Hari ini hujan tiba. Menjelma badai.
Beramairamai. Aku merangkai ulang ingatan masa lalu. Barangkali, setetes dan setetes lain tak saling kenal nama lagi rupa. Datang, jatuh, lalu sudah. Kau pernah bilang, jika setetes air hujan dalam perjalanannya dari awan menuju tanah, saling bercengkrama, tertawa, beberapa menangis, yang lain teriak, dan banyak yang lain diam saja. Lalu kita saling pandang. Hening. Kau selalu suka harum tanah basah sehabis hujan. Tapi itu hujan, belum juga kelar dan kau sudah membauinya. Lalu ini hujan, belum juga bubar dan aku sudah rampung menata wajahmu di pikiranku.Waktu itu, dek, kita duduk di teras menghadap ke Utara. Di halaman, ada pohon mangga milik bapak. Katanya, ia tanam bersama kakek, semasa kecil dulu. Sudah tak berbuah. Sedang cangkirku malah berbuih. Kita duduk bersebelahan. Bicara panjang lebar soal puisi, soal bahasa yang tak kunjung bisa kumengerti.
Tiba-tiba saja, kau sudah rabun dan aku pikun. Ingin kita, jelas sudah tak kesampaian. Hari ini kita masih hidup dan jadi tua. Pantek. Aku tak ingin jadi lelaki tua yang pikun. Berjalan tertatih. Menderita impotensi. Kau tak ingin jadi perempuan tua yang rabun. Berjalan terseok. Payudaramu kendor dan menopause.
Hidup itu, dek, barangkali hanya uban yang tumbuh di rambutku. Dan aku masih saja mencari tubuhmu di tubuhku, aku masih saja mengeja namamu di hatiku.
Gilang Alamsyah
27/09/18
KAMU SEDANG MEMBACA
Hujan Pagi Hari
PoetryPuisi-puisi ini ditulis semata-mata untuk menyenangkan hati penulis, meringankan beban pikiran penulis, juga demi menyebarluaskannya. Jika nanti pembaca menemukan makna, kegembiraan, kesedihan, atau hal lain semacam kenangan sewaktu membaca, itu han...