Surabaya di siang hari nggak ada bedanya sama Malang, panas. Gue memang pecinta hujan, dan jelas bukan penikmat panas. Panas selalu merusak mood, bikin gue semakin punya dorongan kuat buat misuh-misuh dan mengumpat.
Gue juga benci sendirian di tempat asing. Jadi kalo bukan demi menunjukkan support buat trio ubur-ubur, gue nggak bakalan sudi keliling daerah kampus orang di siangnya Surabaya yang sepertinya sengaja didesain buat jadi teaser neraka cuma buat nyari tukan capcin yang belum punah. Which is a super hard task, to be honest.
Dan di sinilah gue sekarang; koridor fakultas salah satu universitas negeri di Surabaya dengan ecobag berisi empat gelas capcin dan paramex di tangan. Mata gue berkeliling, mencari auditorium yang dibilang Tejo di grup.
Pertanyaannya adalah: ngapain gue di sini?
Being a good majikan I am, gue di sini buat nemenin my three spoiled servants yang akan dapet undangan manggung di salah satu acara kampus.
Gue hampir teriak-teriak bikin pengumuman buat nyari mereka ketika gue menemukan penampakan mereka di belakang salah satu Auditorium. Dari jauh gue bisa ngeliat mereka rehearse sambil goyang kanan-kiri khidmat dengan outfit gamis hitam plus kopiah yang hitam juga. Persis sugar glider.
Iya mereka mau marawisan.
Walaupun agak kurang bermartabat, Iqro Tejo dan Baskoro adalah anggota kebanggaan tim marawis kampus. Gue antara bangga dan pengen mampus-mampusin.
Soalnya dulu, seperti fakboi kebanyakan, mereka paling anti sama hal-hal berbau masjid dan mushola. Tapi sekarang gayanya aja doyan sebat dan clubbing, aslinya lemah sama tabuhan rebana.
Ampas.
Tejo sepertinya bisa mengendus keberadaan gue karena dari jauh gue bisa ngeliat idungnya kembang kempis sambil nengok kanan dan kiri. Dia masih sibuk muter-muter kepala sampe akhirnya matanya ketemu mata gue.
Emang dasarnya alay itu anak malah lari-lari india ke arah gue. Gue cuma ngeliatin sambil diem-diem berdoa semoga dia keserimpet gamisnya, terus ngejeledak.
Sayangnya dia sampai dengan selamat.
Gue bisa ngeliat dia senyum-senyum najis "fariiiiss nyas- ANJENG"
Gue memotong ucapan sok manja-manja Tejo dengan tabokan keras di kepala yang malah bikin dia mengumpat
"jijik jingan"
Gue berjalan meninggalkan Tejo, pura-pura nggak denger dumelan Tejo yang lebih mirip ratapan jika aku menjadi.
Baskoro masih asik goyang kanan-kiri sedangkan Iqro udah ngeliatin gue dengan mata berbinar-binar, bikin dia mirip anak anjing lagi minta makan
"nih" gue menyerahkan bungkusan di tangan ke Iqro yang nerima dengan suka cita
"bisa dapet capcin ris??" Iqro bertanya antusias sambil ngubek-ngubek bungkusan yang gue bawa
"lo liat aja itu capcin apa bukan" gue menjawab malas
Iqro mengangkat kepalanya mandang gue dengan mata berkaca-kaca. Najis emang ini anak ketemu capcin aja terharu. Rasanya pengen gue colok matanya pake sedotan capcin.
Tapi emang dasar otak sama badan ga sinkron, gue malah mengangkat tangan buat ngelus-ngelus kepalanya.
Anjing emang.
"lo nanti mau nonton di dalem apa nunggu di luar?" Baskoro bertanya sambil mengambil gelas capcinnya
"di dalem aja ris, nanti teriakin nama gue yang kenceng" Tejo nyamber bersemangat dengan mulut penuh cincau

YOU ARE READING
Faris
أدب نسائيFaris isn't your typical female friend Because she isn't your friend, You're her servant. "kata Faris gue cocok jadi budak, gapapa hehe" -Tejo "budak tuh yang ada culanya kan?" -Baskoro *cuma ketawa* -Iqro