"Kenapa kamu sendirian disini?" tanya Amato, menatap anak laki-laki nya yang memandang nya dengan manik biru cerah seperti langit itu. Tapi malang, mata itu nampak sendu dan sedikit bengkak seperti habis menangis.
Ice kembali menundukkan kepalanya, menyeka air mata. "Aku lupa.. Kalau ayah sudah pulang dari dinas luar hari ini." Merasa tak ada jawaban, Amato membungkukkan tubuhnya dan mengusap bahu Ice. "Nak, kamu ada masalah?"
Ice berusaha keras memutar otaknya, mengangguk kecil kemudian. "I-iya. Hanya bertengkar dengan teman kok."
"Begitu? Ice kayaknya kalah ya? Soalnya Ice nangis tuh!" ucap Amato dengan nada riang khasnya, menepuk-nepuk kepala anak lelaki nya dengan hangat. Dan lagi, Ice merasa bersalah menerima perlakuan begitu.
"Kenapa gak minta tolong saudara mu?"
"Aku kan berantem nya sama kak Hali dan kak Gem." Ice menggelengkan kepalanya, mengusap matanya pelan. "Aku tak mau menyusahkan mereka.."
Amato tersenyum lembut, mengusap surai Ice pelan. "Yasudah, kalau begitu ayo pulang. Ayah udah belikan banyak oleh-oleh untuk kalian semua!" Ice hanya mengangguk kecil, setidaknya dirinya bisa sedikit tenang dirumah jika ada sang ayah.
Keduanya memasuki mobil sewaan beserta supir yang disewa Amato, bergerak menuju kembali kerumah. Setiap detik yang dihabiskan didalam perjalanan seolah menjadi waktu-waktu terakhir hidup bagi Ice. Bagaimanapun, dia masih tak berani berhadapan dengan Halilintar.
Setibanya dirumah antik bertingkat dua, Amato segera turun dari mobil dan membiarkan si supir lah yang membawa barang-barang nya. Amato begerak membuka pintu rumah, "Ayah pul--"
"Ice?! Kamu darimana aja sih?! Bikin cemas tau gak!!" Amato mengerjapkan matanya kala Gempa tiba-tiba berdiri didepan pintu. Gempa menatap Amato dengan tatapan tak percaya seraya mengerjapkan matanya juga. "L-loh.. Ayah..?"
"w-waduh.. Maaf. Harusnya kamu nyambut Ice ya..?" Gempa tak menjawab, melihat sosok yang berdiri dibelakang Amato sambil mengusap lengannya dengan wajah lusuh dan sendu itu. "Ice, darima-"
"A-aku ingin istirahat.." ucap Ice masuk ke dalam rumah melewati sang ayah dan Gempa menuju lantai dua kamarnya. Gempa menatap kepergian Ice seraya menghela nafas gusar, "Apa-apaan dia.."
"Gem? Dia punya masalah?" tanya Amato, menatap Gempa cemas. Gempa tak menjawab, memilih kembali bertanya, "Ice pulang bareng ayah? Dia ngomong apa?"
"Ah iya, dia bilang berantem sama temen nya." ucap Amato membuka dasi yang seolah mencekik nya itu, menghela nafas kecil. "Kamu gak perlu secemas itu, dia sudah besar bahkan tak mau melibatkan kalian dalam masalahnya."
"Bukan itu masalahnya.." Gempa menghela nafas kecil, menerima jas sang ayah seraya menunjukkan senyum hangatnya. "Yasudah.. Selamat datang kembali, ayah."
"Ayah pulang.."
---
"Oleh-olehnya banyak!" Sorak Blaze dan Thorn dengan riang membuat Amato terkekeh kecil, "Bagi-bagi loh ya.." Sementara Blaze dan Thorn asik melihat-lihat barang yang dibawa ayahnya, Gempa hanya berdiam diri sembari menggenggam cangkir berisi teh panas nya. "Tapi.. Hali memang sedikit keterlaluan.."
"Ice memang jarang keluar kamar selama ayah pergi?" tanya Amato tanpa menolehkan pandangannya dari televisi. Gempa menghela nafas kecil, "Iya.. Dia sering tidur, aku cemas itu akan mengganggu kesehatannya.."
Amato menghela nafas pelan, "Begitu ya.. Kenapa tak ada dari kalian yang mau menemaninya?"
"Percuma ayah, di ajak mengobrol pun dia akan jarang menanggapi." sahut Solar menatap buku novel ditangannya, membenarkan sedikit letak kacamata yang dia kenakan. Amato menghela nafas kecil, mendongakkan kepalanya. "Apa dia masih merasa bersalah soal itu..?"
"Tidak usah dipikirkan. Dia memang tipe penyendiri seperti kak Hali." ucap Blaze mengibaskan tangannya. Meringis kecil kala Halilintar memukul kepalanya dengan remote tv. "Kak!"
"Jangan samakan aku dengan dia." ucap Halilintar datar, menatap tv dengan tatapan tak minat membuat Amato menatapnya heran. "Tapi kalian memang sama. Sama-sama pendiam dan anti-sosial, apa bedanya?"
"Tentu saja beda. Aku mengasingkan diriku sedangkan dia..--"
Halilintar tak melanjutkan perkataannya membuat Amato memicingkan matanya, "Dia diasingkan. Begitu kan?"
Tak hanya Halilintar, bahkan para saudaranya yang ada diruangan itu terdiam dan dibungkam oleh pernyataan Amato. Hening sempat melanda ruangan yang sebelumnya terasa hangat, sampai Amato menghela nafas panjang. "Ayah sudah duga itu."
"Dia juga mengasingkan dirinya." ucap Halilintar, menatap Amato dengan tatapan tajam. Amato membalas tatapan sang anak dengan santai, "Kenapa jadi sama? Katanya tadi kalian berbeda." Halilintar berdecih kecil, memilih berdiri dan berlalu dari sana. "Terserah."
Amato kembali menghela nafas, menatap Gempa. "Sepertinya masalahnya ada pada Halilintar, benar?" Gempa tak mampu berbohong lagi, menganggukkan kepalanya kecil. "Iya.."
"Ceritakan."
---
Ice hanya berdiam di kamarnya sembari menatap buku di tangannya dan membacanya dalam kesunyian. Jujur, rasa takutnya sedikit berkurang akan masalah pagi tadi. Dan dia berjanji untuk dirinya sendiri agar memperbaiki nilainya sebisa mungkin.
Maka dari itu, dia mulai membuka-buka buku pelajarannya dan memahaminya. Walau dia tau, otak nya tak akan sanggup menerima itu semua. Bukan karena malas, tapi jujur dia tak pernah benar-benar mengerti tentang semua pelajaran.
Karena guru-guru juga jarang memberikannya perhatian saat dirinya hendak bertanya. Memang sial.
Tapi Ice memiliki tekat kecil didalam hatinya, dia ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dia bisa melakukan semua itu sendiri. Bahkan dia mengurungkan niatnya untuk turun makan malam karena terlalu takut untuk berhadapan dengan Halilintar.
Padahal dirinya sangat mengagumi sosok Halilintar dulu. Halilintar adalah orang yang menawan dengan paras tampan menjadi incaran para anak perempuan di sekolah. Selain tampan, dia juga bisa menguasai hampir kesemua bidang akademik maupun non-akademik. Yang paling ia kuasai adalah karate.
Ice memeluk lutut nya, menatap sendu ke bawah dengan tatapan kosong. "Aku bisa tidak ya.. jadi kayak kak Hali..?"
Ice menolehkan kepalanya ke arah cermin besar yang berada di lemari kamarnya, menghadap langsung ke arah kasur. Ice tersenyum tipis, menggeleng kecil. "Mana mungkin.. Itu hanya mimpi belaka."
Ice mendongakkan kepalanya, menatap langit-langit kamar dengan sendu. "Bahkan kak Gem mungkin perhatian hanya karena kasihan kan.." Ice memiringkan kepalanya, "Kebaikan itu omong kosong.."
===========
Loha~ Anjayyyy
Siapa sih yang nyangka ternyata ni book rame beut akhir-akhir ini:'3 Bahkan Tha sampe didemo-demo di wall, komen, bahkan dm:"
Rada serem yah readers nya, tapi gak apa-apa! Tha jadi ketemu beberapa ide buat Book ini! Tenang, Book nya gak bakal sepanjang Boboiboy and Me-
Semoga masih ada pembacanya nih book, terima kasih atas dukungan kalian!
![](https://img.wattpad.com/cover/221673775-288-k751825.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kindness? It's only dream [SLOW UPDATE]
Fiksi UmumBoboiboy Ice, adalah saudara kelima dari tujuh bersaudara kembar. Sifatnya yang pendiam dan tertutup membuatnya diabaikan oleh teman-teman bahkan saudara nya. Suatu hari, ia bertemu sosok 'teman' yang sangat berharga dalam hidupnya, dan ia memberiny...