Bab 10 | Mati Listrik

88 4 0
                                    

Seperti biasa, pagi hari aku pergi ke Istana Negara untuk melanjutkan proyek. Hari ini Ahmad tidak masuk, karena ada kuliah. Ia sudah terlalu banyak tidak masuk kuliah untuk mata kuliah pagi ini. Ia takut tidak lulus.

Meski aku dan Ahmad satu angkatan, memang mata kuliah kami tidak sama, sejak semester tiga. Alasannya karena Ahmad ada beberapa mata kuliah yang tidak lulus, kemudian pergantian kurikulum, hingga akhirnya aku dan Ahmad benar-benar mengambil jalan berbeda. Kami satu angkatan, tetapi jarang satu kelas. Paling cuma satu dua mata kuliah yang sekelas. Yang lain, aku lebih sering dengan kakak tingkatan, atau adik tingkatan.

Karena Ahmad tidak masuk, mau tidak mau aku bekerja sendiri. Merapikan wayang, memotret wayang, memberi nama per wayang, mendata dan ditulis di komputer, input foto, dan print. Dan aku melakukan itu lebih dari 2000 kali karena ada 2000 buah lebih wayang. Belum nanti jika ada wayang nyempil diantara wayang-wayang yang bukan sekelompok. Itu membuat pusing karena harus membuka kembali kotak yang telah dirapikan dan didata.

***

Aku sampai di Istana, di ruang kerja, tidak ada satu pun orang di sana. Wayang masih berserakan, sisa kemarin yang belum sempat dirapikan. Langsung saja aku bekerja sesuai apa yang aku lakukan.

Rio dan Wati belum datang. Memang, mereka berdua selalu datang lebih lama. Antara jam sembilan seperempat, atau setengah sepuluh. Dan sekarang baru jam setengah sembilan.

Sreg sreg sreg...

Suara langkah terdengar. Aku langsung menengok, ternyata Rio. Sendirian. Langsung aku tanya.

"Rio... Tumben pagi. Sendiri?" Tanyaku biasa aja.

"Iya Tan. Wati gak masuk. Ia harus mengajar anak SD." Jawabnya dengan santai. Sesantai bunga-bunga yang tertiup angin di taman.

"Oh. Ahmad juga tidak masuk Yo. Kita mungkin berdua, dan sama Mas Edi. Yang bantu-bantu kita kan cuma sampai hari Kamis." Bicaraku dengan nada pura-pura sedih. Padahal dalam hati aku senang, karena artinya seharian bakal berduaan dengan Rio. Mas Edi paling datang saat istirahat siang, dan sore ketika menjelang pulang.

"Gak papa Tan. Lemes gitu bicaramu. Nanti kamu aku bantu. Tapi kamu juga bantu aku."

Mendengar itu aku makin senang. Senang seperti hari raya. Kapan lagi aku bisa berduaan saja dengan Rio, saling bantu, dan bisa ngobrol sepuasnya tanpa harus Wati cemberut.

***

Suara Azan terdengar bersamaan dengan suara pintu yang sedikit terbanting karena angin. Mas Edi datang dari arah yang tak kuketahui, dan menyuruh kami istirahat.

Hari ini hari Jumat, dan kewajiban kami sebagai muslim laki-laki untuk salat Jumat. Aku dan Rio pun bergegas pergi ke Masjid Istana, yang letaknya di bagian Barat Istana. Cukup jauh dari gedung tempat kami bekerja. Mungkin jaraknya sekitar 300 meter.

Aku dan Rio berangkat bersama menuju masjid. Dan ada yang membuatku kesal-kesal senang saat berjalan bersama dengannya. Ia selalu mendorongku dengan tubuhnya ke rerumputan yang tak boleh diinjak. Aku tau ia becanda, kesalnya jika ada penjaga kebun yang galaknya minta ampun di sana, dan melihat. Pasti sudah hilang nyawaku seketika. Tetapi ada rasa senang, ya karena jadi dorong-dorongan dengan Rio, sama-sama tidak mau mengalah. Alhirnya badan kami saling menempel, dan rasanya hangat.

Hal itu menjadi seperti rutin dilakukan jika kami pergi ke Masjid, karena perjalanan ke Masjid melewati taman-taman dan rerumputan. Tidak hanya dorong-dorongan, terkadang kalau habis hujan, Rio akan menendang pohon saat aku lewat di bawahnya. Aku pun jadi kebasahan, dan ia langsung lari. Langsung pula aku mengejarnya, tetapi tidak ketangkap. Hingga aku lelah dan menyerah.

Pelangi HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang