Aku tengkurap di sebelah Ubay yang tengah menatap satu buku cerita bergambar di hadapan kami. Sementara Dante sedang memangku Hana–adik Ubay, sembari sibuk mengoceh isi buku ensiklopedia yang dipegangnya.
Dante kalau sudah bersama anak-anak, wibawanya akan naik. Ia suka sekali mengajarkan banyak ilmu, meskipun bocah yang mendengarkan belum tentu paham dengan apa yang Dante bicarakan. Seperti Hana yang kini melongo saja menatap mulut Dante yang masih enggan berhenti. Dante pasti menganggap Hana sedang begitu tertarik dan khusyuk menyimak.
Berbeda sekali dengan aku yang lebih suka bermain bila sedang bersama anak-anak. Aku suka membaca buku cerita bersama mereka. Ilmu saintek dan semacamnya memang keren, tapi bagiku cerita-cerita legenda atau fiksi juga tidak kalah mengagumkan. Aku begitu salut dengan kemampuan penulis yang sanggup menyelipkan lika-liku kehidupan dalam alur ceritanya. Membuat pembacanya merasa tidak sedang susah payah belajar, namun sebenarnya ada yang didapat setelah membaca. Yah, selain memang buku cerita memang jauh lebih menyenangkan dibaca sih daripada buku pelajaran.
Aku dan Dante sedang berada di salah satu sudut pendopo Lentera, setelah memutuskan untuk menunggu kehadiran Deka disini. Kegiatan membaca buku belum resmi dimulai saat kami datang. Tetapi beberapa anak sudah hadir tadi. Mungkin karena beberapa kakak pendamping sudah datang, maka anak-anak pun ikut mulai berdatangan.
Suasana yang jauh dari kata tenang ini membuat aku justru betah untuk terus berada dalam rutinitas yang sama setiap harinya. Daripada orang dewasa, menurutku anak kecil lebih asyik menjalani hari-hari. Jalan pikir orang dewasa di sekitarku kerap kali membuatku ikut pusing. Hidup yang sebenarnya sederhana ini bisa terlihat begitu rumit oleh pikiran mereka sendiri. Namun semua kembali terasa simpel setiap aku berada di sekitar anak-anak. Itu yang membuat aku tidak menyesali pilihanku untuk berada disini.
Sejujurnya tidak sedikit orang di sekitarku yang tertawa tidak percaya mengetahui kelak saat lulus aku akan menjadi guru untuk banyak generasi setelahnya. Mungkin terlihat begitu aneh, aku yang ceroboh dan tidak berwibawa ini mendidik anak-anak manusia dengan harapan setelahnya mereka bisa menjadi anak yang pintar dan sukses. Sementara aku sendiri tidak bisa dibilang cerdas juga.
Tapi Deka pernah mengatakan ini kepadaku, "Kita pergi ke sekolah sebenarnya untuk apa sih, Di? Untuk dibantu paham dengan ilmu kan? Karena kalau cuma mau dapat ilmu, buku dan teknologi sekarang juga udah canggih-canggih. Yang susah didapat itu adalah orang yang mau meluangkan waktu dan pikirannya untuk mencari cara terbaik biar kita bisa paham dengan ilmu yang ada. Itulah fungsinya pendidik. Orang-orang cerdas belum tentu bisa bikin orang lain cerdas juga kayak mereka. Karena nggak semua orang bisa mengajar, Di. Meski dia terlihat terpandang sekalipun."
Ucapan Deka saat itu mengingatkanku pada alasan memilih profesi ini kelak.
Aku suka pisang bukan sekadar menyukainya sebagai buah saja. Papa sudah mendoktrin aku tentang filosofi pisang sejak aku kecil. Lewat cerita dan wejangan ringan Papa tentang cerita pohon pisang di setiap kesempatan, aku menjadi sangat ingin hidup seperti pohon pisang.
Dulu Papa suka sekali bercerita tentang kebermanfaatan pohon pisang selama di bumi. Katanya, pohon pisang tidak perlu tempat khusus untuk tumbuh. Ia bisa bertahan dimanapun dan tidak pernah menyerah dalam segala keadaan. Pohon pisang juga tidak mau mati sebelum berbuah. Ia tidak pernah meninggalkan suatu tempat tanpa meninggalkan manfaat. Pohon pisang selalu mewariskan kebaikan, meskipun harus ditebas saat diambil buahnya. Bahkan ia masih mampu mempersiapkan generasi penerus sebelum akhirnya harus tumbang.
"Kalau ingin hidup tenang, hiduplah seperti pohon pisang."
Sejak saat itu cita-citaku tidak pernah muluk-muluk, selain hanya mencoba hidup sebagaimana pohon pisang menjalani hidupnya di bumi. Kemudian perlahan aku terbawa ke titik ini. Dan aku tidak pernah menyesalinya sama sekali.
YOU ARE READING
Bersenyawa
Teen FictionKarena malam itu, aku menjatuhkan diri dengan sukarela pada Askara Dekantara. Pada kemeja-kemejanya yang tidak pernah terkancing utuh. Pada lubang-lubang di celana jeansnya. Pada injakan-injakan di belakang sepatunya. Pada pendar-pendar kecil di ma...