Hari ini aku pergi ke Ikebukuro bersama kawan-kawan sekebangsatanku. Berharapnya sih buat liburan, tapi kenyataan sepahit muka Daiki tak bisa memungkiri kalau ada tugas yang harus kami jalani.Aku mengajak adik sepupuku, karena dia terus merengek karena tak mempercayai wajah-wajah disekelilingku. Wajah kriminal dan penuh hoax, katanya.
"Busetdah! Gua kaget banget tadi, gua kira mau malak dong! Eh taunya nawarin sushi," Kuroo mulai berceloteh. Teringat akan dirinya yang langsung menyerahkan dompet ketika seorang tinggi-besar-sangar menghampiri kami.
"Elunya aja yang bego, mukanya tadi ramah padahal. Dia juga senyum kok, jangan negatif tingting mulu makanya" Entah kepolosan yang mendarah daging atau memang terlalu lama berenang membuat otaknya mengambang. Nagisa berkomentar pendek sambil melihat-lihat olshop baju renang yang dirintisnya bersama sang guru.
"Duh, tau gini gua beli majalah Mai-chan edisi terbatas dulu" Aomine Daiki, orang terbejat sohib anggur laknat dan oppai dragon dari kelas sebelah mulai menebar jaring dosa-nya.
"Calon penghuni jahanam jauh-jauh gih" Kataku muak.
Tiba-tiba maniak ramen yang berjalan di depan berhenti mendadak.
"Denger ga kalian?,"
"Apa? Si boncel kentut lagi?" Celetuk Kuroo.
Hinata dan aku yang merasa terpanggil pun menoleh sambil menggeram.
Tapi, sejurus kemudian-
DRUAGG!!!
Sebuah palang menancap diantara aku dan Hinata yang berdiri berdekatan. Alamak! Hampir saja aku jadi sate hidup-hidup. Belum sadar dari rasa kaget, seorang pria bartender berlari menuju arah kami.
"IZAYAAAAAAAAA"
Palang, tong sampah, pagar bahkan ban mobil semuanya melayang di udara. Aku berlari pontang-panting, serius deh aku ga mau dateng sejauh ini cuma buat jadi emping loh.
Selagi melindungi diri dari hujan fasilitas umum. Aku sempat melihat empat turis seperti kami berjalan santai tanpa memperhatikan Samson pirang yang sedang mengamuk. Nyawa mereka banyak, ya?
Spekulasiku terbukti, saat orang berambut merah paling depan terkena timpuk tempat sampah minimarket. Kedua temannya, satu berambut kuning satu lagi berambut indigo (entah kenapa tak memakai atasan) langsung bereaksi layaknya orang normal. Tapi, si rambut merah malah tampak bingung dan hanya mengelus jidatnya seolah hanya kena timpuk bungkusan kertas bukan besi.
Keterkejutanku beralih saat orang berjaket hitam berbulu bersembunyi di belakangku, lebih parahnya pria bartender tadi menuju kearahku dengan wajah berkerut marah.
"IIIIZAAAYAAAA-KUUUN"
"Whoops!"
Dengan gampangnya si pria berjaket menggunakan tubuhku sebagai tameng. Dia menggerakkan bahuku kesana kemari supaya menghalangi pandangan si bartender yang sudah ancang-ancang mencekik. Aku menoleh kesana kemari mencari rombongan laknatku, yang ternyata berdiri dipinggir jalan dengan lutut gemetar. Yang menyebalkan mereka menatapku seolah diriku ini sudah tak bisa diselamatkan lagi. Tiba-tiba dari arah jalan raya suara ringkikan kuda diikuti sebuah motor hitam melesat mengalihkan perhatian kami semua. Dengan kesempatan itu si pria berjaket mulai berlari tanpa suara, tapi dia sempat membisikkan kata yang membuatku tertegun.
"Arigato, [Y/n]-chan"
Darimana dia tau namaku?!
Tak punya waktu kaget, tak jauh dari sepeda motor hitam sekumpulan polisi juga ngebut penuh harapan mengejar si motor hitam. Tiba-tiba tanganku ditarik, "Eh, Saburo! "
"Ayok, sini! "
Dia menarikku menjauh dari si bartender yang memunggungi, berlari menyusul teman-temanku yang terbirit meninggalkanku serta sepupuku ini. Saburo anak asli sini, dia ditugaskan oleh kakak tertuanya si wibu Ichiro untuk menemaniku berkeliling Ikebukuro yang 'katanya' adalah divisinya, semoga nanti aku tak lupa berterimakasih padanya karena tak repot memperingatkan aku tentang keadaan Ikebukuro yang tengah bersiap kudeta, ah! Apalagi? Keadaan disini kacau dan nyawaku bisa hilang kapan saja karena hujan palang dan mesin minuman!
.
.
.Aku menenteng kresek kecil berisi minuman dingin, suaraku serak sehabis mengamuk pada para teman kampretku. Saburo baru saja pamit, katanya Ichi-nii nya tersayang mendapat masalah dengan preman Yokohama. Dia pergi setelah mengantarku ke penginapan dengan aman. Aku masih kesal dan menolak mereka yang ingin mengantarku membeli minuman di depan penginapan, astaga... Aku memandang tubuhku sendiri, berusaha mencari lubang yang mungkin terlewat. Semoga saja air yang kuminum tidak keluar lagi karena akibat badanku bocor. Aku menertawakan pikiranku sambil membuka kaleng.
"Eh, ano-"
Bbbbrrrffttt!
Dengan tidak etis soda yang setengah masuk ke kerongkongan keluar lagi dari mulut dan sebagian lagi mengambil jalan lain lewat hidung. Aku terbatuk-batuk memegangi tembok, mataku perih. Selama itu, beberapa kali kudengar si biang kerok mempertanyakan keadaanku. Kenapa sih kalian selalu bertanya hal yang sudah jelas, apakah perlu kujawab
Tidak, aku tidak baik-baik saja. Kalaupun aku mati kau yang pertama menyusul dengan soda keluar dari hidung!
Aku menepis tangan, kemudian berdiri. Rasa perih dan terbakarnya berkurang, aku mengelap mulut dengan lengan baju dan mulai bersiap mengawali ceramah panjang disertai ancaman pembunuhan karena hampir membuatku mati tercekik minuman kaleng. Tapi, semua umpatan buyar begitu wajah didepanku membangkitkan trauma yang masih segar.
Si bartender! Samson pirang yang mengamuk dan hampir membuat seisi kota jadi sate.
Mataku melotot dan kakiku mundur otomatis.
"Jadi... Kau tidak apa-apa?, "
Dia memandangiku dari atas ke bawah memastikan keadaanku. Aku masih bergeming dan mengusap mulut dengan lengan baju.
"Kau terlihat baik-baik saja"
"BAIK SAJA PALA BAPAK KAO!"
Dia tampak kaget dengan teriakanku, mulutku yang tidak menghargai nyawa pun dengan lancar bersumpah serapah.
"PERTAMA KAU HAMPIR MEMBUATKU JADI SATE, LALU SEKARANG AKU HAMPIR MATI TIDAK ELIT KARENA SODA! MASALAH HIDUP MU TU APASIH?! LAGIAN APA TULANGMU GAK PATAH GITU ANGKAT-ANGKAT FASILITAS UMUM? KAU INI TERMINATOR YA?!"
Napasku tersengal, sesaat aku takut dia akan melemparku ke ujung jalan karena mengomelinya. Tapi, dia malah tergelak tanpa suara. Sialan! Apa semua cowok memang sok ikemen begitu heh? (Walau dia memang tampan sih)
"Rupanya kau memang sehat walafiat. Aku minta maaf soal palang itu, dan... Yang tadi."
Dia mengulurkan kantong yang berisi sebuah cup kopi. Tanganku yang tidak tau malu langsung menyambarnya. Sebenarnya, —sel otakku mulai berulah— yang harus kuhajar adalah si cowok stalker berjaket, dia yang menempatkanku pada posisi yang membuatku berpikir tidak bakal melihat matahari terbit lagi.
Dia undur diri dengan alasan pekerjaan, yah... Sekarang aku tak akan berasumsi kalau dia memang benar-benar bartender. Lebih cocok jadi bodyguard mengingat kelakuan bar-barnya tadi.
Whatever...
Yang kulakukan hanya perlu pulang dan memikirkan judul untuk tulisanku. 'Kelakuan pria gila Ikebukuro' mungkin cocok. Pikirku sambil mendengus.
oOo
KAMU SEDANG MEMBACA
ISEKAI CROSSOVER
RandomKetika kamu jadi bagian keseharian para cogan dari dimensi lain:) Sama seperti hidup yang penuh coreng moreng layaknya lukisan abstrak, hidupmu bisa seindah serta semanis gulali sewarna rambut Ramuda. Tapi kebanyakan juga absurd penuh kegajean. Ser...