Prologue

1K 77 3
                                    

"Hei, bodoh! Berhentilah minum minuman beralkohol itu!" desisku pada Taehyung—pria gila di hadapanku.

Atmosfer kelab ini begitu asing bagiku dan aku tidak pernah tertarik untuk menginjakkan kakiku ke sini, sungguh. Tapi berhubung ada seseorang—dengan kewarasan yang minim—menghubungiku, aku harus datang ke tempat yang bau alkohol, asap rokok dan dentuman musik yang membuat telingaku pengang ini. Aku menarik tangan Taehyung dan menariknya keluar. Lagi-lagi aku harus menerobos kerumunan orang-orang yang tubuhnya sedang dalam keadaan diambil alih oleh minuman sialan itu.

Setiba di sudut kelab bagian luar, Taehyung memuntahkan isi perutnya. Aku menepuk punggungnya pelan agar ia merasa lebih baik. Kau tahu? Ini bukan pertama kalinya aku menemukannya dalam keadaan seperti ini. Dan bisa kupastikan, besok pagi ia akan terkena serangan sakit kepala berat.

"Hai, Jian sayang... Kau di sini... rupanya, ya," racau Taehyung dengan tangan yang merangkul pundakku.

Aku berdecak. "Diamlah. Kau seperti orang gila."

Taehyung melepaskanku, lalu menatapku dengan wajah polosnya. "Kenapa kau... mengikutiku?"

"Ayo pulang, aku lelah," ucapku mulai jengah.

Bukannya mengikutiku berjalan ke arah mobilku terparkir, justru yang dilakukan Taehyung adalah menari seperti girl group Korea Selatan yang saat ini tengah naik daun. Bahkan beberapa orang yang melintasi kami menatapnya gila. Ah, ternyata bukan aku saja.

Dan sebelum Taehyung melakukan hal gila lainnya, aku segera menghampirinya, kalau perlu menyeretnya pulang secara paksa. Atau aku akan membeku di sini, sebab musim dingin sebentar lagi akan datang.

Saat hampir tiba di tempat Taehyung berada, aku melihat siluet tiga pria dan satu wanita yang sedang berlutut dengan tangan memeluk salah satu kaki pria itu, diiringi dengan tangisan yang begitu nyaring. Wanita itu terlihat sangat ketakutan.

"Maafkan aku! Aku tidak akan mengulanginya... Aku berjanji... Kumohon," ucap wanita itu samar, namun masih terdengar jelas di telingaku.

Aku berjalan menghampiri mereka, ketika melihat pria—yang berada di posisi tengah itu menendang tubuh si wanita di bawahnya.

Bukankah semua wanita tidak boleh diperlakukan seperti itu?

Setelah tiba di sana, aku mengangkat tubuh wanita itu dan merengkuhnya. Kutatap wajah ketiga pria brengsek yang sekarang berdiri di hadapanku.

"Apa yang kau lakukan, Nona?" geram pria itu padaku dengan rahang mengeras.

Baiklah, biar kukatakan, aku tidak takut! Aku sebagai perempuan tidak terima kalau sudah menyangkut kekerasan fisik semacam ini. Aku menatap pria itu tak kalah tajamnya. Sedetik kemudian pria itu tersenyum samar.

"Hei, paman! Bukankah tidak baik kalau melakukan kekerasan kepada wanita? Paman bisa dipenjara, lalu membusuk di balik jeruji besi berkarat itu," caciku justru membuat mereka tertawa.

Hei, sialan, aku sedang tidak membuat lelucon!

Pria yang kuyakini pemimpin di antara mereka bertiga melangkah mendekatiku, lalu mengelus rambutku sebentar sebelum kutepis tangannya. "Jauhkan tangan kotormu itu dariku," desisku.

Mata pria itu menggelap menatapku. Ah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Yang kupikirkan adalah keadaan wanita yang berada di rengkuhanku sekarang, ia gemetar.

"Jangan bermain-main dengan kami, Nona. Gadis bersih sepertimu tidak mau bermain dengan kami yang kotor ini, bukan? Maka, pergilah."

"Aku akan pergi, kalau kau melepaskannya," ucapku.

Pria itu mengumpat, "Sial! Jangan terlalu ikut campur. Pergilah, atau kau akan menyesal," ancam pria itu.

"Dengar, ya! Aku tidak akan pergi kecuali dia ikut denganku."

Tunggu! Pria itu baru saja tersenyum. Sungguh aneh, bukan? Tadi ia begitu marah, tapi sekarang? Ah...

"Baiklah, kami menyerah," ucapnya kemudian, lalu mengajak kedua rekannya itu untuk meninggalkan kami.

Sebelum mereka pergi, pria yang kusebut sebagai pemimpin tadi mengatakan, "Kau yang bilang, bahwa kau tidak akan menyesalinya." Dan diakhiri dengan seringaian.

Kurasa aku sedang dalam titik paling berbahaya. Sial.

Sepeninggalan pria brengsek itu, tubuh wanita yang kurengkuh sontak meluruh ke tanah, seolah tenaganya benar-benar terkuras habis.

"Kau, apa kau baik-baik saja?"

Wanita itu hanya mengangguk. Setidaknya hal ini membuatku sedikit lega, tidak perlu merasa bersalah kalau saja aku tidak menolongnya, tadi.

"Terima kasih," ucap wanita itu lirih. "Maaf, aku sudah menyeretmu ke dalam masalah," lanjutnya.

"O-oh, tidak masalah. Tidak apa-apa," jawabku menenangkannya. Walaupun sedikit gugup.

Wanita itu menggeleng. "Aku yakin, mereka akan segera mencarimu."

Aku menatapnya bingung. "Apa maksudmu?"

Ia berdiri, perlahan membawa kakinya melangkah mundur. "Berhati-hatilah. Dan... maafkan aku!" ucap wanita itu diiringi sakan kecil, lalu berlari meninggalkanku dengan kondisi seperti orang bodoh.

Apa maksudnya?

Dan demi Tuhan! Aku melupakan si bodoh Taehyung. <>

LEADERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang