Bab 2 : Sebuah Saran

2K 57 0
                                    

Menikmati angin sejuk siang hari di desa yang masih asri memang menyenangkan. Sudah hampir seminggu Dewi di kampung halamannya. Yang bisa ia nikmati disini hanyalah suasana desanya saja. Bersama keluarga nampaknya tidak mampu mengubah suasana hatinya yang masih bersedih. Bahkan Dewi harus kembali terpukul saat mengetahui sang ibu menjadi depresi dan ayahnya telah menikah lagi. Tiga hari lagi Dewi sudah harus kembali ke Jakarta. Pulang kampung kali ini begitu terasa singkat. Biasanya ia selalu menceritakan segalanya pada sang ibu, namun sekarang ia hanya bisa menyimpan kembali curahan hatinya. Padahal tujuan Dewi pulang adalah untuk mencurahkan semua isi hatinya.

"Dewi?" suara perempuan memanggil Dewi dari belakang. Dewi menoleh padanya. Wajah perempuan itu seperti tidak asing di mata Dewi. Wanita itu tersenyum antusias melihat Dewi, namun Dewi masih belum bisa mengingatnya.

"Dewi! Ya ampun sudah lama banget." wanita itu memeluk Dewi dengan penuh rasa kerinduan. "Kamu nggak inget aku?" Dewi mengerutkan dahinya sambil mencoba mengingat. "Ih, kamu mah sekarang udah jadi anak Jakarta, sombong. Aku Ningsih, teman SD kamu."

Dewi baru ingat dengan nama itu. Ningsih adalah teman SD Dewi sejak kelas satu, namun Ningsih harus pindah ke luar Jawa saat kelas tiga.

"Kamu lagi apa disini?" tanya Ningsih.

"Aku kesini setiap enam bulan sekali, nengokin nenek aku. Aku sering kesini tahu nanya kamu, tapi kata ibu kamu, kamu kuliah di Jakarta."

Dewi hanya tersenyum mendengar penjelasan Ningsih.

"Eh, main yuk ke rumah nenek aku. Barang kali kalau kamu lagi bosen. Rumahnya Jalan Bunga Nomor 20."

"Kapan-kapan, pasti."

"Aku sekalian minta kontak kamu ya."

Dewi mengeluarkan ponselnya dan memberikan nomor kontaknya pada Ningsih sebelum Ningsih kembali pergi.

"Ya udah, aku duluan ya, Wi." pamit Ningsih melanjutkan jalannya.

"Ya, hati-hati, Ning." ucap Dewi pada Ningsih yang sudah jalan beberapa langkah.

Dewi sangat senang akhirnya bisa bertemu dengan teman kecilnya. Sempat terpikir di diri Dewi, apakah Ningsih bisa dia jadikan teman curhat untuknya. Dewi tidak punya alasan untuk berpikir dua kali, satu-satunya teman yang dimilikinya saat ini hanya Ningsih. Dan Dewi tidak tahu lagi kapan bisa bertemu dengan Ningsih. Sebelum Ningsih menjauh dari pandangan matanya, Dewi langsung memanggilnya dan menghampirinya.

"Ningsih, tunggu." Dewi berlari menghampiri Ningsih.

"Kamu punya waktu luang hari ini?"

"Lumayan, kenapa, Wi?"

"Boleh aku cerita sesuatu ke kamu?" tanya Dewi sambil menahan rasa ingin menangisnya.

Ningsih memeluk dan mengusap punggung Dewi. "Kamu cerita di rumah nenek aku ya. Ayo." Karena melihat kesedihan yang hingga membuatnya menangis di depannya membuat Ningsih merangkul Dewi selama perjalanan ke rumah neneknya.

**

"Astaga. Sabar ya, Wi."

Dewi terus-terusan mengusap air mata yang membasahi pipinya dengan tisu. Hal yang diceritakan pada Dewi membuat Ningsih merasa sangat kasihan dengannya. Dengan fisik Dewi yang seperti ini, kemungkinan besar ia akan terus-terusan direndahkan.

"Sendainya aku terlahir cantik, pasti ini semua nggak akan terjadi padaku, 'kan?" ucap Dewi.

Ningsih teringat pada satu hal. Tapi hal ini ragu untuk dilakukannya karena tidak mudah.

"Wi. Menurutku, kalau kamu mau membalas perbuatan mereka pada kamu, satu-satunya cara adalah dengan ilmu hitam."

Dewi menghentikan isakan tangisnya dan menoleh pada Ningsih. "Maksud kamu?"

"Aku juga nggak saranin ini ya, ini juga semua atas kemauan sendiri dari kamu."

Dewi mengangguk dan mulai menyimak.

"Di tempat aku tinggal, ada sebuah hutan. Di dalam hutan itu ada sebuah goa yang dipercaya dihuni sama lelembut dan hantu putri cantik. Konon, orang yang meminta dan bertapa disana, permintaannya akan terkabul."

"Termasuk menjadi cantik dan mendapatkan seseorang yang kita cintai?"

"Ya." Ningsih melihat wajah Dewi yang menatapnya dengan serius. "Aneh ya? Udah lah lupain. Lagian itu cuma cerita. Aku juga belum pernah de--"

"Aku mau coba. Kamu tahu gimana caranya?"

"Jangan bercanda ah, Wi."

"Aku mohon. Aku membutuhkan itu."

Dewi menatap Ningsih dengan penuh harapan. Ningsih baru sadar kalau Dewi tidak main-main dengan ucapannya.
"Aku mohon, Ning." mohon Dewi.

"Kalau kamu serius, besok kamu ikut aku pulang ke kotaku."

Dewi sudah pasrah dengan semua kehidupan yang ia jalani selama ini. Walaupun ia belum tentu berhasil, setidaknya ini adalah usahanya untuk bisa dipandang baik.

Meskipun Ningsih sudah beritahu apa resiko yang akan ia dapatkan, Dewi tidak sepenuhnya tahu kalau petaka yang akan didapat akan lebih bahaya dari apa yang ia bayangkan.

PELET PEMIKATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang