Patung Atau Bukan

2 1 0
                                    

Aku baru ingat, dua hari lagi aku harus segera melaksanakan UAS di kampus.
Aku menghubungi dosen yang mengurusi mahasiswa yang berbeasiswa.
Aku bilang bahwa aku tidak bisa mengikuti UAS karena Mamah baru saja meninggal, namun dia bilang bahwa jika bisa laksanakan UAS dahulu, karena jika izin ke bagian Kemahasiswaan agak sedikit rumit.

Haaaah?

Aku dibuat bingung, baru saja Mamah meninggal lalu aku harus segera pergi lagi untuk melaksanakan UAS di Kampus??
Kemudian aku berinisiatif untuk menghubungi satu persatu dosen yang mengajar di kelasku, ku nyatakan untuk izin tidak mengikuti UAS dan kemudiam mengikuti UAS susulan sesuai prosedur dari setiap dosen.
Akhirnya....
Semua dosen mengerti dan mengizinkanku mengikuti UAS susulan.

...

Selama 7 hari kepergian Mamah, rumah selalu ramai oleh sanak sodara yang datang.
Bersanda gurai dan terkadang mengingat ingat kepribadian Mamah, yang membekas dihati mereka.
Yah setidaknya rumahku menjadi sedikit lebih ramai dan mengobati kesepian kami yang ditinggalkan.

Habislah 7 hari kepergian Mamah, memang tak terasa semua ini.
Rasanya Mamah itu selalu ada disekitar kita semua, seperti turut hadir dalam segala aktivitas kami.
Aku masih dapat merasakan hadirnya setiap saat, terkadang entah apa ini halusinasiku atau bukan sesekali suara Mamah terdengar ditelingaku.
Jelas, sangat jelas.

Hari ini aku harus berangkat untuk melaksanakan UAS di kampus.
Walaupun sebenarnya aku tak ingin pergi dari rumah ini.
Lagi pula aku sudah tidak perduli dengan kuliahku, beberapa kali aku pikirkan untuk berhenti berkuliah dan tinggal dirumah bersama Bapak.
Semua itu karena Mamahlah yang memintaku untuk melanjutkan kuliah, setelah aku menuruti apa ingin Mamah, Mamah malah lebih dulu meninggalkanku.
Dan juga dalam kondisi mental seperti ini, bagaimana aku melaksanakan UAS ini?

Perjalanan yang menyakitkan, hampa dan sangat kosong.
Di setiap stasiun pemberhentian rasanya rasa sesak semakin menumpuk, semakin jauh jarak aku dengan rumah, semakin semuanya terlihat samar seperti realita yang aku jejaki.
Tubuh ini berhasil sampai dengan selamat ditempat tujuan rupanya, raga dan jiwa masih utuh ternyata namun banyak hal dalam diri ini yang telah menjadi rapuh semenjak kepergiannya.

-

Aku datang larut malam saat itu, saat jiwa-jiwa mulai lelap dalam tidurnya.
Aku buka pintu kamar yang tidak terkunci.
Ternyata sudah 3 minggu lebih semenjak aku pergi dari tempat ini, waktu yang cukup lama.
Ya cukup lama.
Sampai tanpa aku sadari aku merindukan kamar kostku, teman-temanku dan udara dingin kota ini.
Aku merebahkan tubuhku, menyilahkannya untuk beristirahat sejenak karena esok aku harus mengabiskan energi mengerjakan UAS susulan.

Tanpa persiapan, tanpa belajar dan tanpa ambisi, aku melangkah pergi ke kampus.
Saat pagi menjelma tadi, aku tidak mendapati satu patah katapun yang keluar dari mulut teman sekamarku, diam bisu dan membatu.
Ya mungkin dia juga kesal denganku, masih menganggapku tak ada barangkali.
Tapi sesungguhnya itu hanya terkaanku, aku tidak pernah tau apa isi hatinya, apa yang dia pikirkan.
"Andai manusia dapat saling membaca isi hati"

-

Hari itu aku tuntaskan UAS untuk dua mata kuliah. Tentunya dengan sedikit asal, karena memang tidak ada ambisiku lagi, diDO oleh pihak kampuspun tak apa.
Aku merampungkan UAS susualan dalam rentang 5 hari.
Setiap harinya aku kerjakan soal demi soal tanpa ada harapan, hanya memegang pulpen dan otak yang kosong.
Sempat aku tulis kalimat yang menyatakan permohonan maaf dalam kertas jawaban UAS.
"Bu maaf jika nilai aku anjlok di UAS ini, aku benar-benar tidak bisa fokus"
Mungkin itu yang bisa ku lakukan.
Setelah semuanya rampung.
Setelah aku menuntaskan UAS ini, tanpa pikir panjang kemudian aku pergi kembali pulang kerumah.

Meninggalkan patung yang tinggal bersamaku.
Patung?
Kurasa bukan, tapi...

Patah Hati Lalu LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang