It's a Bad Day #2

974 130 41
                                    

"Ice, nilai kamu semakin buruk setiap minggunya." omel guru matematika pada pemuda bermanik aquamarine yang kosong dan hampa itu. Ice tak menjawab, hanya diam tanpa memperdulikan ocehan guru itu, serta cemoohan teman-teman sekelas nya.

"Padahal keenam saudara kamu gak begini. Kenapa kamu malah begini?!" Lagi, dia kembali dibandingkan dengan keenam saudara nya yang penuh prestasi itu. Pemuda itu merasa kalau tak ada artinya dia hidup sekarang ini. Tapi entah kenapa, gadis berkerudung itu malah menjadi semangatnya untuk hidup. Aneh bukan?

"Bu guru! Tadi kami juga melihatnya membentak Yaya didalam kelas!" adu seorang murid berkacamata tebal sambil bertampang sok ketakutan. Ice tetap tak berkutik, tetap menatap kearah meja guru yang ada dihadapannya dengan diam. Tanpa sadar, tangan kanannya mengepal erat, menggenggam kertas ulangan bernilai 20 dengan tinta merah itu hingga koyak.

"Ibu beri hukuman ya? Kamu sudah mempermalukan kelas kita kalau begini Ice."

"Terserah saja." sahut Ice kalem sembari menatap guru matematika itu dengan santai dan tenang, matanya tak menyirat suatu emosi yang spesial. Meraa diremehkan, guru itu mencatat nama Ice di buku penilaiannya. "keluar dari kelas dan berdiri di lorong. Ibu muak padamu."

Sekali lagi, tawa para siswa terdengar diruang kelas yang besar ini, Ice dengan selamba dan cuek hanya mengangguk lalu berjalan keluar kelas, tak menyadari tatapan seorang gadis berkerudung merah muda yang menatapnya dengan penuh rasa bersalah.

---

"He~? jadi si cowok sok tampan ini di hukum~?"

"kasihan banget, makanya punya otak dipakai."

"Mungkin gak punya otak kali, nilai mtk aja 20~ haha~"

Begitulah cemooh para siswa siswi yang ada di koridor sekolah, menatap pemuda manis dan santai itu dengan tatapan jijik dan benci. Ice hanya tersenyum pahit, cemooh dan tatapan itu sudah makanan sehari-hari baginya.

"Ice.."

Mendengar panggilan lembut dan lirih itu, Ice menoleh, sesuai dugaannya itu adalah Gempa. Kakak nya itu terlihat sangat tampan dengan seragam sekolah yang dibalut dengan jas OSIS berwarna biru tua, "Aku tak yakin kita satu darah.." itulah yang dipikirkan oleh Ice saat ini kala melihat sosok sang kakak.

"Kamu kenapa berdiri disini? Dihukum?" tanya Gempa, menatap sang adik dengan tatapan cemas nya. Membuat hati Ice merasa sangat diperas, "Jangan tatap aku begitu. Seharusnya kau menatap ku seperti yang lain menatapku.."

Ice tanpa menjawab malah menyerahkan lembaran ujiannya yang sudah koyak karena diremas terus-menerus. Gempa yang sedikit kebingungan, mengambil lembaran itu dan melihat isinya. "Ah.." Gempa bergumam kikuk kala melihat nilai yang tertera, nilai 20 untuk pelajaran matematika.

"Anu.. Maaf Ice.. Kakak gak pernah merhatiin kamu." ucap Gempa merasa bersalah, mendengar itu Ice terdiam terlebih kala menyadari bahwa sedari tadi saudaranya yang lain ada di belakang Gempa.

"Dua puluh? Aku tidak salah lihat kan?" tanya Halilintar dengan nada dinginnya sembari menatap sang adik pencinta aquamarine yang sudah menundukkan kepalanya.

"jika kau punya masalah dengan pelajaran, seharusnya kau bertanya pada kami Ice! Apa gunanya kami sebagai saudara mu?!" ceramah halilintar, membuat semua orang di koridor memerhatikan mereka.

"Lakukan saja.."

"Memangnya apa peduliku?" Ice bertanya sambil mendongakkan kepalanya, menatap sang kakak yang jauh lebih tinggi darinya. Ruby dan aquamarine. Sungguh warna yang sangat bertolak belakang. Halilintar tersulut oleh emosi pun menarik kerah seragam Ice dengan kasar hingga ia bisa menatap adiknya itu jauh lebih dekat.

"Kau sudah berani melawan hah?"

Seolah sadar apa yang baru saja dia katakan, Ice terdiam, menghindari tatapannya dari wajah sang kakak dengan menundukkan kepalanya. Tubuhnya bergetar kecil menahan tangis. "Halilintar, hentikan." tegas Gempa sembari menengahi mereka berdua.

"Aku heran padamu Gem, untuk apa peduli pada nya kalau dia sendiri bahkan tak menganggap kita?!" amuk Halilintar sembari menatap Gempa dengan manik merahnya yang bersinar.

"Seharusnya kau juga bisa memperhatikannya baik-baik! Bukannya emosi begini!" balas Gempa dengan kesal.

Semua orang heboh melihat pertengkaran Halilintar dan Gempa yang dikabarkan jarang sekali berkelahi. Halilintar adalah sosok yang sangat menyayangi keluarganya dibalik sikap dinginnya, terlebih pada Gempa.

Menyadari bisik-bisik para penonton, Ice terduduk di atas lantai, membuat semua orang menatapnya dengan bingung. Ice menundukkan kepalanya di depan Halilintar dengan tubuhnya yang bergetar hebat. "Maafkan aku kak. Aku berjanji akan memperbaiki nilaiku sebelum lulus."

Semua orang terdiam, hening beberapa saat sampai Halilintar berdecih kesal dan menatap adiknya yang seolah sedang berlutut itu dengan remeh. "Aku tak yakin apa kau bisa lulus dari sekolah ini atau tidak."

"Halilintar!"

"Dasar tidak berguna, dari dulu selalu saja. Menyusahkan." Setelah mengucapkan kata-kata berbekas itu, Halilintar berjalan meninggalkan lokasi mengabaikan Gempa yang meneriaki namanya.

---

Ice duduk di kursi taman dengan diam, jam menunjukkan pukul 5 sore. Namun entah kenapa kakinya sangat malas untuk melangkah ke neraka yang disebut rumah itu. Sudah sejam dia duduk di kursi taman tanpa memikirkan apapun, oyaknya hanya diisi dengan berbagai penyesalan yang ia lakukan beberapa jam lalu disekolah. Adegan dimana dia membuat kedua kakaknya berkelahi.

Dirinya sangat takut untuk pulang, bahkan jika bisa, dia ingin sekali menghilang dari keenam saudara nya, juga dari dunia. Lengan jaketnya sudah basah karena ia menghapus airmatanya yang tak kunjung berhenti dari tadi. Rasanya matanya mulai membengkak sekarang.

"Aku mau pulang.. Tapi kenapa aku merasa kalau aku tak akan diterima untuk kembali.."

Pernyataan itu terus teriang dikepala nya hingga membuatnya mual dan ingin mengakhiri hidupnya.

"Loh, Ice?"

Ice mencoba mendongakkan kepalanya setelah berhasil menghapus air matanya, lalu terbelak dengan seseorang yang menatap nya dengan senyuman hangat.

"A..Ayah..?"


Kindness? It's only dream [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang