JWY 6

15 0 0
                                    


“Aku merasa kecaman kesalmu itu sebuah materi untuk menjadi manusia yang lebih benar. Tolong hadirlah.”-AkuLaki-laki

"Semahal apapun barang yang rusak, nilai perbandingannya dengan persahabatan adalah skala dari ujung ke ujung kutub"—Kami, yang Memiliki Persahabatan

.°.°.°.°.°.

Dylan memarkirkan mobilnya di depan garasi sebuah rumah berukuran sedang dengan cat berwarna monokrom dengan garasi tersebut di sampingnya dan taman kecil di depannya, lengkap dengan gazebo yang terlihat seperti mini home.

Dengan kemeja flanel birunya yang dibalut dengan mantel panjang berwarna hitam itu, Ia memencet bel rumah di depannya. Ia masa bodoh akan dianggap seperti apa begitu ada yang melihatnya memakai mantelnya. Pasti semua akan mengatakan jika Dylan mengira saat ini sedang musim salju. Biarin, namanya juga dingin.

Beberapa detik kemudian, seorang wanita paruh baya muncul dari balik pintu dengan senyum menyambutnya.

“Malam, tante,” ucap Dylan sesopan mungkin. Ia sudah kerap kali bertemu dengan kolega bisnis ibunya dan Ia selalu diajari untuk selalu berkelakuan sopan. Dan sikap itu terbawa setiap Ia bertemu dengan orang dewasa, siapapun itu.

“Malam, nak. Cari Zahra?” tanya wanita tersebut. Ya, wanita tersebut adalah Aliya, ibu seorang Azzahra Mikayla.

Dylan mengangguk sopan menanggapi pertanyaan wanita di depannya itu. “Iya, tante.”

“Masuk dulu, yuk. Tante panggil Zahranya dulu,” ajak Aliya yang kemudian diekori oleh Dylan.

Dylan melepas mantelnya dan meletakkannya di gantungan yang disediakan pada ujung dinding ruang tamu. Ia duduk di sofa ruang tamu tersebut sambil memainkan ponselnya hingga suara ketus berbicara padanya. “Ngapain lo ke sini?” begitulah bunyinya.

Dylan menoleh pada sumber suara tersebut kemudian berdiri tepat di depan pemilik suara yang tak lain dan tak bukan adalah Zahra. “Maaf, ya,” ucapnya yang terdengar tulus.

Zahra masih menatapnya marah, tetapi Aliya di tempatnya sekarang sedang mengintai dengan mata dan telinga super tajamnya. Dilihat dari cara Zahra menanggapi pemuda itu, Aliya yakin itulah sumber masalah yang membuat Zahra akhir-akhir ini sering menjadi pemarah.

“Gue gak bisa gak maafin orang,” balas Zahra menggantung sambil memalingkan wajahnya sehingga tak lagi menatap Dylan. “Tapi apa menurut lo, lo pantes dimaafin secepet ini hanya dengan lo dateng ke rumah gue dan bilang maaf?” tanya Zahra seolah meminta pendapat pada Dylan.

Dylan merasa mati kutu mendengar pertanyaan Zahra yang terdengar seperti meminta pendapat itu. Meminta pendapat pada Dylan tentang Dylan sendiri. Oh c’mon, Ra. Dylan ingin menjawabnya tetapi perasaannya tidak enak. Seperti ada yang sedang mengintai. Sementara si pengintai di tempatnya juga merasa aneh karena hening cukup lama.

“Gue nanya, loh,” ucap Zahra pada Dylan yang melirik kesana kemari.

Mendengarnya, arah padang Dylan langsung terfokus kembali pada Zahra. “Keluar dulu, yuk. Sambil jalan muter-muter sini,” ajak Dylan yang membuat Zahra mengangkat sebelah alisnya.

Dylan mendekatkan wajahnya pada telinga Zahra dan berbisik, “Ibu lo kayanya liat sambil nguping. Gue gak enak mau ngomong.”

JUST WANT YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang