"Hei, Hyung!"
Haechan tersentak di posisinya. Sejak kembali dari apartemen Jeno sore tadi, ia sudah seperti ini: duduk diam dengan pikiran melanglang. Adalah keadaan Jaemin yang menangis, dengan racau ucapan membabat pikiran; menjadikan Haechan seperti sekarang. Apa yang didapati olehnya saat itu sudah cukup untuk membuat terus kepikiran, bagai telah melakukan dosa besar yang sulit dihapuskan.
"Kau melamunkan apa?" Jisung bersuara lagi, kali ini sembari memosisikan diri di samping Haechan, di atas sofa.
Lelaki itu mendesahkan napas lalu menoleh pada sang adik, menatap Jisung yang tengah mengunyahㅡentah apa. "Memikirkan acara besok?" tebaknya. Haechan yang menggeleng membuat Jisung kembali bertanya, namun ia memilih tak menjawab dan lebih berpihak pada pengalihan pembicaraan.
"Jisung, bagaimana apabila kau berada dalam posisi hubungan dengan seseorang yang ternyata disukai oleh orang lain? Orang itu sahabatmu. Kalian dekat. Kau tanpa sadar menjadi orang ketiga. Temanmu menangis. Kau tahu apa yang harus kaulakukan? Apa itu dosa besar?"
"Apa?" Raut bingung tercetak jelas di wajah Jisung. "Ngomong apa, Hyung?"
Mengerlinglah Haechan dengan kepala yang tergeleng kaku. "Aku juga tidak tahu," gumamnya.
"Apa sih."
"Lupakan." Ia mendadak beranjak dari sofa, berjalan cepat memasuki kamar sebelum kembali keluar beberapa saat kemudi-an.
Jisung menatap sang kakak yang tampak lengkap ketimbang sebelumnya, mengenakan jaket dan tas. Menebak, Jisung tahu bahwa Haechan akan keluar malam ini. "Kau mau keluar bersama Jeno Hyung dengan pakaian seperti itu?" tanyanya, merujuk pada setelan Haechan yang terlewat sederhana. Memang, apabila hendak keluar bersama Jeno, Haechan selalu mengenakan setelan yang lebih bagus.
"Tidak. Aku tidak keluar dengannya."
"Lalu?" Pemuda itu masih penasaran. "Jaemin?"
"Mungkin?"
"Huh?"
"Sudah ya, aku pergi."
Selanjutnya, Haechan tak membiarkan diri lebih lama berada di apartemen. Takut apabila Jisung akan kembali mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang sesungguhnya sulit untuk dijawab. Ia memilih pergi, mengungsi ke tempat mana pun yang bisa menampung diri dengan banyak pikiran seperti ini.
Sulit dilihat, namun Haechan memanglah orang yang akan bersembunyi di salah satu bar apabila sedang berada dalam suasana hati buruk. Baik sebelum mengenal Mark maupun setelah, ia memang seperti itu. Tidak banyak yang tahu, sebab tampang dari seorang Lee Haechan bagaikan lelaki yang tak akan melakukan hal macam-macam. Dia adalah pribadi polos, jika boleh jujur. Namun bisa berubah berkali-kali lipat begitu mencapai suatu kondisi amat menyebalkan. Ketika putus dengan Mark, selain menangis seperti orang gila di apartemen, bar memang kerap menjadi tujuan. Sebelum akhirnya Jisung datang dan menghentikan itu semua.
Kali ini, biarkan Haechan menjadi nakal sekali lagi. Pikirannya mengampu hal-hal di luar batas kendali dan penenang adalah apa yang memang ia butuhkan.
Taksi tumpangannya berhenti di sebuah bar yang kerap dikunjungi beberapa tahun lalu. Melangkah keluar dengan sedikit ragu, lelaki itu menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskan pelan, seolah berusaha memantapkan diri. Sudah lama tak datang ke tempat seperti ini ternyata membuat gugup. Bahkan ia mulai ketakutan ketika membayangkan apabila Jisung mengetahui tempat keberadaannya saat ini. Namun kemudian, ia tak ambil pusing. Toh, hanya minum segelas atau dua gelas, dan melihat-lihat sekitar sampai puas. Haechan bukan orang bodoh yang mau merusak kewarasan, sementara esok peristiwa penting harus dilaksanakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] A Day Before Christmas [Bahasa]
Fanfic[SUDAH TERBIT] Lee Haechan, seorang editor, harus menerima nasib bahwa kisah cintanya tak seindah novel-novel yang kerap ia sunting. Mark Lee meninggalkannya setelah hubungan dua tahun, demi kembali pada sahabat sekaligus cinta pertama: Ko Eunji. Di...