2. Daging Cincang

3.1K 200 6
                                    

Azalia sudah keluar dari gedung bertingkat itu. Raut wajahnya tertekuk sepanjang jalan. Kakinya menghentak-hentak lantai sebab geram. Elsa yang melihat pun tahu kalau Azalia sedang kesal.

"Lia!" panggil Elsa, sebab Azalia berjalan melewatinya begitu saja. Hanya geram yang tergambar jelas di wajahnya.

Elsa bergegas mengikuti gadis itu. Selama perjalanan menuju apartemen, mereka tak berbincang apa-apa. Elsa yang merasa bersalah pun tak berani buka suara. Tadi, dia memang sengaja mencari alasan agar Azalia yang melakukan wawancara. Azalia menyerahkan berkas-berkas itu pada Elsa setelah mereka sampai di apartemen.

Azalia membuang napas, masih geram dengan ucapan CEO itu. Gadis itu langsung duduk kembali di depan laptop, hendak memberi ratting buruk pada perusahaan itu. Sedangkan Elsa yang merasa Azalia marah padanya pun hanya bisa diam.

"Biar kujelaskan padanya, apa itu sopan santun!" gerutu Azalia sambil mengetik sesuatu di sana. Dia memberikan bintang satu pada perusahaan yang memiliki ratting hampir sempurna itu.

CEO perusahaan ini semena-mena, tidak melayani tamu dengan baik, dan sangat tidak sopan!

Azalia menekan tombol kirim. Dalam hitungan detik, ratting itu turun meski sedikit. Azalia menghela napas lega setelah mengeluarkan unek-uneknya. Dia tahu kalau tindakannya ini kurang baik, tapi Azalia sudah terlanjur kesal, syaitan pasti telah meliputinya dalam kekesalan itu.

Elsa yang barusan mendekat dan membaca ulasan Azalia itu mengernyitkan dahi. "Jadi dari tadi kamu kesel sama CEO itu?" kata Elsa.

"Sama kamu juga...!" kata Azalia yang memang menyimpan sedikit sebal pada Elsa.

"Sorry," kata Elsa menyesal.

Azalia berdeham seperti biasa menanggapi permintaan maaf Elsa. Mereka memang sering bertengkar kecil, tapi hal itu tidak pernah berlangsung lama. Maaf selalu terjalin antara mereka dengan begitu mudah.

"Memangnya CEO itu ngomong apa sama kamu?" tanya Elsa.

"Dia bilang aku yang buat dia berduka. Menyebalkan," kata Azalia.

"Kenapa?" tanya Elsa yang masih tak mengerti.

"Kamu buka aja tuh, hasil wawancaranya. Dasar pisau bernyawa!"

Azalia masih tak bisa berhenti mengumpati CEO itu, baru kali ini dia berhadapan dengan manusia sepertinya. Sebelumnya Azalia tidak pernah seperti ini, sekesal apa pun dirinya. Pisau bernyawa sangat cocok untuk menjuluki CEO itu.

Bayangkan, pisau yang tidak bernyawa saja mampu menyakiti. Apalagi yang bernyawa, menimbulkan luka tak berdarah, yang tentunya tak bisa kering, selain diobati dengan maaf-memaafkan. Masalahnya, mungkinkah mereka akan bermaafan.

Elsa membuka map, lalu mencari tulisan Azalia. Betapa terkejutnya dia membaca hasil wawancara itu. Udah cuma satu pertanyaan, jawabannya menyakitkan lagi, pikir Elsa.

"Hm, kayaknya aku gak akan ngumpul tugas ini, deh," kata Elsa, murung.

Azalia yang melihat sahabatnya itu pun ikut sedih. "Sorry, ya, El. Harusnya tadi kita cari pengusaha lain aja."

"Gak papa, Lia. Aku juga mau minta maaf, gara-gara tugas aku kamu jadi dapet masalah."

"Besok aku cariin lagi penguasa yang baik, deh, El. Pokoknya kamu harus selesaiin tugas ini."

"Makasih, Lia."

***

Matahari bersinar hangat pagi ini. Jam menunjukkan pukul 6. Seperti biasa, Azalia sudah siap pergi ke pasar. Gadis itu selalu bangun ketika adzan subuh berkumandang, tak jarang pula dia terbangun pukul 3 dini hari. Azalia selalu berusaha untuk salat subuh tepat waktu, dia pun selalu mengerjakan salat tahajud jika terbangun di malam hari.

AZALIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang