It's a Bad Day #1

923 126 21
                                    

"Oh! Selamat pagi Ice!^^"

Seperti biasanya, Gempa adalah orang yang paling setia menyapa Ice setiap pagi. Manakala Ice, menatap Gempa dengan senyuman yang sangat tipis. "Selamat pagi.. Kak.."

"Ayo sarapan! Aku baru saja memasak sarapan!" Ucap Gempa riang, tersenyum hangat bak matahari.

Ice hanya mengangguk saja, mengikuti langkah sang kakak ke arah dapur. Didapur masih sepi, tak ada satupun saudara nya yang sudah bangun.

"Tumben cepat bangun nya." Ucap Gempa, memulai obrolan sembari menatap Ice.

"Ah.. Aku hanya habis mimpi kok.. Tak usah dipikirkan.." sahut Ice dingin, mengalihkan pandangannya, tak menatap sedikit pun kearah Gempa. Gempa hanya tersenyum, menepuk pelan kepala Ice dengan lembut. "Kalau kau mimpi buruk, kau bisa cerita padaku."

Ice hanya diam, mendengus pelan seolah kesal kemudian duduk di kursi meja makannya. Ia tak akan mengatakan apapun soal mimpi atau apalah itu. Ia tak akan berurusan dengan Gempa lagi, hanya itu pikiran nya sekarang.

"Yo! Pagi Kak Gem/Gem!!" TrioTroubleMaker memasuki dapur, dengan senyum khas masing-masing merekah di wajah mereka. Gempa yang sedang mengaduk kuah sup pun menoleh dengan senyum bak keibuan nya yang hangat. "Selamat pagi kalian.."

Menyadari itu, Ice memakai tudung hoodienya, melipat kedua tangannya di atas meja kemudian menyembunyikan wajahnya diantara lipatan tangannya. Sangat amat enggan menatap semua saudaranya, terlebih lagi Blaze.

"Kita sarapan apa~?" tanya Blaze riang, sembari berjalan mendekati Gempa.

"KIta makan apa yang ada, jangan cerewet ya." tegur Gempa kala melihat raut kecewa dari taufan dan Blaze. "Tak ada ayam?!" tanya keduanya.

"Thorny suka sup!OwO"

"Lihat, Thorny saja menghargai makanan yang ada, jadi kalian juga harus begitu."

Perkelahian kecil ala keluarga itu terjadi, namun seperti biasa Ice hanya diam, tenggelam dengan pikiran nya sendiri. Dia tak minat, bukan, dia takut untuk masuk ke dalam percakapan, ia takut hal yang dulu terulang lagi, dan dia takut saudaranya akan membencinya lebih besar lagi.

"Oh, ada Ice toh." tegur Taufan, menepuk nepuk kepala Ice dengan lembut. Ice mengangkat sedikit kepalanya, hanya bergumam tak jelas sebelum ia kembali menyembunyikan wajahnya. Taufan menatapnya dengan kikuk, melirik Gempa dengan tatapan sendu. Gempa yang mengerti hanya menggeleng pela, tersenyum sendu juga.

"Kak Hali dan Solar mana?" tanya Gempa.

"Mereka berkelahi lagi di kamar, Kak Hali tak sengaja menginjak ponsel Solar." jawab Blaze.

"Dasar_=" ucap Gempa sedikit kesal.

---

"Blaze, nanti jangan berkelahi lagi ya." nasihat Gempa di perjalanan mereka menuju sekolah pagi ini dibalas anggukan Blaze dengan bibirnya dipoutkan kesal. "Iya iya!" Pemuda itu berjalan duluan bersama kedua saudara nya.  Gempa menghela nafas, membenarkan posisi tas selempangnya.

"Dia harus diawasi." ucap Gempa menghela nafas pelan. "Kau tak akan bisa mengawasi nya, kau sibuk dengan tugas OSIS mu." sahut Halilintar seraya memainkan ponselnya.

"Aku tau itu, kau juga pasti akan sibuk dengan karate mu." Untuk kesekian kalinya, Gempa menghela nafas lagi. Halilintar hanya diam, memasukkan ponselnya ke pocket rompinya lalu menatap lurus kedepan, menatap punggung TrioTroubleMaker. "Kalau mengandalkan dua bocah itu, yang ada masalahnya tambah besar." ucap Solar, seolah membaca pikiran Halilintar.

"Bagaimana denganmu, Solar?" tanya Gempa sedikit bersemangat.

Solar menggeleng kecil dengan senyuman tipisnya, "Maaf kak, aku terlalu sibuk di laboraturim jadi tak bisa mengawasi api unggun kita."

Gempa mengeluh kesal, "Jadi siapa yang bisa kita andalkan?"

