BAB 3

616 45 4
                                    

"Apa Nona London membawa mobil?"

"Cukup memanggilku Lony...."

Lelaki itu tersenyum. "Baiklah, Lony, bagaimana?"

"Aku bawa mobil. Kita turun sekarang...?"

"Mobilmu dititipkan saja, biar lebih privasi kita pergi dengan mobil yang disediakan kantor, itulah kenapa pelayanan kami eksklusif." Lelaki itu tersenyum dan melangkah menghampiri Aurora. Ia menarik tangan Aurora dan menggenggamnya. "Tidak masalah, kan?"

Aurora mengangguk dengan kikuk. Ia tidak terbiasa diperlakukan manis oleh laki-laki. Bahkan suaminya pun tidak pernah menggenggam tangannya duluan, selalu Aurora yang memulai. Aurora berusaha mengingat nama lelaki yang dipilihnya ini, tapi ternyata sia-sia, sungguh pendek ingatannya. "Ng, maaf, aku lupa namamu."

Lelaki itu awalnya terkejut kemudian ia tertawa renyah. "Namaku Rabu, tapi ya panggil saja Abu...."

Aurora tertawa. Yang benar saja, nama samarannya lebih terdengar payah. Benarkah namanya Rabu? Bahkan ia benar-benar melewatkan nama lelaki pilihannya. "Baiklah, Abu."

"Kenapa? Namaku terlalu sederhana ya untuk wajahku yang tampan?"

Aurora tersenyum. "Ya, pemalsu yang kurang baik," jawab Aurora berdeham. "Kamu sudah lama bekerja di sini?"

Abu mengusap puncak kepala Aurora. "Dilarang membahas urusan pekerjaan ya Kakak."

Aurora menutup mulut. Ia lupa, dalam persyaratan memang ada bahasan yang dilarang. Lantas apa yang harus ia bicarakan? Akhirnya Aurora terdiam. Ia hanya berjalan mengikuti langkah Abu yang masuk ke dalam lift dan keluar di basement tempat parkir.

Selama perjalanan di mobil pun ia hanya diam. Bingung mau membahas apa. Dan sekarang Aurora berada di luar kota, jauh dari kota tempatnya tinggal. Wanita itu melemparkan pandangan ke luar jendela. Malam yang ramai dengan gemerlap lampu.

"Apa ada kata-kataku yang menyinggungmu?"

Aurora menoleh sekilas. "Nggak kok, aku hanya bingung mau membicarakan apa."

"Apa saja boleh, selain masalah pekerjaan dan pribadiku." Abu berusaha mengeluarkan kalimat dengan hati-hati. "Maaf ya, karena ketentuannya seperti ini."

"Ah, nggak masalah kok, tadi aku hanya spontan saja, bukan hal penting yang harus aku tahu." Aurora segera mengklarifikasi. "Tapi sebenarnya aku bingung juga, karena yang kudengar sistemnya seperti arisan, tapi ternyata praktiknya jauh berbeda."

"Yah, sulit menggambarkan informasi secara gamblang, terkadang informasi dari orang per orangan akan menghasilkan kesimpulan yang tidak sesuai karena hanya kaum jetset yang benar-benar bisa masuk ke dalam club kami." Abu berdeham. "Dan, kamu juga tahu seberapa besar yang harus dikeluarkan."

Aurora tersenyum canggung. Ya, memang sepertinya tidak usah membicarakan soal pekerjaan, putusnya.

"Kita akan mampir dulu ke supermarket untuk membeli beberapa kebutuhan."

"Hah?"

Abu menggeleng sambil tersenyum. "Sepertinya kamu tidak membaca informasi dengan lengkap ya."

Aurora tertawa sebagai pengalih kesalahan.

"Aku akan mengulang setiap detail modul padamu, jangan khawatir." Abu mengusap pipi Aurora dengan lembut.

Aurora memundurkan tubuhnya menjauhi jangakauan Abu. "Baiklah. Untuk apa ke supermarket?"

"Membeli bahan masakan dan kebutuhan lain selama tinggal di apartemen, bebas bisa membeli harian atau sekaligus, tapi kurasa menghemat waktu bisa berbelanja untuk beberapa hari sekaligus pun tidak masalah," jelas pria itu.

Mulut Aurora membentuk huruf o. Ekspresi lucu Aurora sangat menggelitik. Tanpa disadarinya, Abu mencuri pandang beberapa kali ke arah Aurora.

Setelah mematikan mesin mobil, Abu bergegas turun dan membukakan pintu untuk Aurora, menyambut wanita itu sambil tersenyum. Saat berdiri, tubuh Aurora hanya setinggi dada lelaki itu.

"Terima kasih."

Abu menggenggam tangan Aurora saat berjalan masuk ke dalam supermarket. Sudah bisa ditebak, tidak sedikit orang yang bergibah di belakang mereka, tentu saja membicarakan si Tampan dan wanita tua. Hati Aurora terasa sedikit terintimidasi.

Abu menghentikan langkah. Merangkum wajah Aurora dan mendekatkan hidung keduanya. "Jangan pernah mendengarkan kejelekan yang diucapkan orang lain padamu, kamu adalah yang terbaik diciptakan Tuhan untukku, bahkan mereka yang berkata buruk, tidak perlu menunggu puluhan menit untuk lupa dengan apa yang mereka bicarakan...."

Aurora hanya bengong.

Abu kemudian menepuk ringan pipi Aurora. "Kamu memang menggemaskan!"

Aurora segera menepis tangan Abu dari wajahnya. Bahkan kebohongan yang diucapkan Abu, terasa begitu nyata baginya. "Apakah cara kerjanya memang seperti ini?"

"Tugas kami adalah membuat klien kami bahagia, bagaimanapun caranya dan dalam kondisi apa pun."

Aurora tersenyum masam. Ia kemudian menghela napas. Tentu saja, tidak mungkin ada lelaki yang dengan fasih mengatakan hal manis seperti itu di pertemuan pertama mereka... Kalimat itu pasti sudah sering diucapkannya pada klien-klien yang pernah berkencan dengannya.

Sudahlah, Yang penting aku bahagia selama sepuluh hari ini!

A Gentleman's sugar babyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang