Malam itu kunang-kunang terbang di bawah cahaya rembulan, tidak banyak bahkan bisa dihitung jari. Suara sungai dan hembusan angin yang menggesek dedaunan, serta nyanyian dari sekumpulan katak saling bersautan, bersatu. meramaikan gelapnya malam.
"Aga, itu siapa? Dia tidak punya sayap tapi dia bisa terbang " sontak anak laki-laki berusia delapan tahun itu menoleh ke arah yang bocah cantik itu tunjuk, dia hanya tersenyum.
Beberapa detik kemudian, anak laki-laki itu membungkukkan tubuhnya dan menepuk-nepuk kan bahunya menyuruh bocah itu naik ke punggungnya.Dia kesal, karena Haga Kakak kandungnya yang terpaut tiga tahun dengannya itu tidak langsung menjawab pertanyaan yang di lontarkannya.
Aneska, bocah cantik itu menoleh kembali ke arah yang ia tunjuk pada Kakaknya tadi. Tapi wanita dengan rambut panjang yang ia dan kakaknya lihat beberapa menit lalu sudah tidak ada, kini ia hanya melihat beberapa bintang sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya.
"Nah udah sampe" Haga menurunkan Anes dari gendongannya "Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" jawab dua orang dari dalam rumah bersamaan.
Anes berlari kecil, lebih dulu meninggalkan kakaknya menutup pintu dengan kantung plastik berisi gula di genggaman tangannya.
"Pa Anes pengen bisa terbang" rengek Anes pada papanya
"Iya boleh, nanti ya kalau Anes udah besar"
"Nes, burung yang bisa terbang ingin bisa berjalan seperti Anes" mama Anes yang membawa kantung plastik gula dari Haga ikut menjawab.
"Kenapa tiba-tiba anak papa yang cantik ini ingin terbang?" Tanyanya pada Anes, tapi lirikan matanya tertuju pada anak laki-laki yang baru saja duduk disamping Anes.
"Anes ingin bisa terbang seperti Tante tadi" jawab Anes, sama seperti papanya kini ia melirik Haga yang asik menonton layar televisi yang ada di hadapannya.
"Tante?" Tanyanya lagi dengan sedikit penekanan.
"Haga ngantuk, tidur duluan ya" anak laki-laki itu bangkit setelah menoleh, membalas lirikan papa dan adiknya secara bergantian. "Anes terbangnya nanti aja ya, sekarang Anes juga mending tidur" Haga mencubit pipi adiknya sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan ruang keluarga.
Baru beberapa anak tangga yang Haga pijak, dia kembali menoleh ke ruang keluarga "Tadi Haga sama Anes lihat Tante Asih pa" Haga menaiki kembali anak tangga menuju kamarnya, meninggalkan papa dan mamanya yang baru saja kembali dari dapur membawa secangkir teh manis dengan memasang wajah terkejut setelah mendengar ucapan yang di lontarkan anak laki-lakinya itu.
"Tante asih itu siapa ma? Dia keren..." dengan bangga Anes bertanya pada mamanya.
"Pa ini tehnya... Yuk Nes bobo, nana sama ka Haga juga udah bobo" Safa mama Anes menggendong tubuh mungil Anes membawanya untuk menidurkan putrinya itu.
Berbeda dengan istrinya safa, Tanu justru memasang wajah datar. Ditemani secangkir teh dan siaran televisi. ia masih bisa mendengar lamat-lamat putrinya bercerita di pangkuan istrinya. Membangga-banggakan sosok Asih. Seseorang wanita yang baru saja meninggal dunia lima hari yang lalu.
###
Ingatan itu tiba-tiba saja muncul dalam lamunan Anes yang kini sedang memandangi ratusan cahaya lampu dibalik jendela kamarnya.
Di rumahnya dulu cahaya kecil di balik jendela kamar itu bukanlah lampu melainkan kunang-kunang yang berserakan direrumputan.
Mungkin ini salah satu alasannya sulit untuk bepergian apalagi berpetualang, Pikirnya dalam hati.
Suara ketukan pintu terdengar dari balik pintu kamarnya, bersamaan dengan suara khas yang sangat ia kenal "Nes papa masuk ya"
Tanpa menunggu persetujuan anaknya Tanu langsung masuk dengan membawa paper bag di tangannya."Jangan kelamaan duduk dijendela nanti masuk angin nes"
"Papa bawa apa?" Dengan antusias Anes membalikkan tubuhnya menghadapkannya pada Tanu.
"Oh ini buat Anes" Tanu memberikan paper bag yang ukurannya cukup besar itu pada Anes.
"Untuk Anes?" Dengan cepat Anes meraihnya.
Anes menyimpulkan senyum dibibirnya tetapi merutkan pula alisnya setelah ia melihat isi hadiah dari papanya "kenapa papa beliin Anes lampu ginian pa?"
"Anes ga suka?"
"Su...sukaa pa, tapi kenapa harus lampu kaya gini ? Inikan harus pakai minyak, lebih ribet. sekarangkan sebuah banyak yang menggunakan listrik".
"Ini kan hiasan Nes, ini juga lebih klasik. Yang pakai listrik tuh sudah tidak aneh yang ini antik, kalau Anes lagi kangen sama papa Anes bisa nyalain deh lampunya"Jelas Tanu.
"Emm...Anes kan ga usah nyalain lampu ini kalau kangen papa, Anes tinggal temuin papa, selesai deh" Anes tertawa " makasiiih ya pa" Anes menyimpan lampu hias minyak tanah dengan besi antik lenteranya diatasi meja belajar, lalu memeluk erat papanya.
"Di dunia ini ga ada yang kekal Nes" Anes melepaskan pelukannya, papanya tersenyum padanya.
Senyuman itu persis seperti yang ia lihat saat di toko aksesoris beberapa hari yang lalu "udah ah papa kebawah, mau mandi udah lengket nih" Tanu melangkahkan kakinya berjalan keluar kamar Anes.
Anes mengikuti langkah Tanu, mengantarkannya hingga perbatasan kamar "kamar Anes jadi bau rupanya papa belum mandi haha..."Anes meledek papanya dengan tawa hambar.
"Masa sih, papa ga mandi seminggu tetep harum tau Nes" Tanu terkekeh sambil menuruni anak tangga.
Anes menutup kembali pintunya, ia menghampiri meja belajar. Menatap lekat lampu yang baru saja papanya beri. Anes sayang papa!
Jangan lupa vote dan comment ya temen-temen 😊! Biar saya makin semangat lanjut cerita :)
Semangat membaca ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlian
RomanceAneska Dhiya Berliana, Remaja berusia tujuh belas tahun. Wajah cantik dengan rambut hitam sebahu miliknya itu tidak bisa membuatnya memiliki begitu banyak teman. Dia juga tidak terlalu mengharapkannya karena ia lebih suka bersama dengan keluarganya...