“Apa kamu bilang? Ke Jakarta?” Bu Ratna sontak menghentikan memotong irisan bawang di atas talenan.
“Iya,” jawab Arimbi mantap.
Wanita yang merupakan ibu sambung Arimbi menunduk menahan perasaan. Entah kehilangan atau kebahagiaan yang menghampirinya kini. Si anak pembangkang akan pergi dalam rentang waktu yang mungkin cukup lama. Menolak tawaran 20 juta dari Jennifer dan lebih memilih benda tak ternilai harga yang kini belum diketahui di mana. Namun, tekat itu sudah bulat.
“Kakak mau pergi?” Ajeng, saudara sebapak Arimbi diam-diam menguping dan terkejut saat mengetahui kakak tirinya akan pergi.
“Iya. Baik-baik di sini, jaga ibumu!” Arimbi mengelus pipi gadis yang masih mengenakan seragam abu-abu.
Tak seperti hubungan Arimbi yang jarang akur dengan Bu Ratna. Tidak ada sekat penghalang bagi kakak beradik satu ayah berbeda ibu untuk saling peduli satu sama lain. Bukan pula seperti kisah Bawang Merah dan Bawang Putih di mana salah satu menjadi pelaku antagonis. Keduanya sama-sama melengkapi kekurangan dalam diri masing-masing. Arimbi cenderung lebih tegas dan emosional, sementara Ajeng sebaliknya, penurut dan sedikit pendiam.
Arimbi nyaris tak pernah berbicara hangat dengan Bu Ratna. Bukan karena wanita itu yang menyebabkan sang ayah begitu mudah membuka hati sepeninggal ibu kandung Arimbi. Namun, lebih kepada hubungan dua orang asing.
Selembut apa pun itu, sekeras apa pun usaha meraih simpati. Bu Ratna tetaplah orang lain di mata Arimbi. Orang lain yang menginginkan ayahnya semata, serta menganggap anak tiri adalah sebuah ancaman menakutkan yang akan merebut seluruh perhatian dan kasih sayang dari ayahnya.
Bu Ratna menganggap Arimbi adalah anak pembangkang dan tak mau diatur hanya karena sering menghabiskan waktu bersama kawan-kawannya. Sementara gadis itu berpikir sebaliknya. Jika orang lain bisa membuat nyaman, untuk apa menghabiskan waktu di rumah yang tiap detik selalu dikhawatirkan kalau-kalau sang ayah akan dibawa Arimbi pergi menjauh.
Salahnya di mana jika seorang ayah menyayangi anak kandungnya melebihi yang lain? Salahnya di mana jika sang anak ingin bermanja mengharap curahan cinta lebih setelah belasan tahun lamanya terpisah? Meski kebersamaan itu hanya berlangsung sekejab mata.
Belum puas mendamba kasih sayang yang hilang, si penopang hidup lebih dulu berpulang pada-Nya.
Arimbi memejamkan mata hingga sudut mata menitik. Teramat pedih mengingat semua.
“Pergilah! Aku tidak akan melarangmu. Kamu sudah cukup dewasa untuk menentukan jalan hidupmu.” Tak lama terdengar suara berisik dari wajan saat bumbu di atas talenan bersatu dengan minyak panas.
Arimbi menatap nanar wanita yang bahkan tak mau menolehnya kini. Boleh jadi tangan Bu Ratna sibuk dengan peralatan masak. Namun, Arimbi dapat melihat jelas bahu ibu tirinya sedikit berguncang. Tak tahu untuk apa tangisnya kali ini, yang pasti bukan kehilangan.
__“Wow!” Arimbi mengagumi gedung-gedung pencakar langit dari balik kaca bangunan yang kini ditempatinya.
Jennifer membawa serta Arimbi tinggal bersamanya. Sebuah suite di selatan Jakarta dengan harga sewa fantastis, tentu ditunjang fasilitas yang tak kalah eksklusif dan private. Memasuki lift saja harus menggunakan kartu khusus.
“Selama di sini, setidaknya kamu harus memiliki keahlian khusus. Kamu tahu, tiap tahun Jakarta makin sesak oleh pendatang baru. Aku tidak mau disalahkan petugas sensus karena membawa seseorang pengangguran.” Jennifer melangkah anggun mendekati Arimbi. Meski hanya mengenakan baju santai rumahan aura kebintangannya tak pudar barang sedikit.
