Saras merapikan kebaya putih yang membalut tubuh sahabatnya.
"Lo cantik, Fin. Cantik banget."
Finna menoyor pelan kepala Saras dan tertawa bersama. "Nggak usah lebay deh. Lo, kan, juga sering bikin gue cantik sama hasil riasan lo."
Saras menggeleng. "Ini beda. Rasanya kayak lo perempuan tercantik di gedung ini."
Finna tersenyum manis. "Makasih ya, Sa. Dan maaf gue nggak pakai jasa lo."
"Lo ngomong apaan sih?" Saras memukul lengan Finna. "Gue, kan, emang nggak mau. Yang ada lo malah jelek nanti."
"Jangan merendah terus. Nggak baik. Dasar, Miss Pessimist!" ujar Finna, tidak suka mendengar Saras selalu insecure terhadap diri dan kemampuannya sendiri.
Finna memang sengaja tidak memakai jasa Saras karena ia ingin sahabatnya itu murni menjadi bridesmaid-nya. Ia tidak ingin Saras terlalu sibuk mengurusi riasan Finna di hari yang bahagia ini. Finna tidak ingin merepotkan siapa pun.
Bridesmaid yang Finna adakan di pernikahannya bukan seperti yang pada umumnya. Finna tidak memanfaatkan waktu mereka barang sebentar pun untuk ikut campur dalam persiapan acara. Finna hanya butuh pasukan saat dirinya berjalan ke altar dan menemaninya sebelum acara di mulai. Seperti saat ini.
"Gue nggak merendah. Emang kenyataan," kilah Saras sekenanya. "Kadang gue terlalu capek buat berpikir positif dan optimis sama kemampuan sendiri, Fin. Gue takut dikecewain sama hal-hal yang bakal terjadi ke depannya. So, gue memilih untuk negative thinking biar ekspetasi gue nggak jauh dari realita," ujarnya, getir.
"Sa, nethink itu manusiawi, tapi jangan sampai buat lo melabeli diri sendiri untuk hal-hal yang nggak baik." Finna menggenggam tangan Saras dan meremasnya pelan. "Apa gue perlu cariin Mr. Right buat lo?"
Saras terkekeh. "Kayak ada yang mau aja sama gue."
"Tuh, kan!"
"Gue serius, Fin," balas Saras, sama sekali tidak mengandung unsur jenaka. Terkadang ia iri sama Finna yang bisa bergaul sana-sini. Punya banyak kenalan karena Finna merupakan perempuan ambisius, cerdas, dan supel. Sementara dirinya?
Seolah mampu membaca isi kepala Saras, Finna mengibaskan tangan. "Lo selalu bilang kalau lo nggak percaya omongan Nyokap lo. Sekarang, kenapa malah berubah pikiran?" tukasnya, lantas berdecak. "Ingat kata gue, Sa. Jodoh itu bisa di mana aja. Sama halnya kayak rejeki. Jodoh itu bisa datang kapan aja, nggak terduga. Jodoh nggak bakal lihat-lihat lo lagi di mana, punya gelar apa, apa profesi lo, dan sebagainya. Bisa aja lo lagi ngegembel di rumah, terus ada yang ngelamar, kan? Kalau udah takdir, mau diapain?"
Saras tertawa mendengarnya. "Siapa yang mau ngelamar perempuan rumahan jaman sekarang sih, Fin?"
"Ih! Gue getok lo pake heels!" Finna memijit pelipisnya. "Optimis! Gue percaya, lo pasti dapat yang terbaik. Tuhan lagi keep seseorang yang layak dan pantas buat lo. Percaya aja kalau selama ini lo jomblo karena lo juga lagi dijagain Tuhan buat seseorang itu. Nggak usah minder. Lo tuh cantik. Berbakat. Lo nggak sendiri karena nggak laku. Paham?"
Saras menggeleng, menggoda Finna agar semakin kesal.
"Ah elah! Udah sana keluar. Temuin tamu. Banyak kenalan laki gue yang segar-segar." Finna mendorong-dorong tubuh Saras dengan gemas.
"Ikan di pasar kali ah, segar!"
"Mau lo kawin sama duyung?" gurau Finna seraya mendelik.
"Mending sendiri selamanya gue," elak Saras.
Finna berdecih. "Paling nanti curhat lagi; 'Fin, gue salah apa sih? Kok nggak laku-laku?'!"
"Sial," umpat Saras yang dibalas dengan tawa kemenangan oleh Finna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Boss
Romance"Bilang kalau kamu mau aku pergi. Bilang kalau kamu nggak suka aku hadir di hidup kamu. Say it if you mean it." - Benara Wijaya Kamuflase cinta. Penorehan luka. Hancurnya kepercayaan untuk bertahan. Kepalsuan dalam sebuah keluarga membuat Aluna Sara...