"Morning, Bat!" sapa Raymond yang baru turun menuju ruang makan. Aku yang sedang menggoreng telur pun menoleh.
"Morning, Crocy! Tumben udah bangun, kesambet apa?" ledekku.
"Yee takut dapurnya diberantakin sama manusia ruwet, hahahaha!" Da mengacak rambutku dan aku sedikit menghindar. Raymond berjalan ke arah kulkas dan mengambil sebuah apel hijau.
Crocy, dari kata crocodile. Begitulah aku memanggilnya. Sebenarnya Raymond ini bukanlah tipe cowok seperti itu. Aku saja yang tak mengerti, bagaimana bisa manusia 'nyeleneh' seperti dia bisa menarik hati para wanita? Sungguh mengherankan. Dan Bat, begitu Raymond memanggilku. Bukan apa-apa, melihat kebiasaanku menonton acara Super Eja hingga larut malam membuatku menjadi makhluk nocturnal. Raymond sempat menasihatiku untuk tidak 'over' menunggu Super Eja pulang. Eja, kan, super? Dia bisa masuk rumah lewat manapun dan tidur dimanapun, kan? Kata Raymond.
"Mond, aku mau ke Metropolitan lagi, ya," Aku berjalan ke arah meja makan sambil membawa seporsi besar nasi goreng.
"Metropolitan?! Nggak! Nanti kamu pingsan lagi gara-gara kehabisan oksigen kayak kemarin," Raymond mengelak lantas menarik kursi dan duduk.
Tiga hari yang lalu, saat Slanderian Soldier tiba-tiba datang ke pusat perbelanjaan. Sebenarnya aku tak yakin jika penyebab pingsanku waktu itu karena kehabisan oksigen. Oksigen, kan, sudah kudapat lagi saat keluar dari pusat perbelanjaan? Atau jangan-jangan paru-paru desaku susah untuk beradaptasi dengan udara Metropolitan?
"Nanti aku pakai masker, aku pengen roti bakar, Mond!" rengekku.
"Beli online aja, ya?" Raymond membuka handphone. Memunculkan hologram transaparan tentang aplikasi belanja online tersebut.
"Ih, gamau!" Tanganku mengacak hologram tersebut hingga hilang. "Aku butuh refreshing, Mond! Disini membosankan!"
"Kok bisa ya pinggiran metropolitan lebih membosankan daripada desa,"
"Dirumahku, kan, banyak benda-benda menyenangkan,"
"Disini juga ada,"
"Apaan?! Paching? Pull up? Samsak? It's too boring, Mond!"
"Yaa... Gimana ya," Ia menggaruk tengkuknya, "ke Metropolitannya sama aku, ya?"
"Peraturan pertama jalan sama Raymond: nggak boleh keluyuran. Kedua: nggak boleh boros. Ketiga: hemat listrik motor, jadi harus cepet pulang, dan jalan-jalan minimal satu setengah jam,'' cibirku panjang lebar, " Gimana aku mau refreshing kalo kayak gitu?!"
"Tapi, Vin," Raymond memohon.
"Udah, nggak usah khawatirin aku, aku nanti pake masker kok. Nggak akan lama juga,"
"2 jam, ya?"
"5 jam!" bentakku, ngotot.
Raymond terlonjak. Aku segera beranjak dan bersiap-siap.
"Vin, Vinkaaa!!?"
...............
Polusi udara Metropolitan tersaring melalui masker yang kupakai. Tapi, sama saja. Panas dan debu masih bisa menyentuh kulitku dan membuatnya menjadi kusam. Kali ini, aku tak mau pergi ke pusat perbelanjaan. Takut jika kejadian kemarin terulang lagi. Mungkin, pasar kuno lebih aman (di zaman ini pasar tradisional disebut dengan pasar kuno). Lebih ramah lingkungan, harga lebih terjangkau dan tak ramai pengunjung. Ya, meskipun teknologinya tak secanggih pusat perbelanjaan sih. Tapi tak apalah, yang penting aman dan nyaman.
Setelah membeli beberapa jajanan aku segera keluar dari pasar. Berjalan melewati gang sempit nan kumuh. Karena ini satu-satunya jalan tercepat untuk keluar dari pasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
HELPLESSLY: the day bleeds
Fiksi IlmiahAlam mempunyai kekuatannya sendiri. Alam mempunyai keanguhannya sendiri. Alam bekerja selayaknya kaki tangan Tuhan. Tuhan murka, alam mengisyaratkannya. Tuhan senang, alam memvisualisasikannya. Tentang kekuatan. Tentang cinta. Tentang sains. Tentang...