Sakura Jingga

1.1K 152 6
                                    

"Jadi begitu," ujar Haechan, menyudahi ceritanya beberapa saat kemudian. Ia menoleh pada Jeno, memandang pemuda yang kini mengatupkan rahang sedikit kuatㅡtergambar jelas di lekuk wajahnya.

"Ya." Pemuda itu bersuara. "Dari yang bisa kusimpulkan, orang itu berengsek."

"Aku tahu." Haechan mendengus geli, menunduk sebelum kembali membalik badan menghadap danau di seberang taman. "Tapi bodohnya aku mencintai berengsek sialan itu, dulu."

"Dan sekarang?"

"Untuk apa?" Haechan tertawa hambar, menunjukkan satu atau dua fragmen tak kasat mata dari sikap menyedihkannya. "Sebuah dosa mencintai orang yang sudah beristri."

"Dia menikah?"

"Ya, dengan sosok pilihannya waktu itu, tentu saja." Haechan menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya secara kasar, menahan mata yang perih dan dada yang sesak. "Betul-betul sialan kisah itu."

Jeno tertawa renyah, mengangguk-anggukkan kepala. "Memang sialan. Tapi akhirnya, kau jadi sosok yang beruntung."

"Oh, ya?"

"Dijauhkan dari laki-laki macam itu. Benar, kan?"

Haechan tak langsung menjawab, namun menampilkan sebuah senyuman samar. "Kurasa begitu," sahutnya, menggumam.

Mungkin memang seperti itu. Dijauhkan dari Mark adalah salah satu skenario terbaik takdir di hidupnya. Lagi pula, siapa yang bisa hidup bersama lagi setelah diputuskan dengan cara amat menyedihkan? Haechan jelas tak bodoh, dan meski segala hal dilalui bersama Mark tak gampang untuk dilupa, setidaknya ia tetap berusaha. Sebab, segala hal tersebut ... belum bisa dikatakan sempurna. Haechan menanamkan keyakinan itu dalam dada.

"Omong-omong, mau es serut?" tanya Jeno kemudian, memecah kesunyian yang sempat tercipta beberapa masa.

Haechan kembali menolehkan kepala, menatap wajah pemuda yang kini tersenyum cerah padanya, menampilkan dua garis mata yang manis. Diam-diam, ia memikirkan suatu hal lain. Memang benar bahwa selama waktu yang sudah terlewat ini, Haechan memiliki kelemahan dalam kemampuan melupakan Mark, ia harus melewati keterpurukan selama berbulan-bulan dengan kenangan hitam akan hubungannya. Terlebih, pertemuan di musim dingin lalu berhasil kembali memorakporandakan perasaan, mematah apa yang sudah berusaha terekat. Tetapi, segala hal itu kembali memudar, dan semua akibat kehadiran Jeno.

Haechan mulai mempertanyakan eksistensi Jeno; bagaimana pemuda itu tiba-tiba datang ke hidupnya dan mampu memberikan kesan amat mendalam. Katakan bahwa ia mengagumi sosok pemuda itu dengan sangat, menyanjung kecerdasan dan segala tata krama baik yang ada. Jeno juga mampu membawa kenyamanan berlipat ganda bagi Haechan. Lantas, salahkah jika ia berharap sedikit lebih banyak?

Mark juga sudah menikah, dan ia yang terpuruk seorang diri adalah kondisi memalukan. Haechan membencinya dan berharap segala rasa sakitnya segera berakhir. Maka ... apa dengan kehadiran Jeno memungkinkan semua fragmen memori hitam mengenai Mark benar-benar berakhir untuknya?

"Haechan?"

Lelaki itu sontak mengerjap, seolah baru kembali sadar. Ia menggelengkan kepala pelan, berusaha membawa jiwa kembali ke dasar permukaan. Memandang Jeno yang khawatir, Haechan kontan jengah dengan dengus geli yang keluar dari hidungnya. "Maaf. Sepertinya aku melamun."

"Ya, aku tahu. Aku memperhatikanmu selama beberapa saat."

"Kau memperhatikanku?" pekikan Haechan sontak membuat wajah Jeno memerah, sangat kontras dengan warna kulit pucatnya. Kontan, tawa Haechan meledak begitu saja. "Kau harus lihat ekspresi wajahmu sendiri, Lee Jeno!"

Jeno, beberapa saat kemudian, lantas ikut tertawa canggung sembari mengusak tengkuk. Rasa malu dan tak nyaman membakar diri, membuat ia menunduk sementara mendengar tawa Haechan yang terasa melegakan. Setidaknya, lelaki itu tak lagi harus berlarut-larut mengingat mantan kekasihnya.

[✓] A Day Before Christmas [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang