun pemuda itu justru saling mengundang.

Jika sudah begini, bagaimana caranya ia bersikap?



Kedua tangan saling meremat. Tak ada tatap beradu, netra kembar keduanya bagai satu kutub magnet.

"Aku—meminta tanggungjawab." Mengumpul seluruh kekuatan, Jaemin lega kalimat barusan terlontar darinya. Ia bersiap menunggu.

Butuh banyak keberanian, juga membuang harga diri. Jika diharuskan-pun Jaemin tak sudi menemui kembali si pelaku malam indah itu dan melakukan hal ini. Tapi ketika pagi damainya berubah menjadi mari mengosongkan isi perut, Jaemin sadar ini tak bisa ia lakukan sendiri.

"Kenapa?” alis datar pemuda itu naik sebelah. "Kau pikir aku mau?"

Pemuda itu melirik jijik perut Jaemin yang tertutup kaos kebesaran. Tak ada yang berubah, tampilannya manis seperti biasa dan tetap menarik di mata. Pinggang itu tidak terlihat melonggar.

"Kumohon—" sudut hati Jaemin tercubit ketika mengatakan ini, "—hanya sampai ia lahir. Setelah itu aku berjanji akan pergi bersamanya."

Hening begitu lama. Hingga Jaemin merasa letih sendiri. Andai saja ia bisa menghilang dari hadapan pemuda ini, akan dilakukan.

"Baiklah."

Surai merah muda Jaemin bergoyang lucu saat mendengar jawaban mulus dari pemuda berbibir joker itu.

"M-maksudmu?"

Jaemin mendapat decakan sebagai balasan. Bahunya menciut hingga tanpa sadar langkah kakinya bergerak mundur. Padahal pemuda itu hanya berdecak tapi efeknya cukup membuat Jaemin merasa sedikit—takut?

"Aku rasa tak perlu menjelaskan lagi. Mulai besok kita tinggal bersama di rumahmu." Pemuda itu tersenyum manis dengan netra sabitnya.

Sulit untuk memungkiri bagaimana hatinya menolak bunga-bunga mekar di dada. Jaemin merasakan panas di pipi.

"Akan kutunggu."



Mungkin jika dibayangkan atau melihat dengan sebelah mata, Jaemin akan dipandang sebagai pemuda beruntung. Hidup malangnya terobati oleh kehadiran pemuda lain yang sangat amat menyegarkan pemandangan mata. Pagi itu, dia datang bersama satu kantung besar susu formula yang bisa diasumsikan itu untuknya.

Ah—Jaemin rasanya ingin menangis. Terharu. Atau apapunlah yang bisa mewakili.

"Kau tak perlu repot-repot membelikanku ini," Jaemin duduk di sofa sembari memperhatikan pemuda itu menata kotak-kotak susu tersebut ke lemari. "Kenapa rasanya banyak sekali ya?"

"Sepuluh kotak—mungkin?" Dia menggendik bahu. "Kudengar jika itu pada lelaki, keadaannya cukup rentan. Dia harus sehat."

Jaemin membuang pandang kemanapun asal tak melihat dia.

Semua kotak susu telah tersusun dengan rapi. Kini pemuda itu beralih membuka lemari es, mengambil sebuah apel lalu mengupasnya dan memotong dalam bentuk kecil.

"Apa masih mual ketika pagi?" Ia menyuapkan Jaemin sepotong apel tanpa membiarkan si papa hamil melakukannya.

"Tidak. Semenjak kau rajin mengusapnya, mual itu tak pernah datang."

Dia menyuapi Jaemin potongan kedua.

"Kapan cek ke dokter? Perkembangannya penting untuk tahu apakah tumbuhnya normal atau tidak."

Jaemin memeluk perutnya. Ia mengerti maksud baik pemuda itu dan jika bisapun Jaemin akan melakukannya tanpa di minta.

"Kurasa tak perlu," membayangkan saja Jaemin tak mau. "Kasus sepertiku sangat baru. Aku cemas mereka akan menggunakannya."

Pemuda itu berpikir sejenak. Dia tak bisa langsung menolak setuju dengan pernyataan Jaemin barusan. Baik dan buruk yang berdampingan membuat ia harus menggunakan otaknya berpikir berkali-kali.

"Terserah kalau begitu. Tapi jika terjadi sesuatu yang membahayakan, aku tak segan menyeretmu ke rumah sakit terdekat." Ini adalah solusi tengah yang bisa ia terima dengan konsekuensi buruk tipis.

Ah... Sepertinya Jaemin tidak rugi-rugi amat karena sudah menyeret pemuda ini dalam hidupnya.

"Terima kasih, Jeno Lee."

Pemuda itu—si pemilik mata sabit yang indah, Jeno Lee. Tanpa canggung, jemari kurusnya mengusap pucuk kepala Jaemin yang tersenyum cantik. Tulang pipinya membulat lucu. Ada kesan gemas yang tak bisa Jeno hindari.

"Sudah menjadi tugasku," Jeno merengkuh tubuh kurus Jaemin ke dalam pelukannya. "Kau harus banyak makan makanan bernutrisi setelah ini."

Rahasia umum, yang orang bodoh saja bisa tahu dalam sekali lihat betapa ringkihnya tubuh Jaemin.

"Ck. Kau tak tahu seberapa sulit aku menelan satu suapan kecil sayur, nasi dan makanan-makanan lainnya."

"Jinjja?” Jeno berhenti mengusap bahu Jaemin.

Duapuluhlima tahun hidupnya, Jeno belum pernah bertemu dengan keadaan ini. Cukup terkejut tapi juga—lumayan untuk menambah pengalaman hidup. Jujur saja, Jeno itu menjomblo sejak lahir. Ketika teman sepermainan berlomba menjodohkannya dengan lelaki dan gadis, tak ada satupun yang bisa membelokkan hatinya.

Halah pret.

"Kenapa harus berbohong? Kau tak percaya padaku?” entah. Tidak tahu. Tapi, yang jelas Jaemin merasa jengkel teramat sangat mendengar jawaban terkesan cuek dari Jeno. Netranya melirik Jeno, sementara sebelah tangannya mendarat di perut pemuda itu.

Dengan halus, ia mencubit kecil namun rasanya sepedas cabai rawit.

Jeno terlonjak mundur, "ya! Kenapa mencubit?!"

Pemuda manis itu diam. Tapi dengan mengejutkan netranya mulai berkaca-kaca.

Jaemin beranjak bangun. Langkahnya menghentak. Ia masuk ke dalam kamar lalu membanting pintu.

Meninggalkan Jeno yang masih mencerna keadaan.

"Barusan itu—apa ya?"

✓ #DiRumahAja sama NoMinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang