Setelah sekian lamanya, akhirnya aku mengenal Rio. Akan tetapi mengenal masih biasa, sebatas teman jika berpapasan hanya menyapa, tidak lebih. Misal tongkrong bareng atau main bareng gitu, gak sama sekali. Temanku menongkrong ya hanya Ahmad atau Nomo, atau... Joko yang jarang masuk kampus.
Ahmad. Orangnya kurus, agak kecewekan. Ia hobi menari. Sepertinya, tiap detik ia habiskan untuk menari. Susah atau sedih ia ekspresikan dengan menari. Bahkan mengantuk pun, menguap sambil menari, yang seperti tarian Bali.
Nomo. Orangnya hitam, berjerawat. Tubuhnya gempal bagus. Sebenarnya agak manis sih, menurut pandanganku sebagai gay. Tapi, aku gak suka. Orangnya suka musik, cukup konyol, dan si otak mesum. Yang dibicarakan masalah cewek dan segala macam anatominya. Percuma kalau ia bicara denganku, sama sekali aku gak tertarik.
Joko. Kulit hitam, dan tubuhnya sispex. Tapi aku juga tidak tertarik. Ia jarang masuk kampus. Sekali masuk bolos kuliah dan ke kantin. Yang diobrolin masalah kekerasan kemanusiaan. Tentang manusia dibacok, berantem, balap. Dia anak orang tajir, tetapi kelihatan kotor. Kurasa bukan alasan gak kuat beli sabun. Joko yang terlalu tidak peduli dengan penampilannya.
Hanya aku, satu-satunya dari empat anak seangkatan yang cukup normal. Normal. Nor mal. N o r m a l. N o r m a l.
Dan untuk Rio, sampai sekarang aku hanya mengenal sebagai pribadi yang cukup diam. Tidak terlalu ektrovert. Jadi jika berjalan terlihat cool banget. Penampilannya selalu kekinian, dan tidak pernah bau seperti Joko. Rio pasti wangi, dan wanginya itu wangi cowok sexy. Bahkan, membayangkan wanginya saja aku bisa.
***
Hari ini, adalah hari dimana aku harus ke fakultas, untuk kumpul calon anggota BEM. Ya, aku ditunjuk oleh kawan-kawan untuk mewakili jurusan menjadi anggota BEM. Tidak hanya aku, juga Ahmad.
Aku dan Ahmad memang kemana-mana selalu bareng. Kuliah bareng, ngerjain tugas bareng, dan ke kantin bareng. Ia satu-satunya kawan yang rajin. Jadi tidak heran jika selalu bersamanya setiap saat. Aku tidak bisa mengikuti jejak Joko atau Nomo yang kuliah seolah hanya sebagai formalitas. Aku datang dari luar kota, dan orang tua di rumah membiayaiku untuk kuliah, tidak untuk bolos.
Saat sampai di gedung kuliah umum, ternyata acara belum dimulai. Jam karet memang seperti susah dihilangkan. Aku dan Ahmad menunggu sambil ngobrol ngalor ngidul. Tak lupa juga menggunjing masing-masing dosen. Terkadang Ahmad malah memperagakan gaya bicara dosen perempuan dengan kemayunya yang bikin aku ketawa sampai nangis.
Tiba-tiba, Rio datang. Ia sendiri. Pastinya Rio menghampiri Aku dan Ahmad, karena yang dikenal cuma kami.
"Wis suwi? (Udah lama?")
"Uwis. (Udah)" sahutku. Aku sudah mulai membiasakan dengan bahasa Jawa. Sebelumnya memang jarang menggubakan bahasa Jawa di kampus. Aku terbiasa dengan bahasa Indonesia di SMA.
"Mung dewe po Yo... (Cuma sendiri ya Yo...)" tanya Ahmad.
"Wong loro. Sing siji gek kuliah. (Dua orang. Yang satu masih kuliah)"
Entah mengapa, kalau ada Rio aku menjadi biasa tak biasa. Jadi cukup diam, dan tidak terlalu menunjukkan kekonyolanku. Aku tidak mau kastaku tambah rendah. Aku sudah gantung diri di pohon cabe beberapa semester lalu. Semua pohon cabe di kebun kakek tumbang buat aku gantung diri. Tinggal pohon rambutan yang tinggi. Jangan sampe deh gantung diri di sana. Amit amit.
Akhirnya Pak Pembantu Dekan tiga hadir. Itu tandanya sebentar lagi Kerajaan Majapahit runtuh. Eh bukan, acara kumpul calon anggota BEM baru akan dimulai.
![](https://img.wattpad.com/cover/221017966-288-k29202.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Hitam
RomanceTokoh utama dalam cerita ini adalah seorang gay, ia bernama Tano. Cerita ini bukan cerita cinta terus pacaran sesama jenis ya, atau cerita sex sejenis. Sama sekali bukan. Cerita ini hanya cerita seorang gay yang menyukai sahabatnya sendiri yang tida...