5. Kegelisahan Cinta

36 4 0
                                    

"Hah..., dek Ifah minggat dari rumah?" Embuk Sumi terperajat. Ia tanpa kendali terseret bawah emosi yang meninggi. "... Inikah yang kau pinang, Fan? Dan masihkah kau akan mempertahankannya?" serunya dengan lantang. Kakak Irfan itu benar-benar tak mampu menahan diri. Kesabarannya tergadaikan oleh amarah yang melonjak. Gerutunya keras menambah keruhnya suasana. Menyesakkan dada banyak orang. Ia lupa diri jikalau tamu masih dihadapannya.

Untung saja tak terbawa arus emosi. Sebagai lelaki, ia mampu mendayafungsikan kesadarannya. Bertahan, tenang, walau diam saja. Ternyata kedewasaan umur belum tentu menjamin tingkat kedewasaan dalam memanej pola pikir dan tindak laku seseorang.

Dipandanginya satu per satu di antara wajah-wajah yang berkumpul saat itu dengan lekat. Terutama tertuju pada ibu dan ayahnya. Ia menunggu komentar atau nasehat dari mereka berdua. Adakah nasehatnya akan sama dengan apa yang di sampaikan oleh kakaknya atau sebaliknya, akan menyejukkan.

Waktu semakin sore. Utusan dari mertua Irfan kini pamit pulang. Sebenarnya dia merasa bersalah dengan keadaan itu. Bagaimanapun juga pasti ia menyadari jikalau kabar yang disampaikan akan mendapatkan tanggapan upnormal sebagaimana oleh Kakak Irfan.

"Ayah... Ibu..., boleh kan bila Irfan memohon sesuatu. Semoga ada di antara sampeyan bersama kami di sini, walau barang semalam. Barangkali kehadiran sampeyan akan memberikan nuansa kedamaian dalam hati Irfan yang saat ini sedang gundah," pinta Irfan.

"Baiklah, Nak ..." Ayah Irfan menyetujuinya. "... biarlah saya yang akan menemanimu malam ini," sanggup ayahnya tanpa pikir panjang. Memang layak, jikalau dahulu masih ada si kakek, Irfan tak begitu terpuruk perasaannya bila dirundung masalah. Sekarang beda banget.

"Bukan hanya ayahmu, Nak. Sayapun akan nginap di sini bersama kalian," ujar ibu Irfan sembari tak kuasa membendung cucuran air mata. Lalu menunduk lesu. Ia tak juga tak mampu berucap kata lagi.

"Ayah, tolong bangunkan nanti ketika dini hari!" pinta Irfan. Ia sedikit terobati perasaanya. Momen bersama semacam itu sudah lama Irfan tidak rasakan. Ia pamit untuk beristirahat lebih awal.

Namun, hampir sepanjang malam mata Irfan tak kuasa terpejam. Payah tambah gelisah. Seolah tak percaya jikalau hal itu terjadi atas dirinya yang baru saja hendak membangun percaya dirinya.

Malam itu menjadi malam pengaduan. Mengadu pada zat yang berhak menerima pengaduan segala hal. Irfan keluar dari kamarnya menuju kamar mandi tanpa dibangunkan. Ia abaikan rasa takut yang biasanya menghantui. Kini ia berserah pasrah. Kamar mandinya berada di luar kamar dan cukup gelap. Bukanlah menjadi penghalang untuk bersiap mengadu. Lalu ia ambil sajadah yang digantungkan pada bentangan kawat di salah satu sudut kamar dan menghamparkannya. Lalu salat sembari berzikir dan bermuhasabah.

"Ya Rabb, hamba menyadari jikalau diri ini berlumur salah dan dosa. Namun berilah petunjuk dan kekuatan untuk menjalani yang terbaik menurutmu. Kumpulkanlah diri ini dengan golongan orang-orang yang pandai bersyukur serta penyabar. Ya Rabb, hanya kepada-Mu hamba memohon pertolongan, perlindungan, dan berserah. Jikalau Dek Ifah adalah jodoh hamba, tabahkan hati ini untuk menunggu. Aamiin."

Pada sore hari, Irfan bersama ayahnya menuju rumah calon mertuanya. Mereka ingin mencari tahu hal apa yang sebenarnya terjadi. Apakah sebab-sebab yang memicu minggatnya Ifah dari rumahnya.

"Sebenarnya tidak ada apa-apa. Hanya saja sejak kedatangan kamu, Nak pada malam itu, Ifah selalu murung dan menyendiri di kamarnya. Ia baru ke luar kalau sudah merasa sangat lapar. Tapi ke sekolah tetap masuk, kecuali sejak hari itu," jelas Ibu Ifah dengan suara yang parau, terasa berat. Ia menanggung rasa luka yang demikian hebat.

"Sejak kapan ia ke luar dari rumah ini?" tanya ayah Irfan lirih pula.

"Sekarang sudah hari ketiga. Kami sedang berusaha mencarinya, namun belum ada tanda-tanda ia di mana sekarang," terang Ibu Irfan lagi.

"Ifah ke luar rumah sekitar jam dua malam. Padahal dia orangnya sangat penakut. Entah bisikan apa yang membuatnya Ifah melupakan kami." Ayah Ifah menyambung.

"Kemarin kami sempat bertanya pada seorang pintar. Menurutnya, Ifah itu sedang dalam keadaan kebingungan. Tidak tahu arah dan ke mana harus melangkahkan kakinya. Tapi, kami disuruh bersabar. Insyaallah ia akan kembali dengan selamat ketika merasakan ketenangan dan kebeningan hatinya." Ibu Irfan kembali memaparkan apa yang telah diusahakannya. Demikian, barangkali bermaksud untuk menenangkan hati calon menantunya yang saat itu duduk bersama beserta seluruh keluarganya.

"Barangkali menginap di rumah teman dekat waktu ia sekolah dulu?" duga ayah Irfan mengusulkan.

Irfan tak sepatah katapun bersuara. Mendengarkan saja. Dirinya merasa kurang beretika bila harus ikut bertanya, padahal ayahnya sedang bersamanya. Kecuali bila ada hal lain yang tak sempat disinggung oleh yang lain.

"Ya. Kalau di daerah sini sudah. Belum ada titik terang. Insyaallah besok kami akan ke Kalianget. Ada saudara nenek Ifah di sana. Kalau belum pula, akan ke Pamekasan, termasuk ke Surabaya pula. Tolong sambung doanya, semoga Ifah cepat sadar dan bersegera untuk pulang." Ibu Ifah panjang lebar dan minta dukungan doa.

"Ya. Kami barangkali hanya kuasa membantu dengan doa saja. Itupun dari rumah. Anak kita semoga cepat pulang." sambut ayah Irfan.

"Tapi, kami pikir ia tak akan jauh. Ifah tak membawa baju lebih, hanya dua lembar dengan yang dipakainya malam itu. Kami sudah memeriksanya. Ia membawa uang tabungannya yang tersisa dua puluh ribuan beserta cincin dua gram yang dia pakai," demikian penjelasan ibu Ifah menambahi. Sesekali nampak dari kedua matanya berkaca-kaca lalu buru-buru melapnya dengan punggung tangan kirinya.

*****

Non jauh di sana, Ifah sedang berdiri menghadap ke arah luar bagian timur. Ia bersandar pada pagar besi yang menjadi pembatas dua sisi jalan menuju geladak kapal penyeberangan Kamal - Perak Surabaya. Tampak roman mukanya kusam. Benar kalut dan tak paham ia hendak ke mana. Matahari sudah cukup terik, andai saja ia berjam tangan atau bawa hp sebagaimana masa kini, pasti sudah tahu jikalau jam sudah menunjukkan waktu 08.30. Waktu yang terbilang tidak pagi lagi. Namun, begitulah.

Ketika itu tampak dari jalan besar seorang wanita muda berjilbab menyeberang jalan menuju tempat di mana Ifah berdiri sejak pagi. Wanita berparas cantik dan berkulit putih bersih. Ia berucap salam dan mengenalkan diri. Namun Ifah tiada daya untuk membalas salamnya. Hanya menangis dan menangis. Wanita itu pantas saja keheranan pun larut terbawa perasaan.

(Bersambung)

AZIMAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang