Untuk kamu, hatiku:
"We should make up, not break up."
***
"Bang, si Mama hobinya nambah musuh terus deh," adu Keira pada Ben saat lelaki itu menghampiri keduanya.
Ben menatap kepergian tante Melly. Ia menyaksikan betul bagaimana saat konde besar wanita itu hampir lepas saking shock-nya disindir oleh mulut harimau sang mama.
"Mama nggak akan begitu kalau dia nggak bangga-banggain anaknya itu seolah kamu ini rendah banget!" elak Sinta, masih dongkol.
Ben hanya bergeming. Tidak menyalahkan Sinta yang berusaha membela Keira, tapi juga tidak membenarkan sikap mamanya. Mungkin ada cara yang lebih "halus", tapi sepertinya itu bukan gaya Sinta dalam mengusir hama.
Bagi Ben, Sinta berbeda dari kebanyakan orang tua. Tidak pernah memuja-muji anaknya sendiri di depan orang lain dan membandingkan anaknya dengan anak lain di belakang. Tanpa mengenal tempat, Sinta selalu hadir untuk mendukung tanpa membutakan mata, mana yang benar mana yang salah. Sinta mampu menyesuaikan jiwanya ketika sedang bersama dengan anak-anaknya. Tahu kapan harus bersikap seumuran dan jadi sahabat suportif, tahu kapan harus menua dan jadi orang tua yang dihormati.
Sinta sangat dekat dengan Ben maupun Key, sehingga ia tahu benar perkembangan serta pertumbuhan kedua anaknya secara mendetail. Mereka pun saling terbuka di depan satu sama lain. Oleh karena itu, Sinta memahami semua kesulitan yang dihadapi anak-anaknya. Ia tidak pernah berani untuk membandingkan mereka dengan anak orang lain sejak kecil meskipun terkadang tingkah Ben sedikit bandel dan Key yang pemalas. Sinta selalu mengoreksi dirinya sendiri, apa yang salah dari didikannya dan Herman? Pasangan itu mengerti, anak-anak tidak pantas disalahkan.
Dan menyaksikan anak-anak kesayangannya yang tidak pernah ia hina, diremehkan oleh orang yang bahkan tidak turut andil sedikit pun dalam membesarkan mereka, ibu mana yang tahan untuk diam saja?!
"Ya tapi, kan, nggak usah nanya begitu. Nggak enak tahu," tegur Keira, cemberut.
Ini bukan pertama kalinya Keira mendengar Sinta berbicara sengit seperti itu. Beberapa waktu lalu bahkan Sinta pernah berucap, "Anakmu kapan cerai?" Ketika Keira tidak sengaja bertemu dengan ibu sang mantan kekasih semasa kuliah yang kini telah memiliki cucu dan membangga-banggakan anak serta mantunya di depan Key.
Keira mungkin tidak apa-apa, tapi Sinta yang apa-apa menyaksikan anaknya tidak dihargai!
Baru Sinta akan membuka mulut dan berkilah kembali, sosok jelita yang tertangkap sudut matanya lantas mengalihkan perhatian wanita itu. "Lho, itu Saras ya? Apa Mama keliru?"
Sontak Ben menoleh ke arah di mana Sinta menunjuk Saras. Terlalu cepat geraknya. Keira yang melihatnya pun sampai takut kepala abangnya akan copot.
Sinta tidak keliru. Sosok berbalut gaun satin berwarna coral itu memang Saras. Rambut kelam perempuan itu tampak berkilau karena berdiri tepat di bawah pantulan cahaya. Dan yang pasti, Saras hari ini terlihat cantik. Selalu.
Tanpa sadar senyum Ben terulas. Kalau benar perempuan itu tercipta sebagai "sebuah kebetulan" dalam hidupnya, mengapa mereka lagi-lagi kembali dipertemukan?
"Senyum-senyum. Sana samperin!" goda Sinta seraya mencolek pinggang Ben.
"Hmm?" Ben pura-pura tidak mengerti.
"Nggak usah sok polos, Bang. Udah tua juga. Gih, buruan PDKT," seru Keira yang dengan sigap mendorong-dorong tubuh besar Ben mendekati posisi Saras yang tidak jauh dari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beauty and the Boss
Romansa"Bilang kalau kamu mau aku pergi. Bilang kalau kamu nggak suka aku hadir di hidup kamu. Say it if you mean it." - Benara Wijaya Kamuflase cinta. Penorehan luka. Hancurnya kepercayaan untuk bertahan. Kepalsuan dalam sebuah keluarga membuat Aluna Sara...