Hari-hari berlalu cukup cepat. Koeun sudah kembali dari rumah sakit dalam keadaan sangat sehat. Luka di sikunya telah hampir tertutup sempurna dan ia mulai menjalani hidup sebagaimana biasa.
Mark pun menjalani rutinitas tanpa ada hambatan; berangkat ke kantor setiap pagi dan pulang ketika malam. Sama sekali tak ada keluhan dalam keluarga kecil mereka, membuat ia merasa sedikit tenang, meski sosok yang selalu berkelana dalam pikiran tetap saja mengganggu kewarasan.
Seperti saat ini contohnya, di tengah malam bersalju, sepulang dari kantor, Mark kembali melakukan hal itu: menghubungi salah satu saluran radio. Melakukan request dengan pesan-pesan yang ... ia sendiri bahkan tak yakin akan tersampaikan pada Haechan. Ia merasa bagai orang tolol, berharap bahwa melalui pesan seperti itu rindunya terhadap sosok sang mantan akan terbayar. Sungguh naif.
Mobilnya mencapai rumah pukul setengah sepuluh. Begitu memarkirkan dengan rapi di garasi, Mark melangkah cepat memasuki rumah. Disambut oleh Bibi Shin yang mengambil tas dan mantelnya.
"Nyonya menunggu di ruang tengah."
"Kenapa dia belum tidur?"
Mark berjalan cepat ke ruang tengah, menyusuri petak rumah yang cukup luas. Ia mendapati Koeun di sana, duduk manis di atas sofa dengan sebuah buku terpangku di atas paha dan perapian yang menyala. Kursi roda berdiri di samping sofa, tak mampu meninggalkan pemiliknya. Pemuda itu melangkah mendekat, mengalungkan lengan di sekitar bahu sang istri dan memberi kecupan pada pipi.
Koeun menoleh dengan senyum menghiasi wajah. "Kau pulang."
Mark bergumam, melepas pelukan dan mengambil posisi duduk di samping istrinya. Mendesah lelah, ia menidurkan kepala di paha Koeun setelah menyingkirkan novel tebal.
Koeun tersenyum lebih lebar daripada biasa. "Lelah?" tanyanya, mengusap lembut surai hitam pemuda itu.
Mark kembali menggumam, kini dengan sebelah lengan menutup mata. "Dan merindukanmu."
Koeun terkikih. "Sudah makan malam?"
"Belum."
"Kalau begitu mandilah, lalu makan dan tidur."
"Aku terlalu lelah untuk melakukan semuanya," keluh pemuda itu, dengan posisi yang ia balik sehingga wajah menghadap perut Koeun. Ia memeluk pinggang wanita cantik itu dengan erat dan menenggelamkan wajah di sana.
"Ayolah, Mark. Jangan manja."
"Serius, aku lelah."
"Pekerjaan terlalu menyusahkan? Atau ada yang mengganjal pikiran?"
Pertanyaan itu membuat tubuh Mark menegang. Ia langsung bungkam, memilih tak menjawab, malah mengambil posisi bangun dari pangkuan Koeun.
"Aku akan mandi sekarang agar kau tidak tidur terlalu malam karena menungguku." Ia tersenyum, pun berlalu, meninggalkan Koeun yang balas tersenyum walau pikirannya terganjal sesuatu. Di matanya, Mark tampak bersikap tak seperti biasa.
***
Suara bising mengisi pendengaran Mark pagi itu, mengusik istirahat yang terasa baru berlangsung beberapa waktu. Bersama mata yang mengedip kaku, ia berusaha memfokuskan kesadaraan, mengembalikan nyawa ke permukaan. Diliriknya jendela kamar dengan tirai tersingkap sempurna, menunjukkan bahwa sang istri sudah memulai harinya. Walau terasa berat, Mark menolehkan kepala ke arah jam di atas meja. Pukul tujuh pagi, berarti bahwa ia telah beristirahat sekitar lima jam, tampak cukup namun terasa tidak bagi tubuh lelah Mark. Ayolah, ia hanya bisa merasakan ini di akhir pekan.
Dengan agak berat, Mark bangkit dari ranjang dan berjalan linglung ke kamar mandi, membersihkan wajah sebelum akhirnya siap menyambut hari.
Dari dalam kamar, dapat ia tangkap suara-suara yang cukup tak biasa, membikin rasa penasaran memuncak dalam benak. Dengan cepat, ia menyelesaikan urusan di kamar mandi, sebelum kemudian turun ke lantai bawah dan melihat apa yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] A Day Before Christmas [Bahasa]
Fanfic[SUDAH TERBIT] Lee Haechan, seorang editor, harus menerima nasib bahwa kisah cintanya tak seindah novel-novel yang kerap ia sunting. Mark Lee meninggalkannya setelah hubungan dua tahun, demi kembali pada sahabat sekaligus cinta pertama: Ko Eunji. Di...