Bian Pov'sSekarang Bian sedang berada di sekolahnya untuk menemui Bianca, setelah dari rumah sakit di perbolehkan pulang oleh Mamanya, Bian langsung pergi kesini.
Bian melihat kelas Bianca sedang pelajaran olahraga, dan menyapu pandangannya mencari Bianca, tapi nihil, Bianca tidak ada di sana, yang Bian lihat hanya ada kedua sahabatnya Bianca sedang duduk di kursi bawah pohon besar pinggir lapangan.
Bian melangkahkan kakinya menghampiri keduanya.
"Bianca dimana?" Tanya Bian.
"Di UKS, lagi tidur." Jawab Luna.
"Okey, thanks."
Bian berjalan sedikit cepat menuju UKS yang berada tidak jauh dari lapangan.
Setelah tiba di UKS Bian langsung meraih kenop pintu dan membukanya, sepi. Bian berjalan dan menuju tirai terakhir yang sudah diyakini Bianca ada di sana.
Bian menyibakkan tirai pembatas melihat Bianca sedang tertidur pulas.
Bian duduk di kursi, menopang dagunya dan memandang Bianca yang cantik dan polos saat tertidur.
Bian mengangkat tangannya dan mengusap pipi Bianca dan sesekali mencubitnya. Melihat Bianca mengerejapkan matanya tanda ia sudah bangun dari tidurnya, Bian menurunkan tangannya kembali.
Bianca bangun dan langsung menghambur memeluknya. Bianca menangis sesenggukan. Mendengar Bianca menangis Bian merasa hatinya sakit, ini belum perpisahan yang sebenarnya, bagaimana jika sesuatu terjadi pada Bian yang mengharuskannya meninggalkan Bianca, dengan berat.
Bian membalas pelukan Bianca, dan mengusap punggung Bianca.
"Jahat, ga suka."
"Maaf."
Bianca melepaskan pelukannya.."Kamu kemana aja? Aku khawatir kamu ilang tiba-tiba, muka kamu kenapa pucat gini?" Bianca menatap dan menangkup wajah Bian.
Bian tersenyum."Ada. Ga usah khawatir lagi, aku udah disini." Bian menarik Bianca untuk memeluknya lagi, kali ini lebih erat.
Kami sama-sama diam, sesekali Bian mengecup kening dan puncak kepalanya.
"Aku sayang sama kamu, Be."
"Aku juga sayang sama kamu, jangan tinggalin aku lagi, Bi."
"Manusia ga bisa terus memaksa takdir yang udah di rencanakan tuhan, Bi. Begitupun aku, tapi aku akan selalu berusaha selalu ada di samping kamu." Ucap Bian melepaskan pelukannya dan menatap Bianca.
___________
"..... harusnya aku yang di sanaa, dampingi mu, dan bukan dia, harus...-"
"-Devan!!! Kalo mau nyanyi suaranya ga usah di jelek-jelekin." Teriak Kiara, yang jengah mendengar suara Devan yang sudah bagus tapi di modifikasi menjadi anjlok.
"Serah gue dong, pacar gue aja menikmati. Iya ga yang?" Tanyanya pada Luna.
"Iya. Biarin aja sih, Ki." Bela Luna.
"Semerdeka lu aja."
Sekarang para guru yang sedang rapat menyebabkan semua murid bebas kemanapun yang mereka inginkan, seperti pergi ke kantin, ke taman, atau berdiam di kelas membuat keributan.
Dari arah pintu, terlihat Bian berjalan masuk kedalam kelasnya bersama Rizky dan juga Farell, entah habis dari mana, baju batik yang tadi pagi rapih sekarang sudah terbuka semua kancingnya memperlihatkan baju kaus putihnya, begitupun dengan Rizky dan Farell.
"Van! Markas!" Teriak Rizky.
"Siaappp!" Devan meletakkan gitarnya dan menarik baju batiknya yang memang sudah dibuka diletakan di atas meja guru.
"Jangan bolos!" Peringat Luna.
"Iya sayang, ngga." Balasnya lembut.
"Aku ke markas dulu ya, Be." Ucap Bian menghampiri Bianca yang sedari tadi menatapnya.
"Sejak kapan kamu markas-markasan gitu?" Tanya Bianca yang memang aneh mendengar Bian mempunyai markas di sekolah.
"Sejak tadi, ini, aku keringatan gini." Jawabnya sambil menarik dan meletakan tangan Bianca di keningnya.
"Yaudah, sana."
"Bye!!" Bian melambaikan tangannya.
____________
"Lu udah jadian kan sama Bianca??" Tanya Rizky pada Bian.
Bian menganggukan kepalanya. "Iya."
Sekarang mereka tengah berada di markas yang yang berposisi kantin sekolah, ini adalah warung yang dulu sering dipakai kakak kelas angkatan dulu, dan sekarang akan di lanjutkan oleh geng Bian.
"Bagus deh, gue lebih seneng kalo lu milikin dia dan bisa ngejaga dia." Ucap Farell.
"Tapi, gimana sama penyakit lu? Masih di rahasiain sama Bianca?" Tanya Devan.
"Masih, gue ga bakal kasih tau samapi kapanpun."
"Kalo menurut gue sih nih ya, lu kasih tau aja si Bianca, kasian dia kalo li tiba-tiba kambuh dan ga ada kabar sama dia." Ucap Rizky. "Gue kemaren pagi-pagi di kantin ngedengerin dia nangis sesenggukan, gue ga tega sebenernya, pengen ngasih tau apa yang lu alamin, tapi gue ga ada hak, ya meskipun gue sahabat kalian berdua, kayanya lebih pas aja kalo dia tau langsung dari lu, Bi." Lanjutnya.
Devan dan Farell menganggukan kepalanya. "Iya, setuju gue." Ucap Devan.
"Terus rencana lu apa sekarang?" Tanya Farell.
"Gue mau berubah, jadi lebih kuat, biar Bianca ga tau kalo gue lemah selama ini dengan adanya penyakit sialan ini."
Mereka bertiga mengerenyitkan dahinya. "Kuat gimna maksud lu?" Tanya Rizky.
"Ga bisa, Bi. Lu tau kan lu ga bisa capek-capek." Tolak Devan.
Farell menganggu."Gue khawatir kalo terjadi apa-apa."
"Jangan bahayain diri sendir, Bi. Resikonya gede." Ucap Rizky.
"Gue ga maraton 100x lapangan ko, lagian kalo gue kecapean paling di rumah sakit dulu, ga langsung mati." Ucap Bian santai. "Kalian harus dukung gue buat bahagiain Bianca, selama gue bisa."
"Kalo itu keputusan lu, gue dukung, Bi. Selama lu baik-baik aja." Ucap Rizky di setujui Farell dan Devan.
Bian mendongakkan kepalanya dan menatap Rizky. "Bianca minta tolong sama gue, buat nanyain kejelasan hubungan lu sama Kiara."
"Gue... Gue bingung, Bi." Ucap Rizky seperti menahan sesuatu.
"Kenapa dah? Lu udah lama PDKT-an sama si Kiara." Tanya Devan.
"Hmm, kalian cocok juga." Ucap Farell.
"Gue takut Kiara ga ada perasaan sama gue."
"Saran gue, minggu depan kan bakal ada tanding antar kelas nih, lu jadiin ini kesempatan, lu menangin pertandingan ini, ya meskipun lawan kita kelas Bianca, tapi gapapa. Kalo kita menang, lu tembak si Kiara, gamau tau!!" Devan memberi saran seraya menunjuk-nunjuk Rizky.
"Setuju!"
___________
Bullan:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Beating Heart
Teen FictionSemua manusia tau, jika ada pertemuan pasti ada perpisahan. Dan semua orang pasti mengalaminya, entah perpisahan untuk selamanya, atau perpisahan untuk hanya mencari pertemuan lagi. Seperti yang aku alami, mengalami perpisahan dengan orang yang kita...