#Istri_Mantanku 6
"Suli! Apa pantas wanita salihah sepertimu menuduh Ayu begitu? Sama saja kamu sudah memfitnah Ayu dan Fian berzina, padahal kamu tidak punya bukti nyata." Rian tersulut emosi. Matanya garang menatapku.
Aku sangat takut, sungguh wajah Rian yang marah benar-benar menguarkan aura intimidasi. Benar kata orang, mulutmu adalah harimaumu. Dari ucapan mulut bisa berubah jadi bencana. Seketika aku sadar telah keliru dalam berucap. Aku benar-benar terbawa emosi tadi, sampai-sampai lupa bahwa aku masih punya adab yang harus selalu kuutamakan meski emosi melanda jiwa.
"Maaf, saya tidak bermaksud ...."
"Kenapa kamu bisa berprasangka seburuk itu sama Ayu? Sebesar apa rasa benci kamu sehingga selalu saja prasangka yang kamu tuduhkan?" Rian memotong kata-kataku, membuatku diam tak berkutik.
"Saya tahu kamu sedang hancur dengan masalah rumah tanggamu, tetapi tidak lantas kamu menimpakan semua kesalahan pada Ayu." Nada suara Rian melunak. Aku merasa sedikit lega. Namun, justru air mataku tak bisa dibendung. Rentetan perasaan yang telah mengaduk-aduk hatiku ditambah amarah Rian benar-benar membuatku kalut. Diam-diam, kuhapus air mata yang hampir menitik. Aku malu, karena telah memperlihatkan kelemahanku di depan Rian yang baru kukenal. Ah andai aku tidak secengeng ini, dari dulu, aku selalu saja mudah menangis dan terbawa suasana. Padahal aku ingin terlihat kuat dan tegar.
"Maaf Suli ...." Rian tampak menyesal melihatku menangis.
"Nggak apa-apa, maaf saya yang salah karena udah lancang."
Rian tampak menghela napasnya. Ia diam menatapku dan tampak berpikir.
"Jadi, bagai mana kalau begini saja ... kita buktikan apa benar Ayu dan Fian selingkuh, kalau ternyata tuduhan kamu salah, kamu harus janji mau bertemu Ayu dan memaafkannya." Rian menatapku serius, wajahnya tak lagi menyiratkan emosi.
Aku hanya mengangguk. Rasanya itu adalah hal yang paling tepat untuk menyelesaikan semuanya.
"Good! Kalau begitu kasih saya nomer HP Fian," pintanya lembut.
"Tapi, kalau ternyata mereka benar selingkuh?" Aku menuntut keadilan andai saja asumsiku benar.
"Kalau mereka selingkuh?"
"Ya, apa yang akan kamu lakukan?"
"Saya ...." Rian tampak bimbang. Ia pasti tidak pernah memikirkan sebelumnya. Lelaki yang sangat mencintai istrinya, pasti tak berprasangka apa pun pada Ayu.
'Ceraikan Ayu!' Batinku berteriak. Ingin sekali mendengar Rian mengucapkan hal itu. Dengan begitu semua akan impas. Kalau memang mereka berselingkuh, Ayu tidak pantas mendapat lelaki sebaik Rian. Namun, sayangnya aku tak berani mengucapkan itu, aku takut Rian akan marah lagi.
"Apa?" tuntutku akhirnya.
"Saya ... saya akan menafkahi anak kamu," ucap Rian tenang.
"Haha, saya masih mampu membiayai seluruh kebutuhan Aliya, ini semua bukan tentang uang, Rian!" Aku tak menyangka Rian justru memikirkan tentang uang. Naif sekali.
"Saya tahu, saya juga tidak lebih kaya dari orang tua kamu, tapi ini hanya sebagai bentuk pertanggung jawaban saya saja."
"Tapi itu tidak adil!" pekikku tertahan, kurasakan amarahku kembali naik.
"Lalu apa yang menurutmu adil?"
"Kalau benar mereka selingkuh, maka Ayu lah yang bertanggung jawab atas perceraian kami, dan saya harap Ayu juga merasakan apa yang saya rasakan."
"Maksudnya?" Rian tampak bingung, sementara matanya terlihat was-was.
"Maaf, saya harus pergi kerja, nanti saya inbox nomer telepon Fian." Aku berlalu meninggalkan Rian. Sungguh aku berharap ia mengerti apa maksudku.