I am welcoming you, to the journey of...
Merona Nadiya (20)
Selain pada girus-girus dalam otak, Nadiya menjadikan langit sebagai tempat menyimpan berbagai jenis hari dalam hidupnya. Langit sudah seperti teman untuk Nadiya. Ia tahu persis kapan Nadiya ingin wujudnya datang lagi suatu hari, atau cukup di hari itu saja ia muncul.
Namun sejak tatapan Deka jatuh di dua manik matanya, langit dalam hari-hari Nadiya banyak diminta kembali esok dan lusa. Mendadak setiap langit punya partikel Deka di dalamnya. Membuat Nadiya ingin menjumpai lagi dan lagi meski hanya dalam imaji. Itu saja rasanya sudah bernilai.
Karena sejak malam itu, Nadiya sudah menyerah dengan sukarela pada seorang Askara Dekantara. Pada kemeja-kemeja yang tidak terkancing utuh. Pada lubang-lubang di celana jeansnya. Pada injakan-injakan di belakang sepatunya. Pada pendar-pendar kecil di mata bulatnya. Pada senyum-senyum ikhlas di lengkung bibirnya. Pada hati yang jujur tanpa pretensi.
Kepada pemilik semua pada itu, Nadiya menjatuhkan diri tidak kira-kira.
&
Askara Dekantara (23)
Kalau ada seseorang yang paling Deka percayai di dunia ini, orang itu mungkin adalah Ibuk. Deka percaya pilihan Ibuk akan membawanya pada sesuatu yang benar dan seharusnya terjadi. Deka tidak pernah mempercayai seseorang sebaik ia percaya pada Ibuk.
Setidaknya sebelum Nadiya hadir dalam hidupnya dan merambat perlahan menjadi daftar orang yang Deka percayai di bumi. Mengikuti Nadiya seperti menjadi pilihan yang terasa kian tepat semakin hari.
Merona Nadiya itu seperti warna oranye menurut Deka. Seperti buah jeruk, ia mungkin juga terlihat biasa dan mudah dijumpai. Tetapi Nadiya tetap terasa begitu segar dan menarik. Ia benar-benar seperti warna merah yang penuh energi bercampur warna kuning yang menenangkan. Melihat Nadiya bisa menjadi begitu menyenangkan bagi Deka. Nadiya bisa membuatnya pulih dari keletihan dan lewat dari kesakitan.
Untuk semua alasan itu, Deka hanya tidak mau Nadiya pergi dan menyita warna oranye dari hidupnya.
***
YOU ARE READING
Bersenyawa
Teen FictionKarena malam itu, aku menjatuhkan diri dengan sukarela pada Askara Dekantara. Pada kemeja-kemejanya yang tidak pernah terkancing utuh. Pada lubang-lubang di celana jeansnya. Pada injakan-injakan di belakang sepatunya. Pada pendar-pendar kecil di ma...