Aku berteman dengan istri dari mantan pacarku di facebook. Bukan tanpa alasan, meski kini kami sudah bahagia dengan pasangan masing-masing tapi kadang rasa ingin tahu tetap ada. Hibunganku dan Fian--mantanku-- bisa dibilang tak lagi akrab. Nyaris tak pernah ada interaksi di sosial media maupun di dunia nyata. Bertemu pun kadang tanpa senyum terlempar. Saling tak acuh dan pura-pura tidak kenal.
Lima tahun kami merajut kisah berlandas kasih. Sejujurnya sampai detik ini aku masih tidak rela, cara Fian meninggalkanku bisa dikatakan kejam. Hanya karena perdebatan sepele lantas menjadi alasan baginya mencetuskan kata putus. Sungguh ironis saat hubungan kami yang memang putus nyambung ternyata kandas begitu saja. Dua hari setelah putus yang menurutku tidak serius itu, undangan pernikahan datang. Tercantum dengan jelas nama yang amat sangat kukenal. Nama yang sudah kutulis di bayang-bayang masa depan untuk mengisi mimpi yang terlanjur kurangkai.
Riski Alfian Pradita
&
SuliyatunAku tertawa, sungguh! Menertawakan takdirku yang menyedihkan juga menertawakan sebaris nama jelek yang bersanding dengan nama lelaki pujaanku. Lelaki yang memiliki hatiku seutuhnya. Yang kata putusnya tak pernah serius ... sebelumnya.
Tak lama, tawa yang membuncah semakin lirih, sangat lirih dan berganti isak tangis. Gila, aku merasa kewarasanku memang hilang sejak membaca undangan sialan itu. Berhari-hari terpuruk menangisi takdir yang jahat. Ah, bukan takdir tapi Fian! Dia lelaki paling jahat. Aku yakin, perdebatan tempo hari hanya akal-akalannya saja agar ia bisa menikah dengan perempuan lain. Akan tetapi, apa pantas aku ditinggalkan tanpa sebuah penjelasan? Hanya dengan sebuah kata receh yang kerap kami lontarkan selama lima tahun terakhir? Haha ....
Putus bagiku dan Fian bukan hal yang serius. Sejak masih SMA, awal kami pacaran, berulang kali masalah sepele datang membuat kami kehilangan status. Namun, tak lama senyum kembali tertaut. Yang putus kembali tersambung dan yang padam kembali berkobar, itu cinta!
Hari itu pun datang, dengan kebesaran hati yang sudah kukuatkan, kupenuhi undangan Fian. Sengaja kuhabiskan separuh dari gajiku bulan ini untuk hari spesial orang yang sangat kusayang. Gaun indah mahal serta riasan dari salon ternama menunjang penampilanku. Sungguh sempurna membingkai luka. Ah, sayang sekali senyum tak bisa dibeli. Padahal bibir ini terasa kaku sekali untuk sekadar melengkung ke atas.
Acara pernikahan itu digelar besar-besaran di rumah mempelai wanita. Rumah yang cukup mewah jika dibandingkan dengan rumahku yang hanya berdinding kayu. Dari sini aku sedikit sadar diri, mungkin memang gadis miskin sepertiku tak sepantasnya bersanding dengan Fian.
Lelaki tampan dengan pakaian adat yang tengah berdiri menyalami tamu itu, anak seorang juragan bawang. Sementara aku hanya anak tukang ojek, mati-matian bekerja di toko sembako demi menabung untuk pernikahan impian yang kandas sudah tinggal kenangan. Usut punya usut, istri Fian sendiri anak pondokan, ibunya memiliki toko pakaian dan ayahnya peternak sapi yang cukup sukses. Lagi-lagi hati yang remuk ini menertawakan takdirnya, sementara bibirku masih enggan tersenyum.
Tiba giliranku menyalami mereka, seketika tanganku terasa dingin seiring degup jantung yang menggila. Andai aku melihat wanita cantik rupawan di samping Fian, pasti aku sudah pingsan saking sedih dan mindernya. Namun, perempuan itu tak seperti yang kubayangkan. Gadis gembrot dengan pipi hampir menenggelamkan matanya yang sipit, mengenakan pakaian adat yang serasi dengan Fian. Sungguh aku tidak menyangka, demi gadis seperti itu Fian meninggalkanku. Maka dengan kepercayaan diri yang muncul tiba-tiba, kuangkat dagu seraya berjalan anggun penuh pesona.
"Selamat ya, Fian!" Sengaja kutekankan kalimatku seraya meremas jemari Fian lebih erat.
Aku bisa melihat wajah Fian. Ekspresinya sungguh membuatku ingin tertawa. Aku beralih, menyalami si gembrot yang tersenyum lebar padaku. Entah senyum macam apa, mungkin bahagia berlebihan karena bisa menikah dengan Fian. Aku hanya menyentuhkan ujung jariku sekilas tanpa mengucap apa pun. Segera berlalu sambil mengibas rambut.
Hanya sebentar aura kemenangan itu menyelimuti hariku. Selanjutnya aku hanya bisa menangis, terus saja hingga tanpa terasa aku sudah pulang ke rumah berjalan kaki. Ternyata kesedihan memang membuat orang jadi tak acuh, pun tak sadar dengan perasaan yang lainnya. Aku tak merasa lelah atau pun malu berjalan kaki berkilo-kilo meter dengan air mata meluruhkan maskara yang kupakai. Yang kurasakan hanya satu, sedih!
***
Bulan berganti tahun, semenjak Fian menikah, aku tak lagi punya semangat hidup. Sepanjang hari kuhabiskan untuk bekerja, tenggelam dalam kesibukan agar tak larut dalam kenangan Fian. Lambat laun aku mulai bisa merelakannya. Meski kadang masih terselip pilu yang menyesakkan dada.
Dua tahun berikutnya seorang lelaki tampan yang kukenal dari facebook mengajakku bertemu. Awalnya aku ragu, tetapi ia terus meyakinkanku hingga kuizinkan ia bertamu. Sejujurnya aku tak begitu yakin ia akan datang, mengingat rumahnya yang cukup jauh di kabupaten tetangga. Namun, keraguanku pupus. Sore itu ia benar-benar mengetuk dua pintu. Pintu rumah juga pintu hatiku. Lelaki itu bernama Rian. Miris, kenapa namanya harus mirip dengan Fian? Ah takdir kadang memang lucu.
Semenjak itu, kami semakin akrab hingga tiga bulan berikutnya kami menikah. Sungguh proses yang instan jika dibandingkan dengan kisah cintaku dengan Fian yang bertele-tele namun berakhir hampa.
Rian bukan berasal dari keluarga yang berada. Orang tuanya bahkan sudah meninggal dua-duannya. Dengan modal warisan orang tuanya, serta pengalamanku sebagai karyawan toko sembako, kami memulai usaha membuka toko sembako sendiri. Mulanya kecil, tetapi mungkin memang sudah menjadi rezeki kami hingga dalam waktu lima tahun, toko kami sudah cukup terkenal sebagai tempat kulakan warung-warung.
Aku dan Rian memiliki seorang putra bernama Geo, umurnya empat tahun sekarang. Dan bulan ramadan kali ini, Geo sudah bisa puasa sehari penuh. Aku sangat bangga padanya. Bocah tampan yang penurut dan pintar.
Iseng, kubuka aplikasi facebook setelah berminggu-minggu tak membukanya. Niatku ingin mengunggah foto buka puasa Geo dan mengabarkan pada dunia tentang betapa hebatnya anakku dalam berpuasa.
'Alhamdulillah, Geo udah bisa puasa penuh 😊 bukanya lahap banget, ya, Dek. Sehat terus anak soleh mama.'
Selesai mengunggah postingan, kuusap layar ponsel menelusuri postingan-postingan di beranda. Tanpa sengaja aku menemukan nama itu ...
Suli Aliya Pradita
Wanita gembrot yang kubenci setengah mati. Tak peduli sekarang aku sudah punya suami dan tak lagi mencintai Fian, aku tetap membencinya. Aliya adalah nama anak Suli dan Fian. Umurnya sekitar delapan tahun.
Aku membaca status Suli dengan seksama. Di sana tertulis bahwa Aliya belajar puasa setengah hari, ada juga foto Suli dan Aliya dengan muka yang sama bulatnya memenuhi layar ponsel.
"Udah delapan tahun kok masih puasa setengah hari, haha ... gembrot sih, pantes nggak kuat puasa!" umpatku.
Aku kembali menatap ponselku, menekan nama akun Suli dan melihat profilnya. Sudah lama aku tidak kepo dengan kehidupan mereka.
Status-status receh bertebaran, hampir setiap hari ada saja status yang diunggah oleh Suli. Hingga aku menemukan sebuah foto, di sana tampak buku nikah yang robek dengan caption yang cukup mengagetkanku.
'Selamat tinggal, sembilan tahun bersama nyatanya kamu masih saja mencintainya. Kejarlah kalau memang dia bahagiamu, apalah aku ini yang hanya perempuan pilihan orang tuamu.'
Aku tertegun, apa mungkin yang dimaksud Suli adalah ....
Tring!
Sebuah pesan masuk, segera kubuka.
'Hay, Ayu! Ini aku Fian.'
Banyumas, 25 April 2020