4. Jika Bukan Dia?

23 4 0
                                    

"Ya. Insyaallah dia cocok denganku. Walau...," Irfan berhenti sejenak dan menghela nafas panjang. Seperti berat untuk menyampaikannya. Tapi, "... terus terang tadi di sana dengan jarak yang cukup jauh bagi saya sangat kurang jelas. Yang saya tahu hanyalah _ dia duduk bersama temannya dan tak tampak sedikitpun raut wajahnya. Namun, saya percaya bahwa itu takdir Allah yang indah. Saya siap dengan segala resikonya, Ustadz. Insya Allah saya akan melamarnya," tegas Irfan tanpa ragu-ragu sedikitpun.

Sesampainya di rumah hampir seluruh keluarga dekat sudah menunggu kedatangan Irfan. Satu persatu berebut menanyakannya. Bagaimana wajahnya, cantik? Apakah tidak ada cela sedikitpun? Apakah kamu sudah menemui dan berkenalan dengannya? Lalu, bagaimana tanggapan dia? Tampak wajah mereka sangat penasaran.

Astaghfirullah, Irfan belum bisa menjawabnya. Tak satupun yang dijawab, sudah diserang dengan pertanyaan yang lain. Akhirnya, Irfan menceritakannya tanpa rahasia sedikitpun

"Ai, awas kalau-kalau gak ada telinganya, atau ... ?!" goda mbuk Sumi. Mungkin saja _ begitukah kenyataannya?

Irfan sangat percaya pada firasat itu. Tak senang untuk berandai-andai. Apalagi harus buruk sangka. Toh ia telah memintanya kepada Allah. Jawabnya, walau melalui isyarat yang bersifat teka-teki _ jilatan api yang menjulur-julur tinggi _ menurutnya: sesuatu hal yang baik.

"Sudahlah, Mbuk! Kita berserah saja. Tolong doanya untuk kita semua," pinta Irfan.

Sepuluh hari kemudian pertunangan antara keduanya dirancang. Hari baik pun tak lupa ditanyakannya pada kiai melalui ustadz yang memediasinya. Segala sesuatunya dipersiapkan. Lamaran itu pokoknya harus berjalan sukses.

Satu mobil pickup dengan lima belas penumpang telah siap dengan topa' leppet dan kue goreng kocornya. Ala-ala tradisi yang turun temurun tetap dilestarikan. Pihak keluarga menyambutnya dengan penuh penghormatan pula. Mereka sangat berterima kasih keluarga Irfan.

Sebagai calon laki-laki, Irfan tetap di rumah. Setelah tiga hari baru boleh beranjangsana untuk lebih mempererat di antara keduanya. Biasanya diantar oleh salah seorang anggota keluarga dekat. Tapi Irfan kala itu bersama penghubungnya, ustadz Ruki. Waktu berkunjung dipilihnya setelah salat isya'.

Hati Irfan dagdigdug. Penyakit rasa malunya kini menggerayanginya. Takut dan was-was berkecamuk dalam dada. Apa yang akan diperbuatnya jikalau sudah bertemu dengan tunangan yang belum pernah dikenalnya? Adakah ia akan menyambutnya dengan indah? Atau...? Irfan membuang jauh-jauh suara hati yang datang hendak menipu.

Ketika Irfan sudah tiba di rumah yang dituju, calon ibu mertuanya mengabarkan jikalau bapaknya sedang di luar rumah. Bekerja agak jauh dan malam itu menginap di tempat kerja. Ia mempersilahkan duduk di kursi dan meminta maaf atas keadaan ini.

Beberapa menit berikutnya datanglah seorang wanita cantik tanpa kerudung menyuguhkan minuman, lalu menyilahkannya. Kira-kira usianya sekitar dua puluh tahunan. Irfan tak mengabaikan kesempatan itu. Ia bersyukur, ternyata tak seperti yang mbuk Sumi bayangkan. Alhamdulillah, sempurna.

Puas. Irfan dan ustadz berpamitan hendak pulang. Irfan menyempatkan untuk bersalim dengan siapa saja di rumah itu. Termasuk dengan seorang sepuh yang duduk di belakang lemari bufet. Mbah itu duduk dengan seorang wanita yang barangkali sedikit lebih tua dibandingkan dengan wanita yang menghaturkan minuman. Sepanjang jalan menuju rumah ustadz, hati Irfan berbunga-bunga.

"Bagaimana sudah tahu kan pada calonmu?" ustadz Ruki menanyakannya setiba di rumahnya.

"Iya, Ustadz," jawab Irfan tanpa ragu.

"Yang mana?" buru ustadz.

"Tentu yang menghantar minuman tadi," jawab Irfan lagi.

"Bukan... bukan itu!" jawab ustadz.

Irfan terkejut dan penasaran. Seketika hati dan perasaannya bertanya keras _ lalu yang mana? Namun, ia diam saja. Merasa heran dan malu untuk balik bertanya, menunggu saja. Ia terperangah, penuh tanya.

"Yang tadi itu saudaranya. Sudah bersuami setahun yang lalu. Dan seorang perempuan yang hampir sebaya dan duduk bersama mbah di belakang bufet itu calon sampeyan," jelas ustadz Ruki. "Adakah sampeyan tahu dengannya?"

"Maaf, tidak tahu. Cahaya di dalam kurang begitu terang, agak gelap. Sulit saya mengenali wajahnya. Tapi tak apalah," jawab Irfan.

"Bagaimana sikap dia tadi?" tanya ustadz lagi.

"Dia tak mau bersalaman denganku tadi. Menyeret tangannya dengan keras."

"Iya sudah. Yang terpenting sampeyan masih tetap semangat dan tak berubah pikiran," nasehat ustadz Ruki. "Sudahlah, ayo istirahat! Besok pagi-pagi saja pulangnya."

Astaghfirullah, sepekan sudah waktu berlalu, belum juga ada tanda-tanda akan nungngeppi. Biasanya sepekan adalah waktu jeda. Waktu keluarga besan balik berkunjung. Refun, begitu kira-kira. Sepuluh hari pun tetap tak kunjung sua.

Pas benar. Sore itu ada seorang laki-laki berumur separuh baya menamu. Ia naik sepeda motor butut, Suzuki warna merah untuk lelaki. Seorang utusan yang membawa kabar duka, sekaligus menyampaikan permohonan maaf atas keterlambatan berkunjung balasan. Dengan sedih, ia menyampaikannya jikalau tunangan Irfan sedang dalam pencarian. Ia pergi dari rumah kemarin malam. Ia hanya meninggalkan secarik kertas yang ditujukan pada ibunya.

"Bu, maaf bila Ifah mengecewakan kalian. Saya ingin menenangkan hati. Sampeyan tak perlu mencarinya."

Demikian isi surat itu. Kabar itu bagaikan petir. Amat menggelegar di tengah gulita. Menyakitkan. Semua terbawa arus duka. Sekali lagi kesabaran Irfan diuji. Berbagai tanggapan pun kian meruncingkan suasana.

(Bersambung)

AZIMAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang