6. Bayang-Bayang yang Hilang

26 1 1
                                    

"Assalamu alaikum," suaranya betapa lembut dan santun terdengar di telinga Ifah. Dia tak menjawab, apakah sebab tak mendengar atau memang sengaja tak menjawabnya. Sorot mata Ifah sendu. Titik-titik air di kedua bola matanya mulai menggenang dan sesekali jatuh ke tanah di sekitar kakinya. Ia mengabaikannya.

"Assalamu alaikum, Mbak," suara itu kembali terdengar. Ifah menoleh ke arah perempuan yang telah berdiri di sebelah kanannya. Ia seolah terkejut melihatnya tiba-tiba sudah ada di sampingnya. Bahkan begitu dekatnya. Sesegera ia mengusap air mata yang mengenai pipinya dengan kerudungnya. Kemudian ia menjawab.

"Waalaikum salam," jawabnya lirih sehingga hampir tiada terdengar. Yang terlihat hanyalah gerakan di bibir mungilnya. "Sudah lama, Mbak di sini?" tanya Ifah lirih.

"Baru saja, Mbak. O... ya kenalin namaku Sasmiyati, panggil saja aku, Sas," jawab wanita itu sambi memperkenalkan diri.

"Maaf, namaku Ifah," jawabnya. Suaranya begitu berat, seolah ada gumpalan rasa yang menekan. Baper kali ya?

"O, ya. Mbak ini hendak ke mana?" selidik Sas sembari menepuk bahu Ifah. Sas menepuk bahu sebagai pertanda suatu ungkapan persahabatan. Ia bermaksud untuk menenangkan hatinya.

"Nggak tahu," jawabnya tak bersemangat. Ifah sesekali melihat tasnya yang digeletakkan di dekat kakinya. Sebuah tas yang barangkali hanya berisi baju saja. Tampak dari luar jumlahnya tak banyak, paling hanya satu atau dua lembar saja, sepertinya tak lebih.

"Lho, Mbak ini minggat dari rumah? Kenapa?" Sas mulai penasaran. "Mbak nggak punya tujuan kalau gitu. Ayo ikut saya saja, Mbak!" ajak Sas ramah.

"Ke mana?" tanya Ifah singkat.

"Ke rumah aku. Sudahlah Mbak ikut saja dulu dengan aku. Percaya saja. Kita ini kan sama-sama wanita. Tak baik bila Mbak yang tak punya tujuan ini sendirian di sini. Bahaya Mbak. Ikut ya!" ajak Sas bersemangat.

Ifah tak menjawab, hanya menganggukkan kepala pertanda setuju. Merekapun melanjutkan langkahnya menuju geladak penyeberangan Kamal – Perak. Tangan kanan Ifah menenteng tas bawaannya. Walau perlahan sekali langkahnya, akhirnya tiba pula di anjungan. Untung saja sudah ada kapal feri yang bersandar dan siap membawa penumpang menuju Perak sehingga tak berlama-lama menunggu. Mereka sudah memasuki kapal feri Maduratna setelah sebelumnya Sasmiyati membeli tiket penyeberangan untuk dua orang. Ia tahu sebab terpampang jelas sebuah tulisan 'MADURATNA' pada dinding kapal.

"Yuk ke atas, Mbak!" ajak Sas untuk mengambil tempat di lantai dua. Tempat biasanya para penumpang menunggunya sehingga sampai tujuan. Dan tak perlu untuk berdiri di luar.

"Di sini saja, Mbak," jawab Ifah menolak.

"Mbak, kalo di sini ramai dengan mobil dan kendaraan bermotor. Berbahaya, Mbak. Di atas saja, enak. Di sana tenang kok. Nanti kalo udah nyampe baru kita turun lagi," rayu Sas.

Ifahpun mengangguk. Mereka naik menyusuri tangga lalu mencari kursi yang masih kosong, tidak ditempai orang lain. Kursi-kursi berwarna merah hati, namun sudah agak lusuh. Maklum saja, kapal feri yang ditumpanginya sudah lumayan berumur.

Ternyata tak semua penumpang yang sudah di atas tidah menempati kursi yang tersedia. Mereka asyik berdiri sambil memandangi pemandangan laut dan keadaan daratan kota Surabaya dari kejauhan. Nampak berjejer-jejer rumah dan pertokoan bertingkat menghiasi wajah Surabaya. Andai malam hari tentu akan lebih berasa keindahannya.

"Kacang-kacang... air... air aqua... tahu-tahu...," pedagang asongan menjajakan jualannya.

"Kopi, Mbak...," seorang perempuan agar berumur datang menghampiri keduanya. "Kapal api... ABC... atau... yang mana, Mbak?" tanya penjual kopi tampak bersemangat.

"Maaf, Bu, kami tak biasa ngopi," jawab Sasmiyati beralasan. Ifah hanya duduk tanpa respon apapun dengan keadaan sekelilingnya.

Sekitar seperempat jam lebih sedikit kapal feri mulai merapat dan akan bersandar di geladak untuk menurunkan penumpang. Para penumpang mulai bergegas siap untuk turun dan keluar dari kapal feri itu. Termasuk dua buah bus dan beberapa mobil lainnya mulai menghidupkan mesinnya. Keadaan mulai sedikit gaduh dan bising oleh kenalpot kendaraan bermotor yang begitu banyak. Asapnya menyesakkan napas.

Sas dan Ifah berjalan beriringan mencari bus angkutan kota yang bisa membawanya menuju terminal Bungurasih. Benar saja tak sampai lima menit mereka berdiri di depan halte, bus yang ditunggunya sudah berhenti di depannya.

"Bungur... bungur... Bungurasi, Mbak?" tanya kondektur kepada Sas dan Ifah.

'Ya, Pak," jawab Sas singkat sembari bergegas masuk bus.

Tak berapa lama bus berangkat. Para penumpang dengan tujuan yang berbeda cukup membeludak. Untung Sas dan Ifah masih mendapatkan tempat duduk yang kosong. Mereka berdua tetap bisa duduk bersama pula dalam satu deretan kursi dan tak perlu berdiri sambil bergelantungan.

"Mbak Ifah kenapa lari dari rumah?" tiba-tiba Sas menanyakan sesuatu yang berkaitan dengan keadaannay. Sementara Ifah hanya menoleh tak meresponnya.

"Mbak kabur kan? Kenapa?" tanyanya lagi.

"Nggak tahu," jawab Ifah lirih.

"Lho kok nggak tahu, gimana?" desak Sas.

"Mbak masih punya orang tua kan?" tanya Sas lebih jauh.

"Ya," jawabnya singkat.

"Siapa nama Ibu, Mbak?" tanya Sas lagi. Namun Ifah hanya menggeleng kepala tak mengerti.

"Nama Ayah mungkin Mbak lagi ingat, siapa?" selidik Ifah tambah semangat. Lagi-lagi Ifah hanya mampu menggeleng-geleng kepala seperti semula.

Sas bertambah sadar bila teman yang baru dikenal dan sekarang sedang duduk di sampingnya benar-benar tidak sadar dengan apa yang terjadi. Betapa tidak, dengan nama kedua orang tuanya saja kini ia lupa. "Benar-benar ada sesuatu padanya. Antara amnesia atau depresikah? Atau jangan-jangan ia sedang diguna-guna orang jahat ya?" pikir Sasmiyati ke mana-mana. "Ah, biarlah. Saya harus berupaya agar ia sadar kembali. Kasihan ayah ibu Mbak ini di rumah. Pasti mereka sedang kebingungan. Pasti mereka sedang mencarinya ke mana-mana

Buspun kini telah tiba di Bungurasih. Keduanya segera turun, bergegas melewati peron dan membayarnya seribu rupiah untuk berdua. Sas berhenti sejenak. Ia mengajak Ifah untuk sarapan. Sas merasakan keributan, perutnya mulai keroncongan. Ia mengajak Ifah untuk makan bersama.

"Maaf, saya panggil Mbak Ifah dengan adik saja ya?" uiar Sasmiyati. Ia ingin menyebutnya "adik" agar lebih akrab. Lagi pula wajar, sebab umur Ifah sedikit terpaut lebih muda darinya. "Yuk kita sarapan, Dik!" ajak Sas.

*****


AZIMAT CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang