JWY 2

19 3 0
                                    

Babang Dylan tampil di mulmed ea:)
Minta vote kalian akutuh biar semangat publishnyaaa💓
Rencananya aku bakal publish setiap Rabu, nih
So, tunggu aja, ya
Jangan lupa apa?
Semangatin akoeh hwhw:v
Okeiy, hepiriding❤️

Pagi yang cerah di SMA BTI. Zahra tengah bercanda dengan Satria, sahabatnya selain Semprul. Mereka berteman sejak MPLS, dimana Zahra terpisah gugus dengan sahabat-sahabatnya. Dan saat itu, Satrialah yang pertama menyapanya dan mengajaknya mengobrol. Mulai hari itu Zahra menjadi akrab dengan Satria sampai menjadi satu kelas seperti ini. Malah mereka bersahabat seperti yang baru dikatakan tadi.

Melihat pemandangan seperti itu, Fifa yang baru saja nongol di ambang pintu langsung sungut-sungut. Ia mendatangi meja Zahra dan segera mengusir Satria dari sana. Satria yang paham jika Fifa tidak suka dengannya sadar diri dan langsung menjauh ke bangkunya yang berada di pojok kelas. Dua bangku di belakang bangku Zahra dan Fifa.

“Aelah, Fif. Napa, sih. Perasan Satria juga biasa aja, gak ada salah-salahnya sama kita-kita,” protes Zahra untuk kesekian kalinya, karena tak sekali ini Fifa mengusir Satria saat sedang bercanda atau sekedar mengobrol dengan Zahra.

“Ish, Ra. Lo jauh-jauh deh sama Satria. Berapa kali gue mesti cerita sama lo kalo si Satria tuh SMPnya anak jalanan, ngikut bocah-bocah punk, ngamen, miras, dan lain-lain,” tegas Fifa dengan nada berbisik itu menceritakan latar belakang Satria yang didengarnya dari mulut ke mulut seperti teks hikayat itu.

“Fif, gak usah sok tau, deh. Lagian kalo bener, itukan SMP, masa lalu dia. Dan kalo misalnya sekarang dia masih kaya gitu, pasti gue ngerasain bau rokok atau miras waktu ngobrol sama dia, dan gue juga pasti bakalan ngejauh.”

“Halah, gak usah belain dia segala lah, Ra. Percuma. Banyak yang udah tau fakta itu.”

Zahra mendengus kesal. “Terserah lo deh, Fif mau ngomong apaan. Yang penting gue gak salah baik-baikin dia sebagai sahabat gue juga, sama kaya Semprul. Dan dia juga baik sama gue. Apa alasan gue harus jauhin dia?”

“Ah, tau ah. Capek gue bilangin lo,” kesal Fifa sambil melempar tasnya ke bangku. Zahra geleng-geleng kepala sendiri. Fifa memang rada risih dengan pergaulan-pergaulan seperti yang didengarnya tentang Satria. Namun Zahra belum tahu apakah yang diceritakan Fifa dengan ngototnya itu adalah suatu fakta atau hoax semata.

“Geografi selesai belum, Ra?” tanya Fifa sambil membuka buku tulis geografinya hanya terlihat tiga jawaban dari sepuluh soal yang tertulis di atasnya. “Gue takut Bu Sarah tiba-tiba nongol setelah tiga kali pertemuan gak masuk dan terakhir ngasih tugas ini.” Fifa mencebik melas.

Zahra terkekeh pelan. “Wohhh, ya belum dong,” ucapnya songong sambil ikut membuka buku geografinya yang sudah terjawab semua itu.

“Anjir, lo. Muka lo songong banget, Nyet. Najisin macem upil dugong,” cibir Fifa sambil menggeser buku tulis Zahra mendekat untuk menyalin jawabannya.

“Makasih kek dikasih contekan. Malah ngatain lo jeroan kuyang.” Fifa hanya cengengesan sambil berpose peace.

