Langit-langit kamar

193 17 2
                                    

Aku menjatuhkan diri di hamparan kasur yang sudah bersih dan rapi. Akhirnya punggungku bisa rebah juga. Lelahnya baru terasa sekarang. Efek membereskan kamar, yang kata Deka sudah seperti gudang. Sebetulnya aku nggak malas-malas amat membersihkan kamar, tapi memang niat untuk memulainya itu yang sulit sekali aku dapatkan. Seperti sudah syarat mutlak aku harus dimarahi Mama atau Deka dulu sebelum beraksi merapikan kamar.

Sepasang mataku terpaku pada langit-langit kamar. Putih tanpa warna. Kosong tanpa bayang. Membosankan.

Baru saja aku ingin membelokkan pandang ke samping kiri, ke tempat tertempelnya berderet foto yang menyimpan banyak tawa dan kisah untuk menghapus kebosanan, ponselku malah berbunyi. Dari Papa.

Setiap hari mungkin punya satu hal yang membuat ia punya kekhasan tersendiri yang membedakannya dengan hari lain dan hari milik orang lain. Bagiku, sabtu dan minggu pagi selalu identik dengan telepon dari rumah. Semenjak aku tidak lagi ada disana bersama mereka untuk bisa menikmati sarapan pagi buatan Mama, Papa tidak pernah absen menyertakan aku dalam akhir pekannya, meski aku tidak bisa turut langsung menyantap telur kecap ala Mama.

Wajah tampan penuh kharisma pria favoritku muncul di layar. "Good morning, matahari kesayangan Papa! Coba sini lihat pipinya pagi-pagi sudah merona belum? Coba senyum ayo."

Aku tertawa kecil mendengar sapaan Papa yang selalu ada-ada saja. Pipiku membulat menahan senyum sebelum balas menyapa. "Good morning, my best man ever! Makin cakep aja sih. Nad jadi kangen deh."

Saat aku dan Papa larut dalam percakapan manis kami, Mama muncul dari balik punggung Papa dengan wajah teduhnya yang sedikit cemberut.

"Selalu ya kalau udah ngobrol, dunia serasa milik berdua. Iya gitu?" Mama bertingkah seolah protes, satu tangannya melingkari bahu Papa.

Aku dan Papa tertawa lepas. Lalu Papa dengan payah menahan kekehan ketika Mama mencubit lengannya. Aku melihat keributan kecil itu dengan senang hati. Punggungku sudah menempel di kepala ranjang, aku sudah terduduk bersila di atas kasur.

"Mana sarapanmu? Kok masih di kasur aja sih?" tanya Mama setelah duduk di kursi. Papa sudah meletakkan ponsel di tengah meja makan.

Kini yang terlihat di layar adalah Papa dan Mama duduk bersebelahan, kemudian di samping-samping mereka ada Kak Tiyan dan Mas Ditya. Dua kakakku itu hanya tampak setengah tapi aku bisa melihat mereka sibuk dengan dirinya masing-masing.

Tatiyana sedang mengunyah apel fujinya, dengan tangan lainnya terampil mengetikkan sesuatu pada ponsel. Paling paling tukar sapa selamat pagi dengan pacar kesayangannya.

Sedangkan Raditya, kakak pertamaku yang manis itu, sedang terbengong dengan tangan menggenggam gelas berisi susu yang tinggal setengah. Rambutnya sudah tersisir. Tapi dari mukanya yang sedikit membengkak, Mas Ditya pasti belum lama bangun dari tidurnya.

"Sebentar. Nad siapin sandwich dulu," kataku bergegas berlarian menuju dapur.

Sandwich yang aku maksud tentu saja bukan yang sempurna dengan berbagai isian lengkap yang sehat dan lezat. Sandwich versiku pagi ini hanya roti tawar yang mengapit selembar keju, sosis, dan saus sambal. Tapi ini saja sudah sebuah pencapaian. Kalau tidak diajak sarapan bersama, boro-boro aku sudah bangun jam segini di hari libur.

Dengan piring berisi dua potong sandwich, aku kembali masuk ke kamar dan muncul di layar. "Selamat makan semuanya!"

Mas ditya tersadar dari aktivitas melamunnya dan menatap aku prihatin setelah melirik sarapanku. "Apa enaknya sih makan begituan?" cibirnya.

"Enak dong! Mas sirik aja deh. Nggak bisa buat ginian kayak Nad kan?"

"Aku bahkan bisa bikin nasi goreng kornet, Nad." Mas Ditya berujar datar. "Ngapain juga harus makan makanan kucing kayak gitu."

BersenyawaWhere stories live. Discover now