Mendengar percakapan itu, pemuda aquamarine hanya diam, menundukkan kepalanya. Hal ini sudah sering terjadi. Saudaranya tak pernah menyebutkan namanya di percakapan mereka, jangankan menyebut, mengingat saja mungkin mereka tidak mau.

Surai poninya menutupi setengah wajah Ice, tersenyum tipis dibalik penderitaan dan kekosongan hidupnya. Tangannya mengepal erat di dalam saku celananya. "Selamat pagi, Yaya."

Mendengar nama itu disebut, Ice menoleh ke depan, menatap sosok gadis berkerudung yang sekitar 2 tahun lalu mencuri hatinya. Setiap hari ia habiskan dengan memandangi gadis itu diam-diam.

"Selamat pagi, Kalian." sapa Yaya balik, dengan senyuman lembut nan hangatnya. Ice ingin sekali ikut tersenyum, namun entah kenapa hatinya mengatakan kalau dia tidak pantas melakukan itu.

"Aku akan kekelas duluan." bisik Ice, yang ia tak yakin akan didengar atau tidak. Persetan dengan itu sekarang, dia tak peduli. Ice berjalan dengan lemas dan lesu menuju kelasnya, kelas yang terletak di ujung koridor. Kelas yang jaraknya sangat dekat dengan kantin juga perpustakaan, membuat tempat itu sedikit ramai karena sering dilalui.

Ice memasuki kelasnya, berjalan kekursi paling belakang dan duduk disana. Meletakkan tasnya, melipat kedua tangannya di atas meja sebelum akhirnya menyembunyikan wajahnya dibalik lipatan tangannya.

Teman-teman sekelas yang melihat tingkahnya itu kembal berbisik-bisik, walau itu bukan kejadian langka, namun tetap saja, sifat Ice yang pendiam dan sangat tertutup itu selalu menjadi bahan gosip hangat bagi para wanita laknat dikelas itu.

"Kau lihat? Padahal semua saudara nya tampak riang."

"Ya, dia seperti orang asing jika berjalan bersama saudaranya."

"Bahkan kadang orang-orang bisa tak menyadari keberadaan nya loh."

"Aku memang tak pantas ada, apa kau puas?"

Mendengar itu, ketiga gadis itu tersentak dan menatap ke arah Ice dengan kikuk dan canggung. "A-anu..K-kami bukannya membicarakanmu.."

Ice hanya diam, menatap ketiga gadis itu dengan dingin sebelum memalingkan pandangannya kala menyadari siapa orang yang berdiri diambang pintu. "Maaf." gumamnya pelan.

"Ada apa ini?" tanya Yaya, berjalan menghampiri ketiga gadis itu. Ketiga gadis itu langsung memasang wajah ketakutan dan menghampiri Ketua OSIS itu. "Yaya, dia menatap kami sangat tajam, padahal kami tak membicarakannya sama sekali!"

"Iya! Dia menuduh kami!"

Yaya menghelas nafas pelan, menatap Ice yang sudah kembali menyembunyikan wajahnya dilipatan tangannya dengan tajam. "Kalian pergilah, aku akan urus dia."

Ketiga gadis itu mengangguk sebelum pergi dengan kekehan iblis mereka. Yaya mendengus pelan, berjalan menghampiri Ice sambil membawa buku note dan pulpen kambing lucunya. Ayolah, pulpen itu bertahan dari SD sampai SMA? Yang benar saja..

"Ice, jelaskan apa yang terjadi." ucap Yaya, mengetuk pelan meja yang digunakan Ice. Ice mengangkat kepalanya, menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, menatap keluar jendela dengan diam dan datarnya tanpa menjawab. Melihat tingkah itu, Yaya mengerjapkan matanya.

"Catat saja namaku." ucap Ice setelah diam beberapa saat. Yaya berkacak pinggang, menatap Ice dengan tatapan kesalnya. "Setidaknya, tatap lawan bicaramu. Apa kau tak per--"

Ucapan Yaya terpotong ketika Ice manatpnya tepat dimatanya. Yaya menatap aquamarine itu, tatapan yang sangat tajam dan dingin, begitu menusuk dalam jauh ke pikirannya. Tatapan yang begitu misterius, Yaya bahkan tak dapat membaca isi pikiran, terlalu terpaku dengan tatapan mata itu.

"Sudah kan? Catat namaku." ucap Ice, memalingkan wajahnya dari Yaya. Yaya dengan kesal langsung mencatat nama Ice dengan pelanggaran membuat hati teman sakit. Gadis berkerudung itu langsung berlari menuju ruangan guru bimbingan konseling. Ice hanya diam, lagi-lagi hanya tersenyum tipis.

"It's my bad day.."


Kindness? It's only dream [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang