"Ooi! Ada yang masih hidup?!"
Suara maskulin itu terdengar parau, mungkin karena dia berteriak sekencang-kencangnya?. Aku menoleh pada Dabi yang memainkan senapan riffle-nya kemudian kembali ke depan, tempat komandan kami berdiri tegas sambil memelototi puing-puing dengan teropong thermomal.
"Negatif. Tidak ada makhluk hidup dibawah sana," Kata si letnan.
Aku ikut-ikutan memandang jauh kebawah sana. Dimana reruntuhan saling bertumpang tindih, menjadi saksi bisu penyerangan yang baru saja diumumkan 48 jam lalu oleh si kapten. Yeah, pasukan kami yang menyerang kota ini, batalion kelas A yang dipimpin oleh Kapten Levi. Unit kami mendapat bukti kalau markas utama geng pemberontak beserta gudang senjatanya ada di sini dan kemudian membombardirnya habis-habisan.
Sebelum itu, jelas kami memastikan kalau warga sipil telah dievakuasi sehari sebelumnya.Toh, sebenarnya kota ini juga telah mati dan ditinggalkan, jadi yang tersisa cuma gelandangan serta orang-orang tuna wisma yang kesepian. Tapi, ternyata informan yang diduga telah tewas kembali dan mengatakan kalau masih ada beberapa warga sipil yang terjebak sebagai sandera. Bahkan dia menyebutkan kalau kerabat Senator Tenya juga ada disana.
Dan, kemudian akulah yang kerepotan.
Berlarian kesana-kemari mencoba menghubungi kapten yang sudah berangkat ke tempat eksekusi. Dan betapa menyenangkannya saat mendengar kalau misil ketiga sudah diluncurkan disusul bom hidrogen berdaya ledak sedang. Wah, rupanya dia benar-benar serius saat berkata ingin menghancurkan mereka sampai ke akarnya setelah penyerangan White House enam bulan lalu. Si kapten hanya bilang, "Unit kalian menyusul, membersihkan sisanya. Dan mereka bukan sandera, hanya sekelompok orang yang terlalu bodoh untuk berkolega dengan kriminal. Mereka adalah penyokong finansial para pemberontak itu. Persembunyiannya ada di utara, pinggir kota. Gampang ditemukan dan jauh dari lingkaran target utama. Kami berhati-hati agar wilayah itu tak terkena dampak eksplosif tapi tak janji. Pastikan kalian menemukannya,"
Dasar cebol arogan.
Dan disinilah aku bersama empat rekanku, komandan jabrik merah dengan motto 'pria jantan', sniper bersurai dwiwarna, eksekutor spesialis AR tapi pemalas, si paramedik pemalu dan aku. Prajurit wanita biasa saja yang menunggu kenaikan jabatan.
Sudah cukup, kalau aku tidak bisa menemukan bahkan satu mayat pun. Agaknya kenaikan pangkat masih menjadi mimpi terindahku. Belum lagi, si paman cebol itu pasti menyemprotku dengan kata-kata tajamnya. Ya, dia pamanku. Puas?
Tanganku yang tersampir di pinggang gemetar, bukan takut melainkan menahan adrenalin yang selalu bergejolak tiap kali menjalani misi. Kami menunggu pimpinan dan perintahnya dalam diam.
Sampai kemudian Eijiro berkata, "Turun."
Dia memijaki bebatuan di depan, membuat jalan yang aman untuk anak buahnya. Shoto mengekor kemudian disusul si paramedis, aku, kemudian Dabi.
"Apa menyenangkannya cuma duduk dibelakang meja dan membaca laporan," Dabi menggumam dibelakang. Dia jelas-jelas membicarakanku, mungkin dia mendengarnya dari Toga. Aku tak menanggapi.
"Padahal kerja lapanganmu lumayan bersih,"
Wah, aku tersanjung.
"Kenapa kau mau jadi wanita biasa saja? Kupikir kau menyukai pekerjaan ini,"
Sial. Dia mulai berisik
"Kenapa kau mau kembali ke hari-hari yang membosankan?,"
"Berisik. Aku sudah lelah menggotong senapan dan mayat, aku mau hidup tenang," Balasku seadanya.
"Kalian berdua, diam." Shoto angkat bicara.
"Cih.." Dabi memalingkan wajahnya.
Eijiro mengangkat satu tangan, kami langsung berhenti kecuali si paramedis yang hampir menabrak shotgun yang tergantung di punggung Shoto, kalau aku tak menahan pundaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ISEKAI CROSSOVER
RandomKetika kamu jadi bagian keseharian para cogan dari dimensi lain:) Sama seperti hidup yang penuh coreng moreng layaknya lukisan abstrak, hidupmu bisa seindah serta semanis gulali sewarna rambut Ramuda. Tapi kebanyakan juga absurd penuh kegajean. Ser...