“Tenang saja, aku pandai menyetir mobil, naik motor, menangkap preman. Aku juga pernah menyandang sabuk hitam di karate.” Arimbi melipat tangan di dada, masih mengagumi kolam renang besar yang airnya tampak membiru di bawah sana. Mendadak kepalanya pusing, menyadari dirinya tengah berada di ketinggian lantai 15.
“Wow! Itu sangat keren. Kamu pandai berkelahi, berarti aku tak perlu menyewa jasa pengawal pribadi. Pantas waktu itu kamu pintar sekali menyelamatkanku dari kerumunan penggemar.” Ide spontan membuat wajah artis papan atas itu berseri.
“Apa maksudmu?” Kali ini Arimbi berbalik, mengamati lemari kaca besar yang di dalamnya terdapat wardrobe keperluan shooting.
“Selama kamu belum menemukan titik terang keberadaan sendal jepit itu, alangkah baiknya kamu bekerja untukku. Tenang saja, gajimu lumayan besar.”
“Baiklah, sebutkan apa saja tugasku?”
“Tidak sulit, hanya menemani kegiatan padatku, saat fans mulai mengerubungi kamu harus siaga mengamankanku. Kamu tak boleh ikut saat aku ingin bertemu dengan pacarku.” Jennifer menunjukkan kamar yang akan ditempati Arimbi. “Beristirahatlah! Kamu pasti lelah.”
“Oke!” Arimbi terus berdecak, membandingkan ranjang besar di hadapannya dengan kasur lusuh tanpa dipan di kampung sana. Malam ini pasti dia akan tidur lebih nyenyak dari biasanya.
“Hey! Kalau ada yang berhasil menemukan sendalmu, apa hadiah yang akan kamu berikan untuk mereka?” Jeniffer menyandarkan tubuh rampingnya pada daun pintu. Tertawa geli melihat Arimbi berguling-guling di ranjang barunya.
“Mungkin ucapan terima kasih.”
“Ah, iya, aku lupa. Hanya itu yang kamu miliki. Ucapan terima kasih.” Arimbi berpikir sejenak, tampaknya keterlaluan jika hanya berupa ucapan.
“Baiklah, jika perempuan akan kujadikan saudara. Kalau laki-laki akan kujadikan suami asal memenuhi syarat. Bagaimana?”
“Kamu konyol!”
Jennifer terpingkal-pingkal mendengar jawaban Arimbi. Lumayan seru dan menghibur. Pertemuan dengan gadis kampung itu membuat harinya penuh warna. Wanita pemilik bibir merah sensual itu baru berhenti tertawa saat ponsel dalam genggaman bergetar.
“Ya, ada apa?” Jeniffer berjalan menjauhi kamar Arimbi. Duduk di sofa berwarna krem motif bunga.
“(....)”
“Aku akan ke sana setelah urusanku selesai.” Jeniffer mengakhiri panggilan sebelum suara diujung telepon berbicara panjang lebar tentang sesuatu yang tak ingin didengarnya.
Setelah meletakkan ponsel di meja kaca depannya, Jeniffer mengambil berkas-berkas dalam map yang diserahkan sang manajer untuk dipelajari terkait kontrak iklan dan film baru yang akan dibintanginya.
__
Anthony membanting ponsel di ranjang. Meraup wajah penuh kekesalan, lantas bangkit dari duduknya. Menyambar rokok di atas meja laci, menyulutnya, lalu mengisapnya dalam-dalam. Asap tipis membubung menutupi pemilik wajah rupawan. Sejuta kekalutan membayang dalam pikiran.
Penyerahan takhta CEO akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Artinya ruang gerak semakin sempit, kebebasan akan terenggut oleh dunia baru yang monoton dan membosankan. Tanggung jawab beberapa perusahaan raksasa siap membelenggunya.
Anthony mengibaskan tangan di depan wajahnya sendiri. Persetan dengan pertemuan rapat pemegang saham. Dia masih ingin menikmati kebebasannya hari ini. Teringat sesuatu, Anthony melangkah ke meja kerjanya. Mendapati sebuah benda yang kini rapi terbungkus plastik lalu mengambilnya. Tersenyum simpul bak menemukan pil aspirin penyembuh sakit kepala.
“Hey, Nona Sendal Jepit. Kenapa berat sekali membuang benda ini?”
Next
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinderella Sendal Jepit(Sudah Terbit)
RomanceCinderella selalu identik dengan sepatu kaca. Apa jadinya jika Cinderella milenial ini memakai sendal jepit? Dan apa sesungguhnya misteri di balik sendal jepit yang tak sengaja mempertemukan dia dengan seseorang? Apakah itu seorang pangeran? Cekidot!