Setelah Mas Ditya menyelesaikan sambungan teleponnya denganku, aku kembali menjadi Nadiya yang sendiri, yang tidak punya kegiatan apapun di sabtu yang bahkan belum terlewati setengah bagiannya. Walaupun hal itu tidak lantas membuat mood ku buruk.
Mataku melirik ke arah meja belajar. Seperangkat piring dan gelas kosong teronggok disana. Meskipun didahului helaan napas, aku tetap melangkah juga untuk membawa benda-benda kotor itu ke dapur.
Aku memang pemalas yang berantakan, tapi aku tidak pernah menumpuk alat atau sampah bekas makanan di kamar. Karena aku benci sekali dengan semut, dan si makhluk kecil nan menyebalkan itu bisa dengan mudah datang saat bahkan hanya ada setitik makanan. Aku heran mereka punya radar jenis apa sampai bisa mendeteksi makanan sebegitu canggih, di tempat tersembunyi dan susah dijangkau sekalipun.
Kontrakan di sabtu pagi seperti ini sudah pasti sepi. Mungkin jalan hidup memang sudah dirancang sedemikian rupa, hingga soal kebiasaan saja bisa kompak. Aku dan teman-temanku bukan morning person. Kecuali kalau kami ada kelas atau suatu kegiatan.
Tentu saja aku sudah bangun sekarang karena jadwal sarapan bersama orang rumah.
Papa yang selalu memaksa agar aku tidak absen dalam agenda rutin kami yang satu itu. Katanya hari biasa aku boleh boleh saja sibuk, tapi setidaknya pagi-pagi di akhir pekan aku harus menjadi milik Papa. Kenyataannya sering sekali Papa masih menggangguku di setiap pagi. Alasannya takut kalau kalau aku kesiangan dan ketinggalan kelas. Padahal beliau hanya nggak bisa memulai hari tanpa mendengar suaraku dahulu. Tapi aku cinta banget dengan pria paling favorit di hidupku itu.
Setelah selesai mencuci piring, sebuah pisang sudah ada dalam genggaman tanganku. Rasanya akan ada yang kurang kalau satu hari saja aku lewati tanpa sebuah pisang masuk ke dalam perutku. Jadi selain roti tawar si penolong jiwa-jiwa malas bikin sarapan pagi-pagi sepertiku, pisang adalah makanan yang selalu aku sediakan di kulkas.
"Nad, kita ada tugas nggak sih?"
Pisang di tanganku hampir tergelincir dan loncat ke lantai karena suara tiba-tiba barusan. "Anjir! Kaget anjir!" Alih-alih merasa bersalah, Fawnia malah sudah ketawa bahagia, menertawakan aku yang terkejut bukan main dengan kedatangannya yang mendadak.
"Lagian. Timbang makan pisang doang, sok khidmat lo." Ruang kosong di sebelahku terisi, Fawnia ikut duduk sembari meluruskan kaki.
Di sampingku sekarang, Fawnia terlihat kelelahan dengan keringat muncul merata di permukaan kulitnya. Hal itu membuatku serta merta mengerutkan hidung juga kening. Jelas ada yang janggal. Biasanya Fawnia baru akan keluar kamar pukul satu. Kali ini dia bahkan sudah mau repot-repot beraktivitas keluar, yang kalau aku tebak dari pakaiannya anak ini pasti habis berolahraga.
Tunggu. Olahraga? Di hari libur? Dan sudah selesai jam segini? Yang benar aja!
"Lo kemasukan setan mana deh, Faw?" aku bertanya, lalu meletakkan kulit pisang yang sudah selesai aku lahap ke atas meja.
Fawnia melirikku malas, lalu berkata sambil mengipasi leher dengan majalah yang ia tarik dari meja di depan kami. "Kok jadi setan? Aduh gila, panas banget woy."
"Lo beneran kemasukan setan ya? Panas gitu, pasti dia nggak betah ada di tubuh lo itu!" Seketika badanku menegak, tidak lagi bersandar di kaki sofa. Cepat-cepat aku ambil ponsel di meja untuk mencari aplikasi Qur'an. "Sini sini, ruqyah dulu deh. Eh apa panggil ustad aja ya, Faw? Bacaan gue masih suka salah soalnya."
Tiba-tiba satu tepukan yang cukup bikin panas mendarat di lenganku. Aku otomatis mengaduh dan melotot tidak terima pada Fawnia si pelaku hal tidak terpuji barusan.
"Apaan sih anjir, Faw! Sakit!"
"Lo ngaco. Ngarang banget. Lo tuh yang seharusnya di ruqyah!" protes Fawnia dengan tangan bersedekap.
YOU ARE READING
Bersenyawa
Teen FictionKarena malam itu, aku menjatuhkan diri dengan sukarela pada Askara Dekantara. Pada kemeja-kemejanya yang tidak pernah terkancing utuh. Pada lubang-lubang di celana jeansnya. Pada injakan-injakan di belakang sepatunya. Pada pendar-pendar kecil di ma...