"Hai, Hyung!" sapa Jisung begitu Haechan memasuki apartemen dan melepas sepatu. "Sudah pulang."
Haechan hanya membalas dalam gumaman sebelum melangkah masuk lebih jauh dan membuang tas dengan sembarang ke arah sofa. Ia berjalan menuju dapur, meraih segelas air, membasahi tenggorokan yang kering.
Jisung tak lagi bersuara, tampak sibuk dengan kegiatan sendiri. Penasaran, Haechan keluar dari dapur, pun mendapati si adik sepupu yang sudah berpakaian rapi; celana jins, sweater zamrud, serta mantel hitam sepanjang lutut dengan bulu-bulu hangat di area kerah. Pemuda itu tampak siap pergi.
"Mau ke mana?" tanyanya sambil meletakkan gelas minum di atas meja kopi ruang tengah, sebelum mendudukkan diri dengan lemas di atas sofa, melepas lelah.
"Aku harus keluar. Seniorku minta bantuan."
Haechan kontan mengerutkan dahi. "Apa senior itu menindasmu?"
"Tidak." Jisung menggeleng, masih sibuk dengan ini-itu yang Haechan pun tak merasa begitu ingin tahu. "Kenapa?"
"Hanya saja ... kau buru-buru di jam seperti ini demi menemui seseorang yang kaupanggil senior itu. Bahkan di luar sedang hujan salju. Kalau tidak ditindas, hal apa lagi yang membuatmu rela menemuinya di saat-saat seperti ini?"
Pertanyaan Haechan membuat pemuda tinggi itu tersenyum sipu. Jisung memelankan langkah ketika meraih kunci mobil pada meja di sudut ruangan. "Terkadang kau juga tidak paham, Hyung."
"Huh?"
"Sudah, ya. Aku pergi. Makan malam kutinggalkan di kulkas, hangatkan saja nanti." Jisung berjalan cepat menuju pintu depan, memakai sepatu, sebelum akhirnya menghambur keluar. "Tidak perlu menungguku pulang!" serunya, pun benar-benar berlalu.
Haechan yang melihat tingkah aneh si adik sepupu kontan mendengus, tak cukup paham dengan apa yang pemuda itu katakan. Memilih tak ambil pusing, ia beranjak bangun dari sofa, menyeret serta tas menuju kamar. Memutuskan membasuh diri dengan air hangat, sebelum menghangatkan makanan untuk makan malam.
Sepuluh menit kemudian Haechan keluar dari kamar mandi, mendesah lega begitu merasa tubuhnya telah bersih dari segala penat. Ia hendak menuju dapur setelah mengganti baju, berniat menghangatkan makanan yang Jisung tinggalkan. Namun, dering ponsel membuat ia menghentikan langkah. Meja nakas menjadi tujuan utama, tempat terakhir ponselnya diletakkan.
Melirik layar yang masih menyala, Haechan mengerutkan alis saat mendapati pesan masuk dari nomor yang tak terdaftar dalam kontaknya. Heran, ia meraih benda persegi tersebut, membuka pesan yang masuk.
Selamat malam, Tuan Editor. Aku Lee Jeno.
Begitu paham, Haechan pun berjalan ke luar kamar sambil jari mengetik pesan balasan.
Di dapur, lelaki itu mengeluarkan sekotak lauk dari kulkas dan dipindahkan ke dalam microwave. Sembari menunggu, ia mendudukkan diri pada salah satu kursi meja makan, dengan tangan masih mengetik balasan yang sempat tertunda.
Selamat malam. Ada yang bisa kubantu?
Sepertinya kita bicara santai saja, bagaimana?
Tidak masalah untukku.
Ada sesuatu?Aku hanya ingin menanyakan, apa kau sudah melihat naskahku?
Untuk saat ini aku baru menyentuh bagian sinopsis.
Masih harus menyelesaikan naskah sebelumnya.
(stiker)Oh, aku mengerti :)
Kau tahu, kau bisa menghubungiku kapan pun
untuk naskah ituAku mengerti.
Terima kasih, Author.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] A Day Before Christmas [Bahasa]
Fiksi Penggemar[SUDAH TERBIT] Lee Haechan, seorang editor, harus menerima nasib bahwa kisah cintanya tak seindah novel-novel yang kerap ia sunting. Mark Lee meninggalkannya setelah hubungan dua tahun, demi kembali pada sahabat sekaligus cinta pertama: Ko Eunji. Di...