Mark duduk di kursi kerjanya, dengan manik cokelat memandang lurus pada layar komputer di atas meja. Eskpresi serius mengisi rupa, mata tak sedetik pun teralih dari grafik yang terpampang di sana; menjalani tugas sebagai seorang ketua divisi yang baik, memeriksa apa yang telah dikerjakan dan dikirimkan oleh para pegawai bawahan.
Beberapa saat kemudian, ia berkedip, menatap ke arah jam yang menggantung di dinding ruangan, melihat waktu terteraㅡpukul empat sore; tersisa lima jam lagi sebelum pulang.
Pemuda itu mengembuskan napas, pun memilih menghentikan kegiatan sejenak dan menyandarkan punggung yang pegal ke sandaran kursi. Sekali lagi, ia memandang layar komputer, memperhatikan grafik laporan keungan perusahaan bulan ini.
Menjadi seorang ketua divisi keuangan di perusahaan telekomunikasi sudah cukup menyibukkan Mark setiap hari. Namun, ia sama sekali tak ingin tampak tak puas dengan terus mengeluh. Bagaimanapun, kesibukan ini berhasil mengalihkan perhatianㅡbahkan memorinya dari sosok yang ia tinggalkan satu tahun lalu di tengah malam bersalju.
Mark terpaksa kembali menegakkan tubuh begitu pintu ruang kerjanya terayun membuka, menampilkan sosok Kim Yeriㅡsang sekretarisㅡyang masuk sembari memeluk beberapa tumpuk map dokumen. Tampak bahwa Mark harus bekerja lebih keras hari ini demi menyelesaikan segala hal sebelum tertumpuk makin banyak.
"Ini berkas-berkas yang harus mendapat persetujuanmu, Pak," ujar gadis itu sembari menurunkan tumpukan dokumen ke atas meja, membuat si pemuda melirik ke arah map-map yang terlihat membosankan.
"Terima kasih, Yeri." Mark acuh tak acuh, mempertontonkan raut lelah yang mengisi wajahnya. Belakangan, terlalu banyak pekerjaan yang menumpuk, membuat pemuda itu harus bekerja lebih keras demi mengikis hal-hal yang sudah atau akan kembali menggunung.
Yeri mengangguk sopan, namun masih berdiri diam dengan kedua tangan yang berpangku di abdomennya. Menyadari si sekretaris yang terlihat bagai ingin menyampaikan sesuatu, Mark pun mendongak, kembali menatap gadis itu. "Ada lagi?"
"Ingin kubuatkan kopi, Pak? Anda tampak lelah."
Mark tersenyum tipis, melunturkan sedikit kesan keras di wajahnya. "Ya, tolong. Terima kasih."
Yeri mengangguk sopan, pun segera keluar dari ruang sang atasan.
Ketika tengah asyik memeriksa berkas-berkas yang baru Yeri antarkan, ponsel yang sedari tadi stagnan di atas meja kini menunjukkan pergerakan. Benda persegi itu bergetar, bergerak sedikit demi sedikit menjauhi tempat semula. Meraihnya, Mark pun menjawab panggilan yang masuk; menempelkan benda persegi berwarna hitam metalik itu di telinga kanan.
"Ya, halo," katanya, memulai percakapan. Mark selanjutnya diam, membiarkan orang di seberang sana mengatakan apa yang harus dikatakan. Sampai akhirnya, tangan yang sedang membalik-balik lembar berkas berhenti begitu saja, berikut pandangan mata yang membulat, terkejut.
"Baik, aku segera ke sana," ujarnya cepat, lalu memutuskan sambungan dan memasukkan ponsel ke saku celana.
Ia meraih kunci mobil di atas meja secara serampangan, bergegas melangkah keluar dari ruangan, mengabaikan jas dan mantelnya yang masih tersampir di punggung kursi ataupun Yeri yang kembali dengan secangkir kopi. Yang diinginkan pemuda itu adalah sampai ke tempat yang menjadi tujuannya saat ini, demi memastikan keadaan sosok yang mesti ia lindungi.
Setelah memarkirkan mobil, Mark berlari memasuki gedung berdominasi putih tersebut, menyusuri lorong demi lorong panjang, hendak mencapai tempat yang telah dijelaskan lewat panggilan.
Tak lama, langkahnya berhenti di depan ruangan bernomor seperti yang diberitakan, dan Mark tak membuang waktu lebih lama untuk segera membuka pintu dan menghambur masuk ke dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] A Day Before Christmas [Bahasa]
Fanfic[SUDAH TERBIT] Lee Haechan, seorang editor, harus menerima nasib bahwa kisah cintanya tak seindah novel-novel yang kerap ia sunting. Mark Lee meninggalkannya setelah hubungan dua tahun, demi kembali pada sahabat sekaligus cinta pertama: Ko Eunji. Di...