11.02.20 18.21
Pada ujung hari kamis menuju jumat, aku merelakan patah hati terbesar dalam hidupku untuk menguasai raga.-
12.02.20
Subuh ternyata masih ada,mengetuk jendela kamar, menitahkanku untuk mengadu pada Allah.
Selama full semalaman orang-orang mengaji dihadapan jenazah Mamah, sanak saudara, anak santri dan para kiyai.Mamah dikenal sebagai orang yang ramah juga loyal terhadap tetangga, saudara bahkan anak-anak santri di kampung, juga kepada teman-temanku ketika mereka main ke rumah.
Mamah tidak takut hartanya habis, karena memang Mamah tidak memiliki apapun bahkan segram emas saja tidak punya, aku tidak pernah melihat anting menggelayut ditelingannya.
Alhamdulillah...
Setidaknya ini meringankan hisab Mamah kelak.
Satu hal yang aku sangat suka dari Mamah adalah sifat penyabarnya dan senag mengalah, jika diceritakan kehidupan masa kecilnya, itu sangat berat pernuh perjuangan.
Mamah juga tidak seperti kebanyakan Ibu-Ibu di tukang sayur yang senang mengunjing, membicarakan orang lain, membuka aib sendiri sambil memakan bangkai saudaranya. Nauzubillah...
Bukan hanya Mamah, Bapakpun seperti itu meski terkadang keras kepada isteri dan anak-anaknya, tapi Bapak memiliki hati yang tulus.
Bapak sangat senang terhadap binatang dan senang bercocok tanam, hingga menurun kepada aku anaknya.Ah...
Ternyata aku dibesarkan dan dididik oleh orang-orang hebat.-
Setelah itu aku bergegas mandi, karena dari kemarin pagi aku belum mandi dan makan.
Aku mengenkan baju koko kurta yang dibelikan Mamah, Mamah sangat menyukai aku mengenakannya.
Aku sadar hari ini aku harus mensholatkan Mamah dan mengantarkannya ke makam.Dua temanku datang, memang mereka kemarin barjanji untuk datang mensholatkan dan ikut kepemakaman Mamah.
Aku senang mereka datang, setidaknya ada yang menenagkan sedihku.
Ya mereka memang teman yang baik, setidaknya disaat saat seperti ini.Tubuh Mamah diangkat dengan keranda untuk dishalatkan.
Aku berada dishaff paling depan kemudian temanku disebalah kanan.
Selama mensholatkan, aku tak sadar air mata tiba-tiba bergelimpangan tidak dapat aku hentikan.
Sampai selesai shalatpun air mataku masih tetap menetes, mengalir tak dapat dihentika bak mata air sungai.
Kedua temanku menenangkan tubuh ini yang mulai lemah, menepuk - nepuk pundak dan mengelus-elus punggungku, tanda merekapun sedang berduka.
Keranda menuju pemakaman, alangkah melayangnya tubuh ini, bumi seakan tak memiliki tanah untuk dipijak.
Aku dituntun oleh mereka untuk berjalan, dari masjid hingga pemakaman.
-
Liang lahat yang tanahnya merah, baunya sangat khas.
Bau yang membuatku bergidik merinding.
Tubuh yang dibalut putih kain kafan, perlahan diangkat untuk diistirahatkan.
Untuk istirahat yang panjang.Tubuhku dipegang erat oleh Bibiku, sangat erat, mungkin dia juga menahan perasaan yang sama denganku, begitu kehilangan.
Saat tubuh Mamah masukan ke dalam liang lahat, perasaan ini terlalu berat hingga akhirnya tangisku dan saudara-saudaraku pecah seketika.
Aku dipeluk erat namun tangisku tak dapan ada yang memeluk.
Kulihat adiku pingsan terkulai lemas, Kakakupun ikut pingsan.
Aku tak dapat melakukan apapun, akupun sedang lemah,sangat lemah.
Hanya Allah yang dapat menguatkan jiwa-jiwa yang lemah.-
Tanah merah pemakaman menggunduk, telah usai tugas Mamah.
Telah sirna tunainya kepada Allah untuk beibadah, kepada orang tua dan suami untuk mengabdi juga kepada anak-anaknya untuk dididik.
Kini aku dan Mamah sudah berlainan alam.
Kini aku tak dapat mendengar suaranya lagi.
Kini aku tak dapat melihat senyum merekah diwajahnya lagi.
Kini aku tak dapat merasakan lezat masakannya.
Kini aku tak dapat berbakti kepadanya lagi.
Kini dan seterusnya, semua tentang Mamah akhirnya hanya menjadi cerita yang masing-masing orang akan simpan.
Orang-orang yang pernah merasakan hangatnya pribadi Mamah.
Aku bersyukur sempat memperkenalkan teman-temanku kepada Mamah.
Mamah sangat senang jika mereka datang berkunjung.-
Sepulangnya aku dari pemakaman, aku melihat orang-orang yang familiar.
Kemudian aku sadar ku bergegas menyeka air mata, ada teman-teman kelasku datang.
Mereka mencoba menghiburku yang larut dalam kesedihan.
Mereka berhasil, air mataku perlahan mengering.
Syukurlah.
Setelah melaksanakan shalat Jum'at mereka pulang kerumahnya masing-masing.Tangis sanak saudara, masih memenuhi rumahku.
Satu persatu aku menyalami mereka, untaian kata "sabar" keluar dari mulu mereka.
Sabar...
Sabar...
Sabar...
Jika kalian ingin menyemangatiku dan meyabarakanku mengapa dalam kondisi menangis, itu hanya membuatku semakin ingin bersedih.
Dan semua itu membuatku muak.
Aku masuk kedalam kamar, untuk menenangkan diri.
Membuang penat yang bersemayam.
Dan dalam istirahatku aku baru ingat.
"Astgahfirullah....."
Aku melupakan satu hal, satu hal yang seharusnya segera aku persiapkan.
Tapi dengan kondisi seperti ini bagaiman caranya?

KAMU SEDANG MEMBACA
Patah Hati Lalu Lagi
Short StoryIni bukan soal patah hati asmara. Bukan kisah cinta hawa nafsu. Ini adalah patah hati seorang anak Adam pada kedua mentarinya. Ya ini adalah patah hati kehilangan.