Baru saja Fifa mengeluarkan pulpen dari kotak pensilnya, sebuah tangan menjulur dari bangku belakangnya menyaut buku Zahra yang sudah terjawab lengkap.  Seketika itu, Zahra dan Fifa menoleh kebelakang dan mendapati Raihan, penghuni sayap kanan kelas yang membaca buku Zahra dengan sok serius. Sedetik kemudian senyumnya mengembang dan mengangkat buku Zahra tinggi-tinggi sambil berteriak dengan mulut toanya itu.

“GEO AMAN WOY! GEO AMAN!” Nah, kan. Begini nih kebiasaan sepuluh IPS dua jika ada PR. Salah satu mengerjakan, dan yang lainnya tinggal salin tempel saja. Mereka biasanya bagi tugas untuk mapel PR-PR yang harus diselesaikan. Dan Zahra kebagian geografi. Sebenarnya Zahra tidak pandai-pandai amat dalam mapel ini, namun Ia ikut saja dengan apa kata teman-temannya.

Fifa yang barusan terdiam melihat buku Zahra pergi langsung berdiri dengan kesal. “Woy! Permisi dulu kek kalo mau ambil bukunya!”

“Eit, maap ya permaisurinya Bang Caesar. Inget motto kelas ini? Satu untuk semua. Inget dong, ya? Jadi ini buku gue tahan,” ucapnya dengan nada dan tampang tanpa dosanya. Ia dengan santai membawa kabur buku Zahra meninggalkan Fifa yang mencak-mencak dengan sumpah serapahnya.

“Difoto, taruh grup kelas kenapa, sih?” celetuk Alinka. Salah satu anak olimp di sepuluh IPS dua. Dengan kacamata anti radiasi yang bertengger manis di hidungnya.

“Iya ih, gak pinter lo, Rai,” tambah Thoriq, si ketua kelas tukan bolos dan selalu kena remidi setiap ulangan.

“Heh, Mamang Garok, lepas noh sepatu lu. Liat alasnya, trus ngaca. Gantengan gue juga.” Thoriq hanya menautkan alisnya mendengar jawaban tidak nyambung dari Raihan.

“Goblok! Gak nyambung, bogenk! Siniin ah gue aja yang kirim grup!” ucap Rara, bendahara kelas yang galaknya sudah mirip debt collector itu menyaut buku Zahra dari tangan Raihan.

“Santai atuh, Neng. Sini babang bantuin pegang bukunya,” sahut Adit, cowok yang sudah lama menyukai Rara itu dengan nada centilnya seraya menarik pelan buku Zahra yang dipegang Rara itu.

“Najis, modus lo mau monopoli bukunya sendiri kan?! Ngaku lo!” srangap Rara dengan menarik kembali buku Zahra dengan kasar dan menabokkannya pada muka Adit.

“Heh! Mau nyontek ya nyontek aja kali, jangan jadiin buku gue sampe gak berbaju gitu!” teriak Zahra begitu melihat sampul bukunya yang miris, sudah sobek beberapa bagian lengkap dengan sampul plastiknya yang sudah hampir lepas.

Bukannya mendengarkan teriakan Zahra, buku itu malah jadi bahan lempar-lemparan cowok-cowok tanpa akhlak di kelasnya itu. Bukan sekali ini saja seperti ini. Dan Zahra sudah cukup bisa sabar menghadapinya. Tidak seperti Fifa yang akan diam seharian dan tidak menyapa orang-orang yang membuat bukunya mudo itu, atau istilahnya nyatru.

“Ish! Sini ah!” ucap Alinka, cewek berkacamata itu seraya menyaut buku Zahra. “Diem sono di tempat lu pada. Habis ini cek grup! Gak kasian apa lo pada sama Zahra noh. Mukanya udah kaya orang sok kelewat sabar.”

“Anying lu nyet! Pake segala kata ‘sok’,” teriak Zahra dari bangkunya sambil melempar potongan penghapus yang berserakan banyak di mejanya.

“Udah, ssstt! Diem!” sahut Alinka dengan menempelkan telunjuknya di bibir. Seketika semua langsung anteng di tempatnya masing-masing setelah membuka ponsel masing-masing.

“Gitu aja pake ribut dulu, ish! Dasar temen-temen dongo,” dumel Fifa dengan bibir tipis mungilnya yang mengerucut. Zahra hanya terkekeh mendengarnya yang kemudian menyumpal telinganya dengan earphone dan menyandarkan tubuhnya rileks.

                               -JustWantYou-

Sudah lumayan lama siswa-siswi sepuluh IPS dua menunggu datangnya Bu Sarah, guru geografi mereka. Namun guru itu tak kunjung datang. Sampai semua murid sudah menyelesaikan tugasnya, tentu saja dengan mencontek jawaban Zahra.

Terlalu lama menunggu, Thoriq, si ketua kelas baru menyadari bahwa dari tadi banyak siswa-siswi kelas lain yang berseliweran di depan kelasnya. Ia berdiri, melihat ramainya keadaan di luar sepuluh IPS dua. Namun Ia juga tahu, jikalaupun teman-temannya sadar seperti dirinya, mereka tidak mungkin berani keluar kelas jika belum ada konfirmasi guru tidak masuk. Thoriq sendiri heran, mengapa teman-temannya begitu alim.

Zahra yang sedang asik dengan video dance practicenya bersama Fifa seketika terjengkang kaget karena pintu kelasnya tiba-tiba terbuka dengan tidak manusiawi. Tidak hanya Zahra dan Fifa, namun seisi kelas juga merasakan hal yang sama.

Di ambang pintu, berdirilah Orin yang terlihat bar-bar dengan menggandeng tangan Finna yang terlihat malu malu takut. “JAMKOS WOY! ALIM BANGET LO PADA NGEREM KICEP NUNGGU GURU, HAHAHA!” Sudah membuka pintu dengan anarkis, berteriak di kelas orang tanpa tahu malu lagi. Dasar Orin.

Sepuluh IPS dua yang baru saja diselimuti oleh penyakit jantungan mendadak ramai seketika. Seperti makam yang diubah menjadi pasar kaget. Semua ini karena ulah Orin. Memang semua tidak langsung percaya. Namun karena Orin menjelaskan detail bahwa guru-guru hari ini kedatangan tamu dinas mendadak, semua menjadi percaya dan bersorak bahagia. Ditambah lagi dengan jadwal pertandingan basket yang akan diadakan hari ini oleh BTI dengan SMA Galaksi seusai istirahat pertama. Pasti akan menjadi hari yang seru.

Mengingat basket, Zahra jadi ingat dengan Dylan. Sudah berhari-hari Ia tidak saling sapa dengan Dylan sejak kejadian di rumah Orin dan Caesar malam itu. Rencananya Zahra ingin meminta maaf. Namun setiap melihat wajah songong Dylan, Ia mengurungkan niatnya.

Namun hari ini niatnya bulat. Ia akan menonton pertandingan basket itu dimana Dylan ikut bermain, dan seusainya Zahra akan minta maaf pada Dylan. Tak peduli siapa yang salah, Ia akan meminta maaf terlebih dahulu supaya tidak terjadi keasingan silaturrahmi.

Setelah mendobrak pintu kelas Zahra dan berteriak dengan suara kalengnya, Orin menarik tiga sahabatnya menuju tribun basket. Dimana BTI akan melakukan pertandingan dengan Galaksi. Efse juga tergabung dalam tim basket BTI dengan Darren sebagai perkecualian.

Anak itu lebih suka ngedate dengan piano atau biola daripada harus ikut rebutan bola. Ia sering meledek sahabat-sahabatnya dengan ucapan buat apa main basket, orang bola bisa beli sendiri-sendiri aja masih buat rebutan. Hal tersebut sontak membuat sahabat-sahabatnya menjitak kepalanya kuat. Namun Darren masih pintar, apa yang diucapkannya bukan real dari pemikirannya. Hanya sebuah guyonan garing saja.

Tidak suka main basket bukan berarti tidak mau menonton sahabatnya bertanding. Darren kini berkumpul dengan Semprul di tingkat tribun nomor tiga dari bawah. Di sampingnya berdiri Orin yang disusul Finna, Zahra, dan Fifa yang berceloteh tentang siapa yang akan menang nantinya. Darren hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan cewek-cewek adik kelasnya itu.

“Rin, itu headbane yang dipake Caesar lo yang pakein? Napa cute gitu sih anjir. Gak cocok sama muka abang lo yang nistaable itu,” celoteh Darren. Darren memang sedikit bicara. Namun Efse dan Orin adalah perkecualian meskipun terkadang Ia juga masih irit bicara karena mereka sudah berteman sejak kecil. Ditambaha lagi dengan Orin yang sangat jahil padanya.

“Enggak. Ya kali gue beliin dia aksesoris, gelangnya gue minta aja gak boleh. Pelit banget kunyuk satu itu,” jawan Orin dengan memanyunkan bibirnya mengingat beberapa hari lalu Caesar mendapat oleh-oleh gelang dari orang tua Darren. Orin memintanya satu yang ada duplikatnya, namun Caesar melarangnya untuk menyentuh gelang-gelang itu. Dasar abang pait! “Si Pipah kali noh beliin. Caesar kan lunaknya ke dia.”

Mendengar namanya disebut, Fifa langsung nyengir dan melambaikan tangannya ke Darren. Berbeda dari biasanya yang hanya melirik lalu mengacuhkan, Darren kali ini tersenyum tipis sambil geleng-geleng kecil. Ia berusaha friendly dengan pacar sahabatnya itu. Juga dengan Semprul yang lain. Karena bagaimanapun Semprul sekarang sudah menjadi satu dengan Efse.

Zahra terus fokus ke lapangan begitu pertandingan berlangsung. Ia sangat fokus dengan arah lompatnya bola. Apalagi jika Dylan yang memegangnya dan berulang kali memasukkannya ke dalam ring. Serta Ia sudah berkali-kali mencetak three-points.


Suara jeritan dari kanan-kiri Zahra membuat kupingnya berdengung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Suara jeritan dari kanan-kiri Zahra membuat kupingnya berdengung. Bagaimana tidak, objek yang ada pada fokusnya dari tadi menjadi alasan siswi-siswi di sekitarnya menjerit kalap. Apa lagi kalau bukan Dylan. Ah, cowok songong itu. Zahra mencoba menerima sikap dan sifatnya meskipun jengkel.

Bukan apa Zahra memperhatikan Dylan sejak tadi. Supaya acara minta maafnya nanti tidak garing dan ada sedikit basa-basi yang dibahas. Hanya itu saja.

Pertandingan telah usai dengan kemenangan yang diraih oleh Galaksi. Dylan merasa sia-sia melakukan banyak tembakan pas dan banyak three-points tadi, jika tahu akan dirusak oleh si kunyuk satu Leon itu. Ia banyak melakukan pelanggaran dengan time up yang ada pada aturan. Seperti delapan detik, tiga puluh detik, dan lain-lain.

Kesal sendiri Dylan rasanya. Namun kapten timnya, Renal, tidak terlalu mempermasalahkan. Karena ini bukan ajang lomba, tapi hanya kompetisi untuk saling belajar bersama antar tim dari BTI dan Galaksi. 

Semprul dan Darren mendatangi ruang ganti basket. Di sana, terlihat anggota-anggota tim yang sedang beristirahat dan minum. Beberapa diantaranya menyumpah serapahi Leon yang dengan merasa tidak berdosanya Ia cengar-cengir saat melakukan pelanggaran berulang kali tadi.

Melihat Dylan yang terduduk di lantai di bawah loker ujung sambil meneguk air mineral, Zahra menghampirinya dan duduk di sebelahnya. Air yang diteguk Dylan dengan kasar itu sedikit tumpah ke jersey biru gelapnya yang memang sudah basah terlebih dahulu. Ia cukup terkejut Zahra meghampirinya. Terlebih lagi duduk di sebelahnya dengan santai.

“Mau apa lo?” tanya Dylan sinis.

“Main lo bagus betewe. Si Leon goblok, nyebelin, kesel sendiri gue lihatnya,” ucap Zahra sebagai pembuka.

“Panas lo tiba-tiba ngajak gue ngomong?” tanya Dylan lagi dengan mengurangi nada sinisnya seraya meneguk kembali air mineral di tangannya dengan kasar.

“Gue tau malam itu lo cuma bercanda ngomong mau ajak gue berantem.” Zahra berucap tanpa mempedulikan pertanyaan-pertanyaan sinis Dylan sebelumnya. Seketika itu Dylan menoleh, menatap Zahra yang sedang menatap ke depan, pastinya bukan menatap Dylan. “Sok cenayang lo,” jawab Dylan sekenanya sambil mengikuti arah pandang Zahra.

“Tapi gue kesel sama kalimat-kalimat lo selanjutnya. Saat lo berucap kaya ngerendahin gue itu.” Zahra terdiam sebentar, Dylan juga ikut terdiam. “Kalo keinget, sampe sekarang juga gue masih kesel. But who know someone got a problem that make him say out of nature. Dan gue cukup tau kalo gue harus terus positive thinking untuk punya silaturrahmi yang baik.” Dylan semakin terdiam.

“Sori, ya. Anggap hari itu gak ada aja. Anggap gue gak pernah ngomong gitu, dan gue juga bakal anggap lo gak pernah ngomong gitu. Everything’s gonna be alright. Mau?” tawar Zahra.

Dylan menatap Zahra yang sedang berbicara tanpa berkedip. Sedetik kemudian Ia sadar dan berdehem pelan, mencoba mencairkan suasana. “Ngomong aja lo pengen deket sama cowok ganteng macem gue ya kan?” ucap Dylan dengan senyum miringnya yang membuat Zahra melirik sinis.

“Iuhh, najis gue pengen deket sama cowok sedatar triplek macem lo.”

“Sok ngeles. Atau lo malah jatuh ke pesona gue ya?” ucap Dylan terlampau percaya diri.

Zahra membenarkan posisi duduknya. Heran dengan ucapan-ucapan ngelantur Dylan yang tak pernah didengarkannya. “Heh! Lo dapet bahan dari mana sih ngomong begitu? Pede kuadrat deh lo tuh, najisin.”

“Lah lo sendiri udah tau kesel sama kata-kata gue yang rendahin lo. Kenapa lo masih coba positive thinking sama gue dengan menganggap orang yang ngomong gak semestinya itu menandakan ada problem yang terselubung. Dapet ilham dari mana lo mikir gitu?”

“Dari gue sendiri lah,” jawab Zahra. “Gini, ya. Setidaknya gue bisa hargain orang dengan sikap gue yang kaya gitu. Entah gimana orang itu perlakuin gue, gue tetep harus baik dan gak cuma di depan aja. Dan cara gue bersikap kaya gitu tuh lewat positive thinking itu tadi,” jelasnya.

Dylan berkedip sadar. Ia tertawa garing, “Nyindir gue, ya?” tawanya miris.

“Itu tau, pake nanya.”

Lagi. Dylan dibuat melongo oleh Zahra. Lo kok beda, sih, Ra?

Hayuk, hayuk, tambah votementsnya⭐:)

JUST WANT YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang