JWY 7

20 0 0
                                    

"Kita susah-susah berusaha tapi tetap yakin bakal punya happy ending. Lah situ yang gak perlu berjuang kenapa malah gak manfaatin kesempatan?"—Kami yang Berjuang

"Tolong, siapapun. Aku sedang tidak dalam kondisi hati yang baik-baik saja. Jangan mengolokku dengan godaan-godaanmu. Aku ini tidak ingin menyakiti siapapun."—Zahra dan yang Merasakan

.°.°.°.°.°.

Dylan masih menatap Zahra berharap. Sedangkan Zahra yang ditatap malah menatap jalanan depan komplek yang tidak terlalu ramai. Ternyata jalan yang sepi lebih menarik daripada muka ganteng gue, batin Dylan.

“Ayo, ah, pulang!” ajak Zahra yang mulai kedinginan. Ia sudah beranjak, namun Dylan masih menatapnya di tempatnya duduk.

“Trus? Jawabannya?”

Zahra mengerutkan keningnya. “Lah, lo nembak gue?” tanya Zahra santai.

“Nembak palalo! Gue nembak cewek pilih pilih, kali. Gak biting kaya lo begitu,” cibir Dylan atas pedenya Zahra.

“Yaudah ayok pulang. Gue sampai rumah langsung kunci pager, kalo lo belum dateng berarti mobil lo gue sita,” ancam Zahra yang sangat kentara jika Ia hanya bercanda.

“Lo sita juga sejam lagi gue bisa langsung dapet yang baru.”

“Yee, songong! Cepetan, ih! Tadi udah gosok-gosok tangan aja sok-sokan masih mau nangkring di situ!” cetus Zahra pada Dylan yang masih setia duduk di bangku minimarket sambil menatapnya.

Namun tatapan Dylan berubah menjadi semakin tajam ketika Zahra mengalihkan pembicaraan itu. Rautnya sudah bisa berbicara sehingga Zahra mendengus kesal. “Gue gak nerima permintaan lo meskipun lo maksa sampe abad dua puluh tiga setelah masehi. Tapi gue mau semua mengalir aja. Gue gak mau menyelam ke kehidupan orang kaya,” ucap Zahra mengakhiri. Ia kemudian berjalan menjauh dari minimarket tersebut meninggalkan Dylan.

Dylan segera menyusul langkah Zahra yang belum begitu jauh. Ia menyejajarkan langkahnya dengan Zahra, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku, dan berjalan dengan santai. Keduanya masih diselimuti keheningan hingga sampai di rumah Zahra.

Kini mereka berada di ruang makan. Sebenarnya Dylan sudah akan pamit pulang, tetapi Aliya menawari untuk makan malam. Dylan tidak enak jika menolak, jadi Ia menerimanya dengan sopan. Saat makan malam pun Dylan sangat beretika. Ia menghabiskan semua isi piringnya yang tadinya diisi penuh oleh Aliya. Tidak hanya itu, Ia juga menerima lauk-lauk yang ditawarkan Aliya serta memuji masakannya.

Zahra hanya diam memperhatikan tingkah Dylan. Sesekali Ia melirik Dylan kalau kalau Ia berulah seperti biasanya, mengejeknya. Namun tidak. Dylan terlihat murni dengan apa yang dilakukannya saat ini. Zahra jadi merasa aneh.

Karena merasa sudah malam, Dylan pamit pulang. Ia menyalami Aliya dan mengetuk dahi Zahra pelan. Zahra mengaduh pelan dan membalas Dylan dengan cubitan di lengannya yang tidak terasa apa-apa. Dylan terkekeh. Ia memasuki mobilnya dan keluar dari halaman rumah Zahra.

Zahra masih berada di halaman rumahnya, menghiraukan ajakan Aliya untuk masuk. Ia melipat kedua tangannya di depan dada sambil bergumam, “Dia tahu rumah gue dari mana, sih?” herannya.

Bukan itu sebenarnya yang ada di benak Zahra. Tapi perbedaan kelakuan Dylan di sekolah tadi dan di rumahnya barusan. Terutama sikapnya di depan Aliya. Sangat sopan, seperti sudah terbiasa melakukan hal semacam itu. Namun Zahra tidak ingin terus kepikiran, Ia berbalik dan berjalan ke teras rumahnya.

JUST WANT YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang