#Istri_Mantanku 9Aku membuka mata, merangkai ingatan tentang apa yang telah terjadi. Lagi-lagi aku tersadar di tempat beraroma obat-obatan. Nyeri yang luar biasa masih kurasakan di perutku, seluruh tubuh juga terasa lemas, seperti raga tanpa tulang.
Aku menangis, meraba perutku yang terasa hampa, entah apa yang terjadi dengannya, tapi aku merasa ia tak lagi ada di sana. Ada sedikit harapan kalau perasaanku salah. Namun, keyakinaku kalau ia telah pergi lebih besar.
Tak ada seorang pun di ruangan ini, aku hanya sendiri bersama sejuta ketakutan yang tercipta di benak. Hanya satu orang yang ingin kutemui sekarang, Rian. Entah di mana ia, aku ingin sekali melihat lelaki itu, merebut ponselku darinya dan menghancurkan benda yang berpotensi menghancurkan rumah tanggaku itu. Berharap semoga Rian belum melihat video yang Fian kirimkan.
Tiba-tiba seseorang membuka pintu, tampak seorang dokter dan beberapa perawat masuk. Segera kuusap air mata yang sempat meleleh.
"Dokter, bagaimana kandungan saya?" tanyaku lirih. Aku takut mendengar jawaban yang sangat tidak aku inginkan, tetapi rasa penasaran mendesakku untuk tetap bertanya.
"Maaf, Bu. Ibu mengalami keguguran. Kami tidak bisa menyelamatkannya. Saya harap Ibu bisa sabar."
Aku tak kuasa menahan tangis, menumpahkan perih akan pahitnya kenyataan. Aku bahkan belum sempat merasakan gerakannya. Ia hanya dua bulan menempati rahimku dan sekarang harus kembali kepada pemiliknya.
Kupasrahkan semua pada dokter yang menanganiku. Proses demi proses kujalani tanpa Rian. Dokter bilang, Rian sudah menandatangani persetujuan kuretaseku, tapi hingga aku terbangun esok harinya, ia tak datang. Aku masih sendirian, di ruang rawat yang dingin dan sepi. Lebih parahnya, ruang rawatku adalah ruang nifas di mana bersisian dengan ruangan bayi yang kerap membuat hatiku ngilu mendengar tangisan mereka. Teringat akan calon adik Geo yang telah tiada.
Berkali-kali kutanyakan pada perawat tentang keberadaan Rian, atau mungkin Ibu, tapi tak ada yang tahu. Firasatku mengatakan Rian sudah melihat video itu. Ia pasti kecewa padaku. Atau mungkin ia mengira aku berselingkuh dengan Fian gara-gara video itu. Entahlah. Aku sudah lelah memikirkan kemungkinan yang terus bermunculan di pikiranku. Tanpa teman yang bisa kubagi cerita, hanya tangisan yang tak letih menemaniku, mengaliri pipiku dengan kehangatan yang menyakitkan.
"Ibu, ada seseorang yang ingin menjenguk," ucap seorang perawat yang entah sejak kapan memasuki ruang rawatku.
"Siapa?" tanyaku parau.
"Seorang perempuan, mari, Bu, silahkan masuk." Perawat tersebut mempersilahkan orang itu masuk. Aku terkejut demi melihat Suli di sana. Ia tersenyum kikuk seraya mendekati ranjangku.
"Apa kabar, Ayu? Aku Suli." Perempuan itu menatapku iba.
"Suli?"
"Iya, ini aku, aku turut prihatin atas semua yang terjadi padamu, dan maaf juga soal statusku tempo hari, aku langsung menghapusnya setelah ketemu Rian."
Aku mencoba bangkit, tetapi Suli menahanku.
"Jangan bangun dulu, Ayu." Perempuan yang selama ini kubenci berucap lembut penuh perhatian.
"Maaf, maafin aku Suli ... aku tahu aku jahat, maafin aku." Aku tergugu, menangis sesunggukan mengingat betapa inginnya aku meminta maaf pada Suli. Terbayang dalam benakku kesalahan demi kesalahan yang kulakukan juga dampak yang harus Suli dan Aliya tanggung karena keusilanku.
Tanpa kusangka, perempuan bertubuh subur itu memelukku. Kubalas pelukannya begitu erat seiring tangisan yang tak kunjung berhenti.
"Udah Ayu, aku udah maafin kamu, aku harap kamu juga mau maafin aku."