Suasana kelas semakin ramai saat ketua kelas, bersama wakilnya masuk lebih lambat dari siswa lain. Membawa kabar juga tumpukan buku tebal dipangkuannya.
"Kecilkan suara kaliaaaaan!" teriak Gilang.
"Ga ada yang boleh keluar kelas juga." tambahnya penuh penekanan saat ia melihat sekumpulan siswa mulai berdiri, siap-siap meninggalkan kelas."Mau kekamar mandi lang." alasan klasik salah seorang siswa, lima orang lainnya mengikuti dari belakang.
"Saya sudah ingatkan kalian tidak boleh keluar kelas." tatap Gilang.
Masa bodoh dengan peringatan juga larangan dari Gilang, mereka tetap berjalan meninggalkan ruang kelas. Tak ada takut-takutnya walau terus diperhatikan oleh empat kamera tersembunyi yang terpasang di setiap sudut ruangan. Kecil memang, hanya sekitar 4x3 cm dengan berat kurang lebih 14gram, tapi mereka tak pernah lelah menjalankan tugasnya, mengawasi, juga merekam semua kejadian.
"Lang.. ga cegah ?" Tanya wakil ketua. Sebenarnya dia juga tidak perlu bertanya, karena jika guru berhalangan hadir sudah menjadi kebiasaan siswa keluar kelas, tidak mengerjakan tugas, tidur, dan berbincang-bincang. Hanya sedikit yang mengerjakan tugas lebih awal.
"Ga usah." jawabnya singkat, membagikan buku paket. Tak mau banyak bertanya, Kanya wakil ketua kelas pun ikut membagikan buku paket pada barisan yang berbeda. Gilang rasa Kanya juga tau jika terus di cegah pun tak ada gunanya hanya menimbulkan keributan, lagi pula sudah ada guru yang mengawasi para siswa tak taat aturan.
Tak seperti ayyara biasanya yang rajin mengerjakan tugas, kali ini ia hanya sibuk dengan ponselnya. Raut wajahnya penuh kekhawatiran.
"Lang aku ke meja piket."izin Ayyara pada ketua kelasnya. Gilang hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Gua ikut Ra." Yasa berlari kecil menyusul Ayyara yang lebih dulu berjalan, meninggalkan kelas.
"Lu ngapain Ra ke meja piket?" Ayyara tak menjawab, dia terus berjalan. Tak lama, karena langkahnya harus terhenti setelah pak Gunawan guru sejarah sekaligus kesiswaan itu memergokinya keluar kelas.
"Hey kalian kemari!" Perintahnya pada Ayyara juga Yasa. Tentu saja mereka bergegas menuju lapangan tempat pak Gunawan bersama puluhan siswa termasuk enam teman satu kelasnya berdiri saat ini.
"Mau kemana kalian? Tidak ada guru pada keluyuran, bukannya mengerjakan tugas," gerutu pak Gunawan.
"Saya mau menemui guru piket pak" jawab Ayyara.
"Kamu?" Tanyanya pada Yasa.
"Sama pak"
"Ngapain kalian ke meja piket?" Tanyanya lagi.
"Orang tua teman dekat saya meninggal dunia pak, bukankah saya harus kerumahnya?" Dengan tatapan kosong Ayyara balik bertanya.
"Orang tua siapa yang meninggal?"mereka saling beradu tanya.
"Aneska pak" jawabnya, membuat Yasa dan pak Gunawan membulatkan kedua bola matanya.
"Jika saya diizinkan guru piket yang bejaga hari ini, saya akan kerumahnya pak. Saya permisi" pamitnya pada pak Gunawan, diikut oleh Yasa.
"Ra...tunggu Ra" Yasa mempercepat jalannya, menyetarakan langkahnya dengan Ayyara. "Lu serius? Orang tuanya Anes meninggal? Bokapnya? Atau nyokap nya?".
"Papanya Anes Yas" jawab Ayyara.
***
Setelah melepas alat-alat medis, dokter dan perawat meninggalkan ruang IGD. Safa, mama Anes berlari memasuki ruangan, yang kini mulai terasa pengap setelah mendengar bahwa suaminya itu tak bisa di selamatkan. Seperti mimpi bagi keluarga Anes bahkan ia tak kuat melangkahkan kedua kakinya berjalan menghampiri ranjang tempat papanya berbaring. Mamanya terus menangis memeluk tubuh suaminya yang lambat laun mulai terasa dingin. Anes tak kuasa menahan air mata, saat langkahnya mulai memasuki pintu ruangan. Ada luka memar yang cukup parah dibagian dada, juga luka sobekan didahi sebelah kanan.
Haga menenangkan Safa yang terus menggoncang-goncangkan tubuh Tanu, berusaha membangunkan. Tak ada respon sedikitpun, membuat Safa semakin terpukul, dia berteriak "bangun pa" sampai akhirnya dia jatuh pingsan. Dengan cepat Haga menggendong mamanya, membaringkan wanita paruh baya itu dikursi panjang tak jauh dari ranjang suaminya.
"Pa..." Panggil Anes pada Tanu, air matanya terus mengalir walau dia bersikeras menahannya "Pa...mama pingsan pa".
Mendengar ucapan Anes membuat Haga tak kuat menahan tangis. Bagaimana tidak, Anes berusaha membangunkan Tanu memberi tahukan bahwa istrinya jatuh pingsan, padahal semua itu terjadi karena papanya pula yang tidak bisa membuka matanya lagi."Pa...bangun pa, Anes mohon, jangan tinggalin Anes paa...jangan tinggalin kita" dengan tersengal-sengal, ia berharap keajaiban datang pada papanya.
"Paaa..." Haga ikut memangil Tanu, sesekali ia mengoyang-goyangkan bahu papanya itu. Seperti terkunci Anes tak mampu mengeluarkan suaranya, dia hanya terus menangis.
Matanya memang tertutup tapi mulutnya tak berhenti mengigau, "paa...jangan tinggalin mama pa...jangan tinggalin mama..." Haga menghampiri mamanya berusaha menyadarkan wanita paruh baya itu.
"Ma...mama harus kuat" perlahan Safa tersadar, dia langsung menjerit-jerit memanggil suaminya. Dia bangun, bukan menghampiri suaminya, wanita paruh baya itu menarik tubuh Anes berusaha menjauhkannya dari Tanu "ini semua gara-gara kamuuu..." Ekspresi wajahnya berubah marah.
Anes tak mengerti maksud perkataan mamanya. Baru saja Anes hendak memeluk Safa, wanita itu langsung mendorong tubuh Anes. "Pembunuuh!". Haga langsung memeluk mamanya, berusaha menenangkan.
Waktu terus melesat begitu cepat, mama Anes dijaga oleh saudara-saudaranya yang baru saja tiba setelah diberi kabar duka oleh Haga. Semuanya bersiap membawa Tanu pulang kerumah untuk dikebumikan.
Banyak sekali tamu yang menyambut kedatangan Tanu setiba di rumah. Tetangga, rekan bisnis, hingga kerabat jauh berdatangan. Mereka membantu menyiapkan proses upacara pemakaman juga proses-proses lainnya. Beberapa dari mereka mengucapkan belasungkawa pada keluarga yang ditinggalkan.
Anes tak begitu memperhatikan sekitar, pikirannya kacau. Dia terus mendampingi Tanu sampai ditempat peristirahatan terakhirnya.
Entah berapa kali mama Anes jatuh pingsan, beberapa kerabat membawanya ketempat yang lebih nyaman. Haga turut dalam proses pemakan sebagai bentuk baktinya kepada Tanu untuk yang terakhir kali. Anes tak henti menangis menyaksikan papanya yang lambat laun tak terlihat karena tertutup tanah.
Setelah proses pemakan selesai, semua tamu mulai bepergian menyisakan keluarga yang ditinggalkan.
"Yang sabar ya nak" salah satu tetangga memberi semangat sebelum pergi.
"Yang kuat ya" yang lain ikut menimpali.
Anes membalasnya dengan senyum getir, dia mengusap-usap nisan papanya. Ada nama, tempat tanggal lahir juga hari beserta tanggal wafatnya. Haga memeluk Anes, saling menguatkan.
"Selamat beristirahat pa."
"Yuk pulang." ajak Haga pada semua orang yang tersisa di pemakaman.
Mamanya ikut berdiri, menatap Anes dengan tajam. "Ini semua gara-gara kamu" wanita paruh baya itu berjalan menghampiri Anes, tapi Haga dengan cepat menjauhkan Anes dari mamanya. "Sini kamu!" Emosinya mulai tak terkendali.
"Ma cukup" seru Haga menahan mamanya. Anes mengikuti perintah Haga, bersama saudara sepupunya Anes berjalan lebih dulu meninggalkan tempat pemakaman.
***
Jangan lupa vote dan komen ya ! 💜
Ig : @rezaira_
KAMU SEDANG MEMBACA
Berlian
RomanceAneska Dhiya Berliana, Remaja berusia tujuh belas tahun. Wajah cantik dengan rambut hitam sebahu miliknya itu tidak bisa membuatnya memiliki begitu banyak teman. Dia juga tidak terlalu mengharapkannya karena ia lebih suka bersama dengan keluarganya...