Sandiwara Manusia Lemah

3 1 0
                                    


Astaghfirullah....
Aku menenangkan hati yang perasaannya bercampur aduk.
Petugas-petugas Rumah Sakit membuatku sangat kesal.
Apakah mereka tak bisa membaca raut wajahku ini yang tidak sedang main-main!
Dengan geram sekali lagi aku datangi petugas Rumah Sakit dibagian administrasi, menanyakan kapan mobil jenazah akan segera tiba.

Ditengah -tengah rasa bimbang dan tak karuan, jari gemetar, hati hancur bergelimpangan.
Aku mencoba untuk menelepon orang rumah, aku menelepon Kakak perempuanku yang kedua.
"Teh, mamah udah ga ada, jangan nangis ya" Aku berbicara seolah aku tegar, namun mulutku terbata-bata melafadzkan kalimat itu, menahan rasa ingin menangis dan sakitnya patah hati.
"Iya A, Teteh nggak nangis, yaudah Teteh kabarin ke keluarga yang lain" Dia memang tidak menangis saat itu, tapi aku tidak tau bagaimana perasaanya, menghadapi realitas kehidupan.

...

Setelah menunggu, akhirnya mobil jenazah sudah siap.
Petugas mendorong ranjang, tempat Mamah menghabiskan 5 jam lebih waktunya untuk terus berjuang hidup.
Tubuhnya ditutupi kain sarung hitam miliku, aku tak dapat melihat wajahnya, walau aku sangat ingin, terlampau ingin.
Melewati lorong didalam Rumah Sakit, malam dingin angin berhembus melewati pundak, menyadarkanku dalam kenyataan pahit.

Dalam perjalanan sirine dibunyikan sejauh 13 kilometer mobil ini meraung-raung kencang.
Ku coba untuk membaca Qur'an tapi tak kuasa, bacaanku terbata-bata, mulutku gelagapan membaca ayat demi ayat, hurufnya ikut membuyar , otak ku letih.
Akhirnya kami semua datang dirumah.
Ramai orang berkerumun, anak muda, ibu-ibu sampai bapak-bapak penghuni kampung datang memenuhi halaman rumah.
Aku melangkah keluar dari mobil, tidak aku hiraukan semua orang disekelilingku, lagipula untuk apa mereka berkerumun, apakah kematian Mamahku pertunjukan bagi mereka!
Aku masuk kerumah, ku dekap tubuh kurus Bapak dikamar, mungkin itu pertama kalinya setelah 6 tahun aku tidak pernag memeluk Bapak lagi, aku tidak begitu dekat dengannya entah akupun tak tau.
"Cuma kita yang kuat ya A, cuma kita yang nggak nangis" Kata Bapak dengan nada parau, menahan tangis.
Aku tidak tau yang Bapak rasakan, kehilangan cinta dalam hidupnya, ditengah keadaan yang sangat rampuh fisik dan hatinya.

Semua orang menangis, setiap sudut rumah ku dipenuhi suara tangisan, adik ku tak sadarkan diri pingsan dalam kamar.
Hatiku masih linglung, energiku habis.
Orang-orang melihatku tak menangis, mereka berpikir aku sangat kuat dan tegar, tapi hidupku setengah harapku telah raib.

Dengan tubuh yang ditutupi kain,Mamah terbujut ditengah ruangan, ku pandangin berharap saja keajaiban turun dan Mamah bernafas lagi namun itu mustahil.
Orang-orang mulai mengaji, membacakan surat Yasin, akupun ikut mengaji larut dalam irama Yasin yang mengalun.
Kemudian beberapa temanku datang, aku sedikit lega ada pelipur lalara.
Aku sambut mereka dengan wajah yang tak menampakan kesedihan, seolah menutupi peristiwa apa yang telah terjadi, aku yakin merekapun berpikir aku sangat kuat, tapi mereka salah kali ini.

Waktu memandikan jenazah Mamah tiba, para saudara lelakiku menggotong tubuh Mamah untuk dimandikan.
Akupun turut memandikannya, mengusap-usap tubuhnya yang masih hangat seperti masih ada kehidupan.
Aku lihat wajahnya untuk terakhir kali.
"Mah... Ini bakti terakhirku kepada Mamah, semoga Mamah tenang meninggalkan kami semua. Terima kasih telah membesarkanku selama 19 tahun, sungguh sangat singkat aku bertemu Mamah" Batinku merangkai perasaan, sambil mengelus-elus rambutnya yang penuh dengan uban putih.
Ternyata Mamah sudah setua ini...

Saat tubuh mamah didudukan, keluar cairan merah dari hidungnya, aku tak kuasa.
Itu adalah darah, ya darah karena pembuluh darah dikepala Mamah pecah, kemudian keluar lewat hidung.
Aku menyudahi ini kakiku kembali terkulai lemas.

Kemudian aku menyambangi teman-temanku diteras rumah, baiklah waktunya aku bersandiwara.
Teman-teman menyemangatiku, sedikit membuatku lebih baik.
Aku tak ikut mengkafani Mamah, karena jika aku ikut mungkin aku akan menangis sejadi-jadinya.

Telah usai malam itu, sungguh malam yang panjang.
Energiku habis, tubuhku lemas dan segalanya hancur.
Aku ingin istirahat, mengistirahatkan diri ini sejenak untuk esok.
Esok adalah hari yang tak pernah dapat memori otakku hapus.
Hari dimana aku dan Mamah sudah berbeda alam.

Patah Hati Lalu LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang