Bab 1

530 29 0
                                    

Jakarta? Bagaimana cara Arimbi datang ke sana? Dan bagaimana pula mencari orang yang telah membawa lari sendal jepitnya? Dalam bayangan, kota itu teramat besar dan luas. Mencari satu orang yang bahkan dia tidak ingat siapa namanya sama dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami.

“Arimbi janji, Ayah. Akan mencari dan menemukan sendal itu secepatnya, apa pun dan bagaimanapun caranya,” gumam gadis dengan kisaran tinggi 165 sentimeter tersebut.

Arimbi menyeka air mata dengan ujung kausnya. Lantas berdiri mengumpulkan ketegaran, meski kekuatannya hilang separuh akibat benda berharga peninggalan sang ayah lenyap dan entah akan terbuang di mana.

Sungguh sialan orang kaya itu, untuk apa membawa pergi barang yang tak lebih hanyalah sampah di matanya. Pemilik bibir tipis merah muda itu tak henti mengutuk aksi pelaku. Bersumpah pada diri sendiri akan mencarinya meski harus ke ujung dunia sekalipun.

Arimbi bangkit, menguatkan tungkai yang tadi sempat kehilangan daya. Serta menguatkan hati agar tidak menjadi manusia lemah. Seperti pesan sang ayah sebelum terlelap untuk selama-lamanya.

Saat hendak berdiri, pandangan Arimbi terarah pada dua benda yang tergeletak di pinggiran aspal tak jauh darinya. Perlahan dia memungutnya, sebuah ponsel pintar dan dompet kulit hitam mengkilat. Ingin rasanya menertawakan kebodohan jambret yang tak menyadari bahwa barang yang dicuri terjatuh dan hanya berhasil membawa lari tas kosong.

“Tadi jambret itu lari ke arah jalan, Pak. Tolong kejar dia!” Arimbi menoleh pada suara ribut dari arah belakang.

Wanita bergaun merah menunjukkan jalan kepada dua orang berseragam polisi. Arimbi mengernyit, bukankah wanita itu yang berteriak kecopetan di pasar tadi?

Makin dekat wajah perempuan berkulit putih mulus itu semakin tak asing. Terlebih saat orang-orang sekitar mulai mengikuti dan mengerumuninya.

“Maaf, apa ini milikmu?” Arimbi  menahan langkah wanita berambut curly sepinggang itu.

“Hah! Jadi kamu yang menemukan ponselku. Syukurlah, aku senang. Terimakasih sudah menolongku, aku bisa mati jika kehilangan benda ini. Katakan, kamu mau minta imbalan apa?” Terlalu bahagia, Arimbi dipeluk demikian erat oleh wanita yang telah ditolongnya.

“Tidak usah memberiku imbalan,” tolak Arimbi.

“Aku tidak suka penolakan. Kamu memang pantas diberi hadiah. Ayolah! Sebutkan saja.” Setengah memaksa, wanita itu sampai-sampai harus menangkupkan kedua tangan, memohon.

“Jennifer, minta foto, dong!”

“Iya, minta foto bareng, dong!”

“Minta tanda tangan boleh, ya.”

Berfoto? Tanda tangan? Arimbi mengamati sosok di depannya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Lantas menepuk kening, pantas saja wanita itu dikerumuni warga, pantas saja paras ayu itu tak asing di mata.  Bukankah dia Jennifer artis dan penyanyi tersohor di negeri ini? Apa yang dia lakukan di tempat ini?

Impitan tanda tanya berdesakan dalam benak Arimbi. Namun, tiba-tiba tercetuslah ide gila guna meminta imbalan yang setimpal dari pertolongannya tadi.

“Apakah kau tinggal di Jakarta?” tanya Arimbi. Di sela riuhnya orang yang berjubel mengambil gambar Jennifer dari jarak dekat.

“Tentu saja, di sana gudang ribuan artis.”

“Baiklah, kalau begitu aku membutuhkan bantuanmu.”

“Bantuan semacam apa itu?”

__

“Terima kasih telah menolongku sekali lagi.” Jennifer mengempaskan pinggul di sofa yang tak nyaman lagi untuk diduduki. Terlihat dari busa yang mengempis di bagian tengah.

“Iya,” jawab Arimbi. Sembari menyuguhkan satu kaleng minuman ringan.

Arimbi tersenyum aneh, menyelamatkan artis Ibu Kota dari serbuan penggemar menciptakan sensasi tersendiri. Lalu sekarang terdampar di rumahnya. Jennifer seperti bidadari tersesat yang tak tau arah jalan pulang.

“Ini rumahmu?” Jennifer menatap sekeliling ruangan yang sangat sederhana. Cat dinding kusam dan mengelupas, lantai semen yang telah berlubang di mana-mana. Tak tampak satu pun benda berharga di dalam bangunan berukuran 6x12 tersebut. Kecuali TV tabung di ruang tengah yang terlihat dari sofa yang didudukinya.

“Iya. Lalu kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan di sini? Kenapa bisa kesasar di pasar kampung sebelah?” cecar Arimbi.

“Ada keperluan shooting dan pengambilan gambar dalam proyek film terbaruku di daerah sini. Aku pergi ke pasar itu karena ingin bersembunyi dari seseorang. Sial, tasku malah dijambret. Tapi syukurlah, berkat kamu barang berhargaku kembali. Oh, ya, aku hampir lupa, kamu ingin meminta bantuan apa tadi?” Jennifer melipat tangan di dada, duduk melipat kaki jenjang yang ditumpukkan di paha satunya. Terlihat elegan.

Arimbi menarik napas dalam-dalam lalu memulai cerita tentang peristiwa di tepi jalan raya tadi. Alis Jennifer mengerut hingga membentuk segitiga menyimak semua keterangan dari gadis berdagu lancip tersebut.

“Kamu serius? Seberapa berharga benda itu sampai-sampai kamu ingin mencari pria itu ke Jakarta? Kalau kamu mau aku bisa membelikanmu Puluhan bahkan ratusan pasang sendal jepit yang kamu mau.” Jennifer sebisa mungkin menahan ledakan tawa. Kasus yang benar-benar konyol.

“Ini terkait ikatan batin antara ayah dan anak, tentang pelajaran hidup dan kenangan, tentang pesan yang menjadi pengingat seumur hidup melalui benda yang kalian anggap sampah. Kalian yang selalu berteman dengan segunung uang takkan pernah paham,” ucap Arimbi penuh penekanan.

“Baiklah, apa yang bisa kulakukan?” Jadwal shooting berakhir esok hari. Jennifer tak mau mengulur waktu di sini. Lusa harus kembali ke Jakarta karena tawaran menarik dari sebuah rumah produksi menanti untuk  dipelajari.

“Aku ingin mencari keberadaan orang itu melalui kamu. Bukankah itu mudah untukmu.”

Jennifer menarik napas dalam-dalam. Ingin menolak tapi Arimbi sudah menyelamatkan ponselnya. File-file rahasia berada di dalamnya. Tak terbayangkan jika benda itu jatuh di tangan orang tak bertanggung jawab. Tak hanya karirnya yang tamat, tetapi juga nama baik keluarganya.

Waktu Jennifer sangat minim untuk mengurusi perihal tak jelas seperti ini. Mencari pria di antara jutaan orang yang memiliki ciri-ciri sama persis seperti apa yang disebutkan Arimbi tanpa mengetahui siapa namanya. Hanya bermodal mobil sport hitam sebagai clue. Sungguh menyulitkan kecuali membiarkan Arimbi melakukan pencarian seorang diri.

Ya, tak ada cara lain selain membawa Arimbi ke Jakarta.

__

Anthony memelankan laju kendaraan memasuki gerbang utama jalan  bebas hambatan menuju kota ber-icon Monumen Nasional. Mengantre menunggu giliran pembayaran di loket khusus melalui kartu elektronik.

Tak sengaja menoleh benda yang teronggok di jok sebelahnya. Setengah jijik memungut benda itu, mengamati sekilas dan tertawa lebar. Anthony menurunkan kaca mobilnya, berniat membuang sendal berdebu yang pernah mendarat di kepalanya.

“Apakah sendal ini seperti teko Aladin? Jika digosok mengeluarkan jin pengabul segala keinginan? Konyol. Kenapa gadis itu menganggap ini sangat berharga.” Sekali lagi Anthony tertawa dan melempar sendal sembarang. Bukan ke tong sampah, tapi di jok belakang.

Cinderella Sendal Jepit(Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang