7 Sketsa Bayangan Seorang Ibu

16 3 0
                                    

Sasmiyati tiba-tiba berhenti sejenak lalu berbelok arah menuju kios kecil yang berjejer di kiri–kanan sepanjang jalanan peron yang menjajakan berbagai makanan, termasuk mie ayam kuah, soto Lamongan, soto Madura, dan lainnya. Keduanya mengambil tempat duduk kursi karet warna merah berkaki empat yang coraknya masih baru.

"Makan apa, Dik?"

"Mbak apa?" Ifah balik menanya.

"'Aku nasi pecel dengan lauk telor dadar, kamu?" jawab Sas kenudian balik nanya lagi.

"Sama aja, Mbak."

Tak ada satupun dari mereka yang diomongkan. Kecuali hanya menunggu apa yang dipesankan.

"Ini, Mbak. Silahkan! Jika kurang apa minta ya!" pesan penjual makanan yang ternyata dia orang Madura. Mudah saja, sangat terlihat dari dialek bahasanya yang kental.

"Ya, Bu," jawab Sas singkat.

"O... ya, Dik. Masih belum ingatkah pada ibu di rumah?" Sas mulai memancing daya ingatan Ifah, barangkali sudah rada kembali.

Ifah lagi-lagi tak hendak menjawabnya. Ia hanya menggeleng-geleng kepala pertanda benar-benar tak ingat apa-apa.

"Ya, sudah," Sas suaranya juga merendah. "Kasihan dia," pikirnya.

"Alhamdulillah. Ayo, Dik, kita lanjutkan perjalanan atau mau ke toilet dulu?"

"Sebentar, Mbak. Ifah ke toilet bentar," pinta Ifah.

"Baik. Sekalian saya ingin salat duha barang sejenak!" jawab Sas.

Sasmiyati ingin memanfaatkan sebagian waktunya untuk salat. Ia hendak bermunajat semoga teman yang sekarang sedang bersamanya kembali dipulihkan ingatan dan hatinya oleh Allah yang memiliki setiap kehendak. Ia paham betul jikalau kegalauan dan kekerasan hati pasti akan luluh oleh doa orang yang mau bermunajah. Bahwa setiap zarrah yang terjadi di bumi ini atas kuasanya. Doa itu senjata seorang hamba. Dan pasti diijabah, walau dalam waktu yang dihendaki oleh-Nya.

"Sudah, Dik. Ayo!" Sas berjalan di depan Ifah mencari posisi anjungan bus Surabaya-Nganjuk. Dilihatnya setiap petunjuk arah yang terpampang di tembok pembatas bagian atas. "Nah itu dia, ayo turun!" ajak Sas dengan sedikit berjalan lebih cepat.

"Patas, Mbak? Ayo ke mana, Mbak?" tanya seorang calo yang berdiri di lorong-lorong menuju arah tangga anjungan masing-masing bus. Mereka berusaha menghentikan langkah setiap calon penumpang untuk menawarkan jasa sekaligus memberi petunjuk arah tujuan.

"Ai... tasku, Mbak!" suara Ifah tiba-tiba. Ia menghentikan langkah lalu melihat-lihat kedua tangannya penuh keheranan memeriksa sesuatu. Padahal perjalanan mereka sudah sangat dekat sekali dengan bus yang dituju. Ifah sangat panik. Ia berlarian kembali ke mana diletakkannya tas yang berisi baju tersebut. Sedangkan Sasmiyati mengikuti langkahnya dari belakang. Ia pandangi setiap sisi dan sudut mulai dari toilet, musalla, dan daerah sekitarnya. Tak ada tas yang dimaksud. Ketika menanyakannya pada petugas toilet, jawabnya tidak tahu juga.

Ifah teramat kesal karenanya. Hanya dengan sebuah tas, ia terlupa. Dengan gontai dan tangan hampa ia beranjak kembali ke bus yang dituju. Bus itu juga belum berangkat. Keduanya mengambil tempat nomor tiga dari depan dengan posisi sebelah kiri. Yaitu kursi yang hanya pas untuk berdua.

"Sabarlah, Dik!" suara Sas dengan lembut berupaya menenangkan kegundahan Ifah.

Ifah tak menjawabnya. Ia hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Bus tetap diam, belum beranjak pergi. Sopir dan kondektur masih di bawah mencari penumpang. Betapa terkejutnya Ifah yang sedang menunduk, tiba-tiba saja ada seorang lelaki paruh baya yang menyodorkan tas miliknya yang sejak tadi dicarinya. "Lho...!" kata Ifah keheranan.

"Iya, tadi saya mendengar pembicaraan kalian bila akan menuju Nganjuk. Dan kalian meninggalkan toilet dengan tanpa tas yang kalian bawa tentu. Sebab tas itu masih di musalla itu. Kemudian saya mengambilkannya. Ketika saya mencarinya, kalian sudah tak terlihat di sana. Lalu saya ke bus ini," jelas lelaki itu panjang lebar.

Senyum Ifah sedikit mengembang, namun ia tak menanggapi lebih jauh.

"O, ya terima kasih, Pak. Bapak telah menemukan dan bersusah payah mengantarkan tas adikku ini. Terima kasih, Pak," ucap Sasmiyati. Tak berapa lama dengan tergesa-gesa orang yang baik hati itu turun dari bus. Kemudian tidak terlihat entah ia ke mana.

"Ya, Allah. Terima kasih, ya Rabb," syukur Ifah dalam hatinya. Ia yakin orang itu seorang perantara yang sengaja Allah tugaskan.

Selama dalam perjalanan tak ada hal yang luar biasa, kecuali para pemuda penjual asongan hilir-mudik dan naik-turun menjajakan dagangannya sekitar terminal. Perjalanan ditempuhnya dalam waktu sekitar dua jam. Mereka turun sebelum masuk terminal. Dengan berjalan kaki mereka melintasi rel kereta api yang memisahkan jalan raya untuk sampai di rumahnya.

Sepuluh menit kemudian telah tiba di rumah Sasmiyati. Sebuah rumah sederhana dengan dua kamar tidur. Serambi depan berfungsi sebagai ruang tamu. Terlihat mencolok pada dinding sebelah atas pintu terpajang sebuah pigura cukup yang besar bertuliskan kaligrafi ayat kursi.

"Maaf, indah, Mbak," suara Ifah terdengar lirih. Sangat takjub dengan keindahan kaligrafi itu. Dipandanginya lama-lama. Bibirnya sedikit terlihat bergerak-gerak membaca sesuatu. Lalu air matanya menitikkan buliran air yang bening. Buru-buru disekanya dengan kerudung yang masih lekat di kepala. Terlintas di benaknya sosok bayangan seorang perempuan yang dikenalnya, yaitu wajah ibunya. Namun sejatinya belum ingat bayangan siapa dia sebenarnya.

"Ada apa, Dik? Sepertinya kamu sedang berpikir keras," tanya Sas.

"Ada bayangan seorang perempuan, tapi saya tidak tahu. Siapa dia?" jawab Ifah sambil mengingat-ingat bayangan itu.

"Ya, sudah. Kamu ikut saya besok. Sekarang istirahatlah dulu dan jangan banyak berpikir macam-macam," saran Sasmiyati. Kemudian diajaknya Ifah menuju sebuah kamar.

*****


AZIMAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang