Semburat jingga di ufuk barat mulai menghilang, namun aktivitas masih belum berhenti, masih ramai seramai rinai hujan yang mulai turun.
Rintik hujan yang turun kian deras, membuat orang-orang panik, tak terkecuali diriku, rumahku memang tidak terlalu jauh dari sini, sekitar dua ratus lima puluh meter mungkin. Hanya tas selempang yang kubawa untuk memayungi kepala. Kemudian berlari menerobos hujan, meskipun hujan turun deras, aku tak perduli.
Kakiku terhenti ketika seorang wanita paruh baya berdiri tepat didepan pintu, sembari berkacak pinggang, matanya menyoroti tajam.
"Dari mana saja jam segini baru pulang, kau melewatkan makan malam," ujarnya penuh amarah.
Aku menunduk seketika, seperti biasanya ketika aku terlambat pulang, dia cukup perhatian sampai hal-hal kecilpun di perhatikan dengan saksama.
Sejenak aku menghela nafas, bersiap-siap menerima amarahnya
"Angkat kepalamu," aku mengangkat kepala, memperhatikan wajah gusarnya.
Dia menarikku masuk, mimik wajahnya tidak dapat di artikan, entah apa yang akan menimpaku nanti.
"Sekarang kamu sudah tujuh belas tahun tante rasa sudah saatnya untuk menceritakan semuanya" ungkapnya, aku bergeming, menantikan keterangan yang lebih rinci
"Tapi sebelumnya tante ingin meminta maaf, bila selama ini kamu merasa tante tidak merawatmu dengan benar," dia terdiam sejenak sambil mengatur nafasnya
"Jika kau sudah siap mendengarnya hubungi aku, ini tentang orang tuamu--"
"Pulanglah tan, aku ingin mandi." Usirku tanpa rasa bersalah
"Aku tidak butuh mereka! Orang-orang seperti mereka apa pantas di sebut orang tua?" Sarkasku sebelum melenggang meninggalkan ruang tamu.
***
Kutenggelamkan tubuhku di bak mandi yang penuh dengan air hangat, menutup mata sembari mengosongkan pikiran. Tidak pernah ku sangka sebelumnya, bahwa pada akhirnya dia akan membahas itu.
Kematian orang tuaku bukanlah hal buruk, mereka pantas mendapatkannya. Hanya memikirkannya saja membuatku memanas, sontak aku membuka mata lalu mengubah posisi menjadi duduk.
Aku mendongak menatap langit-langit kamar mandi, entah sejak kapan aku memikirkannya, kebenaran tentang orangtuaku yang sangat memuakkan, tapi di sisi lain, aku juga ragu tentang hal itu. Pasalnya ....
Tanganku menggepal erat, lalu menyambar handuk dan menyudahi ritual mandi yang belum rampung. Namun saat aku keluar dari kamar mandi, sosoknya masih ada, dia menyiapkan makanan di dapur yang sekaligus ruang makan.
"Cepatlah ganti baju, dan makan sebelum makanannya dingin. Aku pulang dulu," ujarnya sebelum pergi
Aku bergegas naik ke lantai dua, masuk ke kamar lalu mengganti pakaian yang tebal. Kemudian kembali turun untuk makan.
Lagi-lagi aku diam sejenak, menatap makan yang di hidangkan, bukan karena tidak tertarik, hanya saja semua makanan yang tersedia di meja adalah favoritku, dan saat-saat seperti ini aku jadi merindukan ibuku yang menyebalkan itu.
Aku menghela nafas lalu berbalik, menaiki tangga setapak demi setapak. Ku banting pintu kamar, meluncur keranjang kemudian meringkuk di atasnya.
Rumahku adalah perpaduan dari perpustakaan dan laboratorium, membuatku selalu mengingat tentang kegilaan orangtuaku lima belas tahun yang lalu.
Sekelebat bayangan menari-nari, di langit-langit tentang sebuah keluarga kecil dengan seorang putri yang kian tumbuh. Pandanganku beralih pada gelas kosong di atas nakas.
"Apa yang harus aku lakukan?" Rintihku sembari menutup wajahku dengan kedua tangan
Entah apa yang akan terjadi padaku saat kebenaran terungkap, mungkinkah dunia akan turut berubah? Atau mungkin hanya sedikit mengubah realita. Entahlah aku hanya manusia biasa, bahkan sampai sekarang aku tidak tau alasan kenapa ayah membuat virus mematikan itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
RF 2018 [Pindah Platform]
Fiksi IlmiahPada hakekatnya, manusia memang tidak pernah tau tentang apa yang akan terjadi di masa depan, jangankan meramal masa depan, manusia saja hanya tau 5% dari bumi, jadi kesimpulannya manusia tidak benar-benar tau, mereka hanya "sok tahu" Ah selain itu...