Cup
Sebuah kecupan lembut mendarat di tulang hidung Abel, tepatnya di antara kedua matanya.
"Kamu tau nggak, kamu terlalu mempesona," tutur Leon lambut. Jemarinya menyibakan helaian rambut Abel yang tertiup angin.
Sementara Abel masih tercenung. Baginya waktu seolah berhenti, berlawanan dengan jantung dan nadinya yang memompa cepat.
"Hmm," Abel bergumam tidak jelas, lalu membuang pandangan pada jalanan. Sekuat tenaga ia menahan jantungnya agar tidak melompat keluar. Ia berusaha agar tidak lepas kendali.
"Yaudah, kita ke tempat lain ya," setelah dalam posisi pas mengendarai motor bebeknya, Leon melirik Abel dari spion. Ia tersenyum begitu tulus dan lembut pada pantulan gadis cantik itu.
Betapa Leon merindukan Abel, ingin segera ia merengkuh gadis itu dalam pelukannya. Tapi apalah daya, Leon yakin, Abel bukan tipe cewek yang bebas disentuh.
°° M I S S °°
"Kalo di sini gimana?" Leon langsung melontarkan pertanyaan sesampainya mereka di caffe Bangi Kopitam. Leon melihat ke balik pungunggungnya, Abel masih tetap diam.
"Bel, kamu suka kalo di sini," tanya Leon sekali lagi, masih tetap mempertahankan kelembutan suaranya.
Abel melirik Leon kemudian caffe dan terakhir ponselnya.
"Kamu nggak suka, babe?"
Abel tidak menjawab. Ia masih terfokus pada ponselnya.
Gluduk gludukDan perhatian mereka berdua teralih pada langit yang bergemuruh di sertai kilatan-kilatan cahaya. Langit seperti mewartakan bahwa hujan akan turun.
Leon menurunkan pendangannya pada Abel. Mulai merenung tentang perilaku Abel yang memang mengikis kesabarannya. Tentang Abel yang seperti tidak antusias akan kepulangannya, tentanh Abel yang cuek bebek ditanyai sedari tadi, tentang Abel yang mungkin memang tidak mau ikut diajak keluar.
"Yaudah kita ke tempat lain," Leon mengalah lagi, sementara Abel tercenung karena tadi Leon berdecak kesal.
°° M I S S °°
Hujan mengguyur bumi begitu mendadak dan tiba-tiba. Tidak memedulikan para penghuni bumi yang kelimpungan.
Termasuk Abel dan Leon yang terpaksa berhenti di bawah atap ruko-ruko tutup. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Namun hujan sengaja memperlama waktu mereka.
Leon diam di atas motor, sementara Abel berdiri menghadap rintikan hujan. Tangan gadis itu memeluk lengannya sendiri.
"Bel, dingin?"
"Nggak."
"Bel..."
"Hmm?"
"Sini duduk di sini," Leon menepuk jok belakang motornya, mempersilahkan Abel agar duduk di situ.
Namun Abel diam, tidak menanggapinya.
Leon terpaku. Di kepalkannya kedua tangan, menahan emosi yang mulai memuncak hingga ubun-ubun. Perlahan ia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya lebih pelan lagi.
"Bel, lo kenapa sih, lo marah karna gue ajak keluar?!" Dan tibalah saat Leon sudah tidak mampu lagi menahan gejolak perasaannya.
Sedangkan Abel, sesaat perempuan berdarah asli Indo tersebut terpana. Raut keterkejutan terpahat ps di wajah putihnya. Jemarinya saling bertaut kuat. "Nggak," begitu lirihnya suara yang dikeluarkan Abel.
"Terus lo kenapa? Ngomong dong, jangan diem gini," Leon mendesak Abel.
Abel diam, tidak menjawab. Kepalanya menunduk menatap tungkai kaki yang terkena percikan-percikan hujan.