3. Mimpi yang Indah?

32 3 0
                                    

Irfan belum bisa bernafas lega. Sekalipun akan dikenalkan pada seorang wanita, hatinya dirundung duka. Kakek yang sangat menyayanginya kini tiada.

"Kek, mengapa hal ini seolah begitu cepat untukku? Saya belum melaksanakan amanahmu. Apalagi boro-boro membahagikanmu?" sesal Irfan dalam hatinya.

Ia merenung sendirian di belakang rumah. Keningnya tampak mengerut. Sesekali ia menarik nafas dalam-dalam. Saat itu pula tangan kanannya memegangi keningnya. Lalu mengurutnya perlahan ke arah dahi beberapa kali. Alhasil, beban puyengnya sedikit mereda.

Irfan seolah-olah menyesali apa yang terjadi. Batinnya merasa terpukul. Bagaimana tidak? Kakek yang berjiwa besar itu selalu hadir kapan saja. Terlebih saat dirinya merasakan kegalauan, kakek menyemangatinya. Harokah hidup selama bersamanya sangat menginspirasi diri Irfan.

Seluruh keluarga kini berkabung. Irfan tak mampu membendung tangisnya. Air matanya mengalir deras. Matanya sembab, memerah. Sesekali ia mengambil tisu yang disimpan di saku baju sebelah kiri bawah. Ia seka air mata dan ingus yang bercucuran dari hidungnya. Sebuah tangisan kasih sayang yang menandakan kecintaan kepada kakeknya. Kini semua itu telah sirna, tinggal memori kenangan.

***

Sekitar lima puluh harian sejak berkabung, agenda pencarian cinta dirancangnya kembali. Entah akan memulai dari mana? Irfan sedikit kurang percaya diri.

"Dek, kamu tak sendirian. Masih ada mama' dan embu'. Pasti mereka menyayangimu. Walau kalian kini tidak kumpul bersama." Kakak perempuan tapi lain bapak mencoba membesarkan hatinya. Irfan biasa memanggil dia mbuk _ ya, _mbuk Sumi. "Irfan, ayo bangkit! Kamu punya segalanya. Tak sepertiku, hanya punya ibu kita. Ayo jemput bakal jodohmu! Mbuk bersamamu jua," lanjutnya.

Irfan tak menjawab sepatah katapun. Diam, pandangannya lurus. Sebentar kemudian ia beranjak pergi ke dalam kamar. Diambilnya radio dua band yang berada di atas kasur. Dicarinya frekuensi yang cocok untuk menghiburnya. Distelnya lagu-lagu apa adanya.

Radio baginya laksana sahabat. Jikalau di rumah, adanya suara tanpa rupa itulah yang mengisi kehampaannya. Menghibur dan menumbuhkan semangatnya. Hp belumlah sebagaimana saat ini. Hampir tak ada.

"Ya, saya akan mengikuti pandangan kalian." Irfan bangkit dari duduknya.

Suasana malam itu, perbincangan terfokus pada bagaimana masa depan Irfan. Ayah dan ibunya sengaja datang ke rumah nenek di mana mereka tinggal. Demikian juga dengan bibi bungsu yang tinggal di lingkungan yang sama, namun beda rumah. Semuanya hadir semata untuk menyemangati Irfan.

"Nak, bibi setuju apapun yang kamu putuskan. Masa depan hidupmu ada padamu. Kita di sini bersamamu," ujar Bi Diya juga menyemangati.

"Ya, Bi. Terima kasih. Irfan ingin istikharah dulu. Sebab saya yakin dengan jalan itulah kita akan lurus menapaki jalan yang ditempuh." sambut Irfan.

"Alhamdulillah, demikian yang kami harapkan. Semangatmu adalah semangat kita semua," sambut ayahnya gembira.

Keesokan harinya Irfan pamit pada ayahnya. Ia akan menemui kiai yang pernah memberikan satu nama seorang wanita untuknya. Ia yakin sekali jikalau wanita itu jodohnya.

"Apa yang membuatmu begitu yakin, Cong?" selidik ayah Irfan. Ia sedang mendekati kursi yang berada di ruang tamu dan hendak duduk di sana. Baru saja ia usai salat dhuha.

"Ayah, saya tadi malam melihat cahaya yang berkilat-kilat dalam mimpi. Cahaya membubung tinggi itu seolah-olah berasal dari api yang membakar asrama pondok pesantren di mana kiai yang hendak membantu Irfan ini," Irfan berhenti sejenak, lalu, "... Entahlah? Tapi, saya yakin itu firasat baik."

"Baiklah, ayah dan ibu merestuimu. Lakukan yang terbaik untukmu, Nak!"

Pagi sekali Irfan sudah tiba di kediaman orang yang sedia mengantarnya. Tak langsung menuju rumah kiai. Namun ia ke rumah seorang ustadz. Rumahnya sangat dekat dengan pondok pesantren yang ia mimpikan. Pas saja, ustadz itu kebetulan ada di rumah. Belum beranjak pergi ke mana-mana pagi itu.

"Sampeyan sudah siap?" sambutnya. Irfan tak dipersilahkan duduk. Ia dibiarkan duduk di luar saja. Siulan burung perkutut nan indah yang menyambutnya. Suara itu dekat sekali. Yah... burung dalam sangkar itu bergelantungan di tiang kerekan depan rumah ustadz.

"Insyaallah siap, Ustadz," sanggup Irfan. Ternyata Irfan sudah melakukan perjanjian dengan ustadz untuk diperkenalkan dengan seorang wanita sebagaimana keinginan kiai pula. Ustadz itu bernama Ruki, ya ustadz Ruki.

"Nanti dia akan melewati jalanan depan ini." Ustadz Ruki sembari menunjuk arah jalan setapak di depan rumahnya. "Tapi, kalau tidak ada kita datangi ke sekolah. Cukuplah pantau agak jauh saja. Dia guru sukwan sekolah dasar sebelah barat jalan besar itu." Kembali Ustadz Ruki menoleh ke arah timur sambil menunjuk ke arah sekolah berada.

Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi. Yang ditunggu belum juga tiba. "Jangan-jangan ia sudah di sekolah. Mungkin saja ia naik sepeda dengan temannya," duga ustadz. "Gimana kalau...."

"Ya, kita datangi ke sana, Ustadz." Irfan menanggapinya. Langsung memotong pembicaraan, bersemangat sekali.

"Ya, tapi tunggu dulu sampai waktu istirahat."

Ealah... benar. Dia sudah di sekolah. Terlihat dari kejauhan sedang duduk bersama kedua teman perempuannya. Mereka tak tahu jikalau ada seseorang sedang mengawasinya. Terlihat santai saja.

Suasana sekolah ramai sekali. Siswanya cukup banyak. Para siswa sedang bermain berlarian di halaman sekolah. Yang lain bercengkerama di bawah pohon perdu. Terlihat pula yang sedang beli-beli di kantin. Waktu istirahat memang sangat dinantikan oleh semuanya.

"Gimana sampeyan bisa melihatnya kan? Itu yang paling barat menghadap ke selatan," jelas Ustadz Ruki berbisik. "Kalau udah, ayo kita pulang! Sebelum mereka curiga pada kita."

Mereka berdua kembali ke rumah ustadz. Ia tak membawa kendaraan, berjalan kaki saja. "Gimana tadi? Sampeyan sudah melihatnya kan. Jelas gitu?" Ustadz Ruki menanya lagi.

Irfan hanya diam, tak menanggapi apapun. Sehingga mereka tiba di rumah ustadz. Ia langsung mengambil air lalu meminumnya. Sepertinya ia lelah dan kehausan. Sekitar enam ratus meter pulang pergi. Sinar mentari pun menyambutnya dengan hangat. Muka keduanya sedikit memerah. Lelah.

(Bersambung)

AZIMAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang