1. Kakek Inspirator

75 5 0
                                    

Malam itu wajah rembulan tersenyum malu. Azan isya' sayup-sayup terdengar dari beberapa corongan penjuru masjid. Takbir, Allahu Akbar mengalun berirama, mendayu-dayu. Menelusuri ruang-ruang rohani yang nampak kerontang, beku dan dipenuhi keluh kesah.

"Cong, kamu mau ke mana? Jangan tinggalkan aku!" Suara itu terdengar parau. Memelas, penuh iba. Terdengar dari sosok kakek tua yang tak sekekar dahulu lagi. Desah nafasnya memecah kesunyian malam.

Ia terlentang kaku, tiduran di atas lencak. Terhampar di atasnya sebuah alas kasur kapas, sudah memadat. Entah berapa bulan tiada tersentuh radiasi matahari. Kepalanya berat bersandar pada dua bantal yang lusuh. Benar-benar renta. Namun, kerutan di dahinya menandakan sisa-sisa kesemangatan hidup yang tinggi.

"Kapan kamu akan kawin?" tanyanya lirih. "Usiamu sudah cukup dewasa. Kakek ingin melihatmu bahagia sebagaimana yang lainnya. Bawalah calon istrimu ke hadapanku yang mungkin aku tak kan mampu bertahan beberapa lama lagi ini." Ia menghela nafas panjang.

Sesekali terdengar batuk sesak, "Uhuk... uhuk... uhuk." Lalu diambilnya secarik kain perca kusam yang terletak di sisi kanan bantalnya. Kain lusuh yang biasa dipakai untuk menyapu bibirnya ketika basah oleh air liur. Maklum saja, giginya banyak yang tanggal. Terlihat mencuat dua yang tersisa tak ubahnya gawang sepakbola.

Irfan sejak tadi sedang memasang kancing bajunya. Sibuk mempersiapkan diri untuk menghadiri undangan pengajian di desa sebelah. Ia ditunjuk menjadi pemandu acara kegiatan malam itu. Baru dua menit kemudian ia menjawabnya.

"Maaf, Kek. Saya pamit. Malam ini akan menghadiri undangan." Irfan mohon izin. Diambillah tangan si kakek untuk diciumnya. Hendak meminta restu dan doa keselamatan darinya. Sesaat kakek begitu erat memegang tangannya. Seolah-olah tak ingin melepasnya. Apalagi untuk kepentingan yang begitu lama dan terbilang jauh.

Sesekali dilihatnya jam tangan berwarna perak yang melingkar di lengan kirinya, waktu telah menunjukkan 19.15. Si kakek belum ingin melepas tangannya jua. "Kek, Irfan diundang orang. Penting sekali. Izinkan barang sebentar untuk pergi, ya. Nggak lama kok!" pintanya mengiba.

"Ya, sudah pergi sana. Ingat, jangan malam-malam!" Sekali lagi Irfan menarik tangan kanannya lalu menciumnya lekat serta mengecup keningnya. Cukup lama untuk dilepaskannya.

Irfan beranjak pergi dengan sepeda motor Yamaha Super berwarna merah kesayangannya. Ia sendirian di tengah malam gulita. Sebab lama menunggu, kakekpun terlelap hingga mentari menyapa pagi sembari teriringi alunan burung merpati yang beterbangan rendah.

Masih terngiang di telinga Irfan permintaan kakeknya semalam. "Kau sudah cukup dewasa, kakek ingin melihat kebahagiaanmu." Permintaan dan pernyataan itu selalu menghantui dirinya. Entahlah, apakah pernyataan itu motivasi bagi dirinya atau sebaliknya? Bingung dibuatnya.

Adalah permintaan spesial dari seseorang yang spesial. Apresiasinya berbeda sekali dengan ketika ibunya mengatakan hal yang sama padanya. Irfan kurang mengindahkannya. Terlebih lagi bila mengingat jikalau sang kakek tidak lagi kuasa untuk beranjak dari pembaringannya. Andai saja mencari seorang calon istri sama dengan membeli permen di toko tentu tidak akan menjadi beban baginya.

Konon Irfan sejak usia kecil, sekitar berusia tiga tahunan sudah berada di gendongan dan asuhan kakeknya. Awal ia bersama ayah-ibunya yang tak begitu jauh dari rumah yang ditinggalinya sekarang. Sebab sedikit ulah, membuat dirinya merasa takut bila bertemu dengan ayahnya. Sejak itu ia bersama kakek neneknya. Wajarlah apabila menyebutnya spesial. Intensitas komunikasinya terbangun indah dengan mereka.

Sebagaimana kesehariannya, ia berangkat ke sekolah pagi-pagi. Pada usia yang terbilang muda, sudah menjadi seorang abdi negara. Yaitu mengajar dan mendidik siswa di tempat mana dahulu ia bersekolah di sekolah dasar.

"Fan, yuk nanti sore kamu ikut saya!" Tiba-tiba saja Ais menepuk bahu kanannya sembari mengajaknya pergi.

"Ke mana? Aku nanti sore repot," jawab Irfan sekenanya.

"Kamu ini! Hayolah, kamu tak kenalin pada teman saya. Dia cantik pakai kacamata. Wajahnya keibuan. Kamu pasti suka deh!" jelas Ais memberondongnya. "Masak kamu tetap gitu sih? Keluar dong! Dunia luar itu indah," rayunya.

"Oke, aku ikut kamu nanti. Sesudah salat Asar kan?"

"Ya, iyalah. Tak enaklah jikalau pergi sebelum menunaikan kewajiban pokok kita." Ais beralasan. "Hey, pakai baju yang keren!" Sembari mengacungkan jempol jari tangan kanannya tinggi-tinggi.

"Okay, ziiap!" timpal Irfan sambil beranjak pergi ke ruang kelas di mana para siswa sudah menunggunya.

Namun, hati Irfan tambah berdegup kencang. Entah apa yang akan diperbuatnya jikalau kemudian bersua dengan gadis yang dicarinya. Mampukah bila saling bertatap dengannya? Ia ragu-ragu dengan eksistensi dirinya. Belum pede untuk menghadapi semuanya. "Ya, Rabb. Inna ma'al 'usri yusraa, fainna ma'al 'usri yusraa. Aku berserah kepada-Mu, ya Rabb."

(Bersambung)

AZIMAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang