Bab 9 | Cinderella KW

88 6 2
                                    

Aku terdiam, masih memikirkan Kevin. Kevin telah pergi untuk selamanya, dan aku tak akan pernah bisa bertemu dengannya lagi. Tak kusangka, pertemuan lima tahun lalu adalah pertemuan untuk terakhir kalinya.

"Tan, masih sakit?" Rio bertanya. Ia sepertinya melihat aku terdiam melamun.

"Udah enggak kok. Hanya..."

"Hanya apa?"

"Kemarin dapat kabar temenku meninggal. Rasanya..." Aku berkata dengan pelan. Dan rasanya ingin nangis lagi. Mataku sudah berkaca-kaca.

"Hmmm. Ya sudah. Doakan saja. Sedih itu pasti, tapi jangan terlalu lama." Saran Rio. Tetapi mukanya menjadi sedikit muram.

"Kok kamu?" Tanyaku curiga.

"Enggak. Eh iya. Nanti kamu ada waktu gak?" Ia memotong pembicaraan.

"Memang kenapa?"

"Habis pulang nanti, temenin aku ke nol km. Nanti aku difoto."

"Ada acara apa?"

"Ya pokoknya nanti."

"Ok deh. Aku temenin." Aku menjadi senang. Kevin tiba-tiba terlupakan. Bagaimana tidak? Ini pertama kali Rio mengajak aku pergi bersama. Dan rasanya kurang percaya aja.

"Sekarang kita kerja aja dulu. Biar nanti cepat selesai, jam empat persis pulang."

Kami kembali bekerja. Rio dengan gamelan yang masih begitu banyak untuk didata. Dan aku, wayang yang terlalu banyak untuk dirapikan dan difoto.

Di tempat gamelan, Wati sudah mulai cemberut. Aku tau mengapa, karena Rio lagi-lagi mendekatiku. Saat Rio kembali, ia malah marah.

"Wis... Rasah rene... Pacaran wae ro Tano. (Udah, gak usah kesini. Pacaran aja sama Tano)". Ia tidak benar-benar menuduh Rio pacaran denganku, ia hanya kesal.

Aku mendengar ia ngomel. Aku tersenyum, sedikit terhibur. Wati memang kalau marah terlihat menggelikan. Mungkin gelinya melebihi digitikin. Pantas saja jika Rio selalu usil dengannya. Bahkan kata Rio, memang Wati sering dijailin anak-anak di jurusannya.

Aku kembali merapikan wayang. Ahmad tidak pernah protes dengan apa yang aku lakukan, meski seharian aku asik ngobrol dengan Rio, karena kerjaanku selalu beres. Malah aku yang sering kesal dengannya, karena pasti aku mengulang yang ia kerjakan. Aku gak tau bagaimana ia kerja, pastinya dengan menari-menari kecil. Itu sudah wajib ia lakukan.

***

Sudah jam tiga sore. Satu jam lagi pulang. Aku mencari sepatuku yang biasa aku lepas. Aku paling tak tahan kalau memakai sepatu soalnya. Ternyata, sepatuku gak ada. Aku tau pasti ada yang ngerjain.

Oh iya. Selain empat anak dari kampus, Mas Edi menambah tenaga kerja lagi sekitar tiga orang. Mereka bertiga temannya Mas Edi. Mas Bowo, Mas Agus, dan Mas Slamet. Mereka bertugas membantu kami berempat untuk masalah angkat-angkat. Jadinya, kami berempat juga mengenal mereka, dan cukup akrab. Karena akrab, diantara kami selalu saling jail. Dan sekarang giliranku yang dijailin, sepatuku disembunyikan.

Aku kebingungan mencari sepatu. Teman-teman malah tertawa, dan aku akhirnya marah. Bener-bener marah, sampai Gunung Merapi ikut meletus.

"Siapa yang nyembunyiin sepatuku, aku sumpahin putus!" Aku mengumpat habis-habisan.

"Ra mandi!!(Gak akan terkabul!!)" Teriak Mas Bowo membalas.

Aku semakin marah. Ahmad aku tanya juga tidak memberi tau, malah ikut senyum, tetapi senyum yang disembunyikan.

Melihat aku marah, Rio malah khawatir. Ia tidak tau sepatuku dimana, karena ia dan Wati sibuk dengan kerjaannya. Rio pun akhirnya membantuku mencari sepatu. Sambil mencari sepatu, Rio ternyata mengambil flashdisk Ahmad.

Tau flashdisk hilang, Ahmad bingung. Ahmad mencari-cari. Jadi, aku dan Ahmad sama-sama mencari sesuatu yang hilang. Aku tidak memberi tau Ahmad kalau flashdisk diambil Rio. Rio sudah mengkodeku suruh diam.

"Mad, nggoleki opo? (Mad, nyari apa?)" Rio bertanya. Pura-pura peduli.

"Flashdisku ilang. Kepie iki... (Flashdisku hilang. Gimana ini)" Ia bicara khawatir manja.

"Sepatu Tano ketemu. Flashdsikmu ketemu." Ternyata Rio menggunakan flashdisk Ahmad untuk jaminan. Aku gak nyangka sumpah. Ternyata Rio begitu care denganku.

Namun, Ahmad tetap tidak mau memberi tau. Ia masih sibuk mencari flashdisk. Sementara aku, masih sibuk mencari sepatu yang tak kunjung ketemu.

Aku benar-benar marah. Belum jam empat, aku sudah merapikan tasku dan pergi dari ruangan kerja itu. Aku bahkan tidak mempedulikan Mas Edi yang ada di sana.

"No...!!!" Mas Edi memanggilku. Tapi aku berjalan lebih cepat. Hanya menengok, tanpa membalas panggilannya. Karena aku benar-benar marah. Marah. Dan Marah....!!

Aku berjalan dengan hanya satu sepatu. Aku tidak peduli. Aku berjalan terus hingga mendekati tempat parkir. Belum sampai tempat parkir, Rio berteriak.

"Tan!!!"

Seketika aku menoleh. Rio berlari menghampiriku, dan dia membawa satu sepatuku. Gila. Aku tidak percaya Rio benar-benar ikut mencari.

"Nih sepatumu... Udah gak usah marah!!" Sambil meletakkan sepatu.

Satu sepatu yang ditemukan Rio itu langsung aku pakai. Entah mengapa aku jadi ngerasa seperti Cinderella. Di Istana, kabur dengan satu sepatu, dan ada cowok tampan yang menemukan pasangannya. Mirip Cinderella banget kan?

Saat itu aku jadi baper. Benar-benar baper, dan benar merasa Cinderella. "Udah Tano!! Udah!! Jangan halu!! Tak ada Cinderella di sini, andaipun ada itu Cinderella dari goa buta..." Ucapku dalam hati.

"Kan udah ketemu. Gak usah marah. Sekarang jadi?"

"Jadi apa?" Aku bener-bener gak tau. Dan seketika langsung ingat.
"Ya ampun Rio!! Aku lupa. Maaf. Ok jadi. Tapi kita kan motoran sendiri-sendiri. Aku gak berani lewat depan, motorku lampu gak nyala. Di sana ada polisi."

"Halah gak papa..." Seolah Rio meyakinkan bahwa polisi tidak akan menangkap.

"Tidak. Aku lewat belakang. Aku parkirkan di alun-alun utara. Kita ketemuan dimana?" Aku tetap kekeh. Ya, aku terlalu takut dengan polisi.

"Ok. Nanti temui aku di Monumen 1 Maret."

"OK...!!"

Akhirnya kami motoran sendiri-sendiri, dan berkendara dengan arah yang berbeda. Aku lewat belakang Istana, dan Rio lewat depan. Sebenarnya untuk ke Monumen Serangan 1 Maret lebih dekat lewat depan Istana. Akan tetapi, dari pada ditilang polisi??? Milih mana? Kalau polisinya ganteng sih untung. Tapi kalau tua dan galak? Serem banget.

***

Aku dan Rio bertemu. Rupanya pentas seni itu ada di Monumen Serangan 1 Maret itu sendiri. Sudah ada panggung di sana, dan pentas juga sudah dimulai.

"Nanti kamu foto aku! Nanti aku pentas di sana." Rio meminta, tangannya sambil menunjuk panggung.

"Pentas apa?" Tanyaku penuh dengan penasaran. Soalnya yang tampil anak-anak dan ibu-ibu.

"Nanti aku main kendang. Membantu mengiringi anak-anak." Jawabnya penuh dengan keyakinan.

Aku terheran. Kok mau-maunya Rio. Jika aku jadi Rio gak akan mau. Malu pasti, karena itu acara anak-anak dan ibu-ibu. Akan tetapi, malu itu tidak berlaku bagi Rio. Lagian ketampanannya justru akan menarik gadis-gadis yang sedang berwisata di nol km Jogja. Pasti bakal melirik pengendang ganteng yang sedang bermain dengan kerennya.

Pelangi HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang