Happy Reading!!!
~o0o~
Suasana kelas XI IPA 3 pagi ini sedikit berbeda dari biasanya. Semua sibuk bergulat dengan pikirannya masing-masing. Yap, suasana yang sepi layaknya kuburan. Hari ini kelas itu sedang melaksanakan ulangan harian dadakan bidang studi kimia.
Beni merutuki diri saat melihat dua puluh lima soal essay bertengger manis didepan matanya. Jujur, Beni tak mengerti apa maksud dari soal-soal itu. Dalam hati pemuda tegap itu terus menyumpah serapahi Pak Anton yang tak kunjung keluar dari kelas.
Tak ada pilihan lain, akhirnya Beni menyiku lengan Trian yang sedang memahami soal.
Sebelum benar-benar menolehkan kepala, Trian menatap Pak Anton lebih dulu untuk memastikan keadaan sedang aman atau tidak.
Setelah memastikan kondisi aman Trian menoleh. "Apaan?"tanya Trian selirih mungkin.
Beni tersenyum sumringah. "Jawaban nomor 1 sampe 25 apaan? Bagi dong...."ucap Beni memelas.
Trian memutar bola matanya malas.
"Lo pikir gue ngerti? Gue udah ketinggalan 2 kali pertemuan sama Pak Anton,"ujar Trian amat lirih.
Beni sudah merasa gila sendiri ketika melihat Siska yang notabene-nya juara kelas menyeret kursi dan berakhir maju untuk menyerahkan hasil kerjanya kepada Pak Anton. Dirinya dibuat tambah frustasi tatkala menyadari waktu pengumpulannya tak akan lama lagi.
Disisi lain Trian menatap gamang deretan tulisan yang tercetak rapi dalam kertas HVS. Pena ditangan kirinya hanya ia mainkan untuk mengetuk-ngetuk meja pelan tanpa ada niatan untuk menumpahkan tintanya ke dalam lembar jawaban. Pikirannya sekarang benar-benar tengah terbagi. Ia sama sekali tak bisa fokus. Berusaha untuk fokus pun rasanya percuma, ia sama sekali tak memahami soal-soal tersebut.
Trian justru tercenung mengingat percakapannya dengan Bi Surti kemarin. Isi otaknya sangat semrawut untuk saat ini. Belum ada kejelasan yang pasti untuk dia terima. Lelah dengan jalan pikirannya, sesaat Trian melirik Beni yang terlihat seperti cacing kepanasan. Tak lama setelahnya kekehan geli keluar dari celah bibir pemuda itu.
"Waktu tersisa sepuluh menit lagi,"ujar Pak Anton sangat tenang.
Mendengar itu, Trian justru terlihat begitu tenang meletakkan pena nya ke laci, mengingat tangan kanannya belum bisa untuk bergerak leluasa. Berbeda halnya dengan Beni yang kini sudah tak bisa duduk dengan tenang layaknya orang yang terkena ambeien. Helaan napas gusar berkali-kali keluar dari mulutnya.
Trian memilih untuk menyenderkan tubuhnya ke kepala kursi. Rasa pusing tiba-tiba menyerang kepalanya. Ingatan-ingatan itu entah mengapa sibuk berlalu lalang disetiap pikirannya. Pemuda itu memejamkan mata mencoba meredam sakit di kepala yang rasanya akan pecah saat ini juga
"Mama kenapa tinggalin kita sih Yan?"
"Apa dunia sejahat itu sama kita?"
"Gue cape diajak bercanda terus."
"Kenapa sih papa jahat banget sama gue,"
"Kalau suatu saat gue pergi, lo gak usah repot-repot cari ya...."
Tanpa disadari tangan kiri Trian sudah mengepal kuat dibalik saku celana abu-abu nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Cerita Lagi
Teen FictionBiarkan sajak bercerita tentang kata yang tak pernah bertemu dengan maknanya. Februari